Dukung Perekonomian Dalam Negeri, AEO Indonesia Tunjukkan Eksistensi

Senin, 20 Februari 2017 - 19:36 WIB
Dukung Perekonomian...
Dukung Perekonomian Dalam Negeri, AEO Indonesia Tunjukkan Eksistensi
A A A
JAKARTA - Kebutuhan akan jaminan keamanan dan kondisi ideal rantai pasokan logistik yang cepat dan aman dari potensi pelanggaran, mendorong Bea Cukai mengimplementasikan program Authorized Economic Operator (AEO). Program ini diinisiasi World Customs Organization (WCO) dengan menerbitkan aplikasi SAFE Framework of Standards (SAFE FoS) pada Juni 2005.

SAFE FoS merupakan standardisasi keamanan dan fasilitasi terhadap mata rantai pasokan perdagangan internasional untuk meningkatkan kepastian dan kemudahan pemantauan arus barang yang dapat diprediksi.

Secara sederhana, AEO adalah operator ekonomi yang terlibat dalam pergerakan barang dalam rantai pasokan yang diakui secara internasional karena telah memenuhi standar WCO SAFE FoS.

Direktur Teknis Kepabeanan Oza Olavia mengatakan, perusahaan yang bisa mendapatkan sertifikasi AEO adalah perusahaan-perusahaan yang terkait dengan rantai pasokan. “Perusahaan yang berhak mendapatkan sertifikat AEO bukan hanya eksportir dan importir saja, juga perusahaan yang terkait supply chain, seperti Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan, pengusaha Tempat Penimbunan Sementara, pengusaha Tempat Penimbunan Berikat, pengangkut, dan lainnya,” terang Oza, Senin (20/2/2017).

Berawal dari lima perusahaan yang tersertifikasi AEO pada Maret 2015, kini sudah 44 perusahaan dengan 46 sertifikasi AEO--dimana ada perusahaan mendapat dua sertifikasi sekaligus. Tidak hanya di Indonesia, jumlah perusahaan yang tersertifikasi AEO di negara-negara anggota WCO lainnya juga semakin bertambah. Jumlah perusahaan AEO pada tahun 2016 yaitu sembilan perusahaan, membawa Indonesia berada pada peringkat 30 dunia.

Di Asia Pasifik, Indonesia berada pada peringkat 12, dan peringkat lima di ASEAN. Jumlah ini tentunya masih belum dapat dibandingkan dengan Kanada, Amerika Serikat, dan China yang telah menerbitkan ribuan sertifikat AEO, namun Indonesia optimistis jumlah perusahaan tersertifikasi AEO akan semakin bertambah.

Untuk proses pengajuan sertifikasi, perusahaan mengirimkan surat permohonan ke Bea Cukai dan kemudian diperiksa profil perusahaannya. Selanjutnya dilakukan validasi lapangan dan perusahaan tersebut harus memenuhi 13 persyaratan sebagai perusahaan AEO.

“Intinya harus memenuhi 13 persyaratan, diantaranya kepatuhan dalam hal bea cukai, persyaratan pasokan rantai logistik, keamanan data keuangan, keamanan IT-nya, standar pendidikan terkait rantai pasokan, misalkan standar training ke pegawai, dan adanya standar-standar jika terjadi kebakaran atau kecelakaan. Lalu diadakan forum panel di Bea Cukai apakah perusahaan ini benar-benar kredibel untuk diberikan sertifikat AEO,” jelas Oza.

Dengan memakai sumber data dari Bea Cukai Tanjung Priok tahun 2016, AEO dan MITA memberikan kontribusi penurunan dwelling time di pelabuhan bongkar sebesar 30% dari penjaluran lain atau rata-rata 2,6 hari. Ini tentunya berdampak positif pada biaya karena semakin cepat proses pengeluaran barang tentu biaya yang dikeluarkan juga berkurang.

Perhitungan di Tanjung Priok, untuk efisiensi biaya logistik turun 34% dari biaya normal. Masih berdasarkan data di Tanjung Priok, dari segi penerimaan, perusahaan AEO dan MITA menyumbangkan 29,3% penerimaan negara yaitu dari Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor.

Disamping dwelling time dan penerimaan, Bea Cukai juga diuntungkan dari sudut penghematan sumber daya. Oza Olavia mengungkapkan, “Kita sudah tau persis bahwa klien kita ini adalah klien yang dapat dipercaya, sehingga otomatis sumber daya bisa dihemat. Artinya kalau perusahaan-perusahaan lain butuh 10 orang pegawai Bea Cukai untuk mengawasi, maka untuk perusahaan dengan sertifikasi AEO tidak butuh sebanyak itu karena pengawasan hanya dilakukan melalui sistem saja.”
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0805 seconds (0.1#10.140)