Freeport Diminta Sadar Banyak Keruk Kekayaan Alam Indonesia
A
A
A
JAKARTA - PT Freeport Indonesia (PTFI) diminta sadar telah mengeruk kekayaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia. Bahkan, jumlahnya dinilai telah melebihi batas.
"Sadarkah Freeport bahwa mereka melakukan penambangan di negara lain? Bukan di tempat Freeport tersebut berasal dan berapa besar telah mereka keruk untuk dimanfaatkan demi kepentingan mereka dibanding manfaat yang diperoleh untuk Indonesia?" ujar Analis Senior Binaartha Sekuritas Reza Priyambada dalam rilisnya, Jakarta, Selasa (21/2/2017).
Bahkan, dia juga menilai, jika Freeport melakukan perubahan perizinan seperti yang diinginkan pemerintah maka mereka tidak kehilangan lokasi penambangan. Sehingga, dapat terus melakukan kegiatan operasional seperti biasanya hingga akhir masa kontrak di mana nanti dapat dinegosiasikan untuk diperpanjang kembali.
Reza memandang, pemerintah juga tidak akan langsung melakukan nasionalisasi baik secara halus maupun paksa. Sehingga, akan sangat baik bagi Freeport untuk bisa bekerja sama dengan pemerintah.
"Dari sisi pengamatan kami, apakah sebegitu sulitkah bagi Freeport untuk mau mengikuti saran pemerintah untuk mengubah perizinan dan membangun smelter di tanah yang bukan milik negaranya?" katanya.
Berdasarkan aturan pertambangan Indonesia yang baru dirilis pada Januari, Freeport Indonesia harus beralih kontraknya atau mengubah kontrak dari kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Freeport Indonesia belum mau menerima perubahan KK menjadi IUPK.
Dengan menggunakan rekomendasi dari pengacara internasional, disampaikan kontrak tidak bisa diubah secara sepihak. Menurut Chief Executive Officer (CEO) Freeport McMoRan Richard C Adkerson menyampaikan, Freeport memang berkomitmen untuk menaati kebijakan yang dibuat pemerintah Indonesia.
Namun, Freeport belum menerima ketentuan perubahan KK menjadi IUPK, yang menjadi syarat agar Freeport bisa mengekspor mineral olahan (konsentrat). "Berdasarkan rekomendasi dari pengacara internasional, KK tetap berlaku bagi Freeport, dan kontrak yang telah dijalani selam 50 tahun tersebut tidak bisa diputus secara sepihak bahkan dengan PP yang baru," tuturnya.
"Sadarkah Freeport bahwa mereka melakukan penambangan di negara lain? Bukan di tempat Freeport tersebut berasal dan berapa besar telah mereka keruk untuk dimanfaatkan demi kepentingan mereka dibanding manfaat yang diperoleh untuk Indonesia?" ujar Analis Senior Binaartha Sekuritas Reza Priyambada dalam rilisnya, Jakarta, Selasa (21/2/2017).
Bahkan, dia juga menilai, jika Freeport melakukan perubahan perizinan seperti yang diinginkan pemerintah maka mereka tidak kehilangan lokasi penambangan. Sehingga, dapat terus melakukan kegiatan operasional seperti biasanya hingga akhir masa kontrak di mana nanti dapat dinegosiasikan untuk diperpanjang kembali.
Reza memandang, pemerintah juga tidak akan langsung melakukan nasionalisasi baik secara halus maupun paksa. Sehingga, akan sangat baik bagi Freeport untuk bisa bekerja sama dengan pemerintah.
"Dari sisi pengamatan kami, apakah sebegitu sulitkah bagi Freeport untuk mau mengikuti saran pemerintah untuk mengubah perizinan dan membangun smelter di tanah yang bukan milik negaranya?" katanya.
Berdasarkan aturan pertambangan Indonesia yang baru dirilis pada Januari, Freeport Indonesia harus beralih kontraknya atau mengubah kontrak dari kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Freeport Indonesia belum mau menerima perubahan KK menjadi IUPK.
Dengan menggunakan rekomendasi dari pengacara internasional, disampaikan kontrak tidak bisa diubah secara sepihak. Menurut Chief Executive Officer (CEO) Freeport McMoRan Richard C Adkerson menyampaikan, Freeport memang berkomitmen untuk menaati kebijakan yang dibuat pemerintah Indonesia.
Namun, Freeport belum menerima ketentuan perubahan KK menjadi IUPK, yang menjadi syarat agar Freeport bisa mengekspor mineral olahan (konsentrat). "Berdasarkan rekomendasi dari pengacara internasional, KK tetap berlaku bagi Freeport, dan kontrak yang telah dijalani selam 50 tahun tersebut tidak bisa diputus secara sepihak bahkan dengan PP yang baru," tuturnya.
(izz)