Eks Karyawan Freeport Bongkar Diskriminasi dan Ketimpangan di Grasberg

Jum'at, 24 Februari 2017 - 17:31 WIB
Eks Karyawan Freeport...
Eks Karyawan Freeport Bongkar Diskriminasi dan Ketimpangan di Grasberg
A A A
JAKARTA - PT Freeport Indonesia (PTFI) ‎telah puluhan tahun mengeruk emas dan tembaga di Tanah Rajawali, Papua. Namun, masyarakat lokal di Papua masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan, infrastruktur di wilayah tersebut sangat minim.

(Baca Juga: Digugat, Luhut Pede BUMN Siap Ambil Alih Freeport )

Kekayaan yang dimiliki Papua nampaknya tidak dinikmati oleh masyarakatnya sendiri. Sementara Freeport semakin agresif mengeruk kekayaan alam yang ada di wilayah tersebut.

Eks karyawan PTFI‎ Yoga Duwarto mengisahkan, Freeport merupakan perusahaan kelas dunia yang menggunakan teknologi super canggih untuk mengeruk emas di Indonesia. Dia yang bekerja di raksasa tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut pada 1988 hingga 1995 merasakan sendiri kemewahan yang ada di Freeport.

(Baca Juga: Tempuh Jalur Arbitrase, DPR Ungkap Freeport Bakal PHK Karyawan
Misalnya, Freeport menyiapkan barak untuk tempat tinggal para karyawannya. Namun, jangan berpikir barak yang dimaksud adalah tenda yang digunakan tentara saat bertugas. Barak karyawan Freeport, kata Yoga, sekelas dengan apartemen yang ada di Ibu Kota.

"‎Barak itu fasilitas perusahaan dengan kenyamanan apartemen disini. Full listrik, baju ada yang cuci, makan silakan. Gaji memang kecil. Tapi tunjangan segudang. Bahkan, ada tunjangan uang dingin," katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (24/2/2017).

Tak hanya itu, manajemen yang dibangun Freeport pun manajemen perusahaan dunia. Bahkan bagi Yoga, manajemen di Freeport bisa disebut terbaik se-Indonesia. Freeport menerapkan kedisiplinan tingkat tinggi dan tidak membedakan jabatan.

"Tidak peduli jabatan direktur atau tukang sampah, kalau antri ya harus antri. Tidak ada membedakan. Direktur kalau ada sampah ya diambil. Jadi semua serba teratur. Bahkan ketika masuk ke tambang bawah tanah, satu orang tidak kembali itu ketahuan. Keselamatan kerja hebat. Saya belum bisa menemui, perusahaan besar dengan karyawan sedemikian banyaknya tapi begitu teratur," ungkap dia.

Sayangnya, kecanggihan teknologi dan kedisiplinan yang diterapkan Freeport hanya berlaku di lingkungan perusahaan dan tambang Grasberg. Sementara saat keluar dari lingkungan perusahaan, maka diskriminasi dan ketidaksetaraan sangat kentara terlihat.

Bahkan, masyarakat lokal di Papua menganggap pegawai Freeport yang berasal dari luar Papua sebagai penjajah, meskipun sama-sama orang Indonesia. "Saya ditanya sama orang Papua. '‎bapak dari Jawa kan? Wah bapak penjajah'. Saya kaget. Mereka melihat kita ini orang Jawa penjajah ini mau apa," tuturnya.

Jika dirinya berjalan keluar dari lingkungan perusahaan, maka dia langsung menemukan orang-orang Papua yang kelaparan dan meminta makan. Bahkan, jika ada orang Papua yang ketahuan masuk ke lingkungan Freeport maka mereka harus siap kena hukuman.

"Masyarakat lokal disana kalau ditangkap security, diguyur air. Dingin sekali diguyur air, itu siksaan. Jadi kontradiksi yang membuat saya tidak nyaman. ‎Diskriminasi sangat jelas disana. Kulit putih superior, dengan orang AS jangan harap Anda bisa lawan. Gajinya jelas jauh," akunya.

Akhirnya, kata Yoga, dirinya pun memutuskan untuk hengkang dari Freeport. Sebab, dia tidak tahan dengan diskriminasi yang dilakukan oleh perusahaan tambang kelas kakap tersebut.

"‎Kenapa keluar? Gaji saya cukup. Saya bisa beli rumah dalam waktu satu tahun. Tapi saya tidak bisa melihat setiap hari seperti orang AS makan apa aja ada, tapi saya keluar sedikit banyak orang yang kelaparan," tandasnya.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2151 seconds (0.1#10.140)