Pertumbuhan Ekonomi Asia dan Maraknya Permukiman Kumuh
A
A
A
MANILA - Cepatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang di Asia, ternyata menyisakan sebuah masalah: urbanisasi. Ya, berbondong-bondongnya warga desa ke kota, dimana kebanyakan mereka berakhir tinggal di daerah kumuh.
Melansir dari Bloomberg, Kamis (2/3/2017), Bank Dunia mengatakan sekitar 55% penduduk perkotaan di Kamboja tinggal di lingkungan kumuh, Mongolia ada 43%, Myanmar 41%, dan Filipina ada 38%. Rasio ini lebih tinggi dari negara yang pertumbuhan ekonominya juga cepat di Asia, seperti Vietnam, China, dan Indonesia yang sekitar 20%.
Pembangunan di empat negara yang disebut pertama, mendorong urbanisasi besar-besaran untuk mengejar “kesuksesan” di kota. Namun hal ini tidak dibarengi oleh kemampuan pemerintah dalam menyediakan infrastruktur dan layanan yang diperlukan.
Tempat seperti Manila dan Jakarta, bermunculan perumahan kumuh nan padat seiring dengan keinginan untuk mengadu nasib di ibu kota. “Munculnya permukiman kumuh adalah bukti perekonomian hanya tumbuh di kota-kota saja,” ujar Makiko Watanabe, senior spesialis perkotaan Bank Dunia, dalam wawancara di Manila.
Watanabe menambahkan, pembangunan itu seharusnya diimbangi dengan penyediaan rumah yang layak. “Permukiman kumuh karena pemerintah tidak bisa menyediakan perumahan yang layak. Harus ada kebijakan dan membuat pembiayaan perumahan lebih terjangkau”.
Negara-negara berkembang di Asia itu, kata Watanabe, bisa mencontoh dari keberhasilan Singapura, Korea Selatan, dan Jepang, yang di masa lalu juga berjuang mengatasi daerah kumuh.
Di Singapura, pemerintah mengubah kota dengan membangun perumahan yang terjangkau. “Jika ada kemauan politik, itu bisa dilakukan,” sambung Watanabe.
Strategi lain adalah memperkuat kota-kota satelit di luar kota utama atau ibu kota, dengan membangun sekolah, rumah sakit, jalan raya, dan bandara demi mendorong lebih banyak investasi. Seperti halnya Beijing dan Bangkok.
Sementara di Filipina, pembangunan hanya terkonsentrasi di Manila, sehingga urbanisasi meningkat dengan jumlah penduduk mencapai 22 juta orang, yang juga menyumbang lebih dari sepertiga ekonomi negara.
Namun kata Watanabe, seharusnya pemerintah membangun kawasan hub ekonomi, sehingga bisa mencairkan penduduk. Dan untuk mengubah permukiman kumuh, pemerintah harus menggandeng masyarakat.
“Pemerintah menawarkan banyak pekerjaan yang dibutuhkan di kota-kota, masyarakat menghasilkan banyak peluang ekonomi tetapi mereka tidak ditangkap dengan baik karena berada di sektor informal,” katanya. Namun, pada kenyataannya pekerja informal adalah tulang punggung perekonomian.
Melansir dari Bloomberg, Kamis (2/3/2017), Bank Dunia mengatakan sekitar 55% penduduk perkotaan di Kamboja tinggal di lingkungan kumuh, Mongolia ada 43%, Myanmar 41%, dan Filipina ada 38%. Rasio ini lebih tinggi dari negara yang pertumbuhan ekonominya juga cepat di Asia, seperti Vietnam, China, dan Indonesia yang sekitar 20%.
Pembangunan di empat negara yang disebut pertama, mendorong urbanisasi besar-besaran untuk mengejar “kesuksesan” di kota. Namun hal ini tidak dibarengi oleh kemampuan pemerintah dalam menyediakan infrastruktur dan layanan yang diperlukan.
Tempat seperti Manila dan Jakarta, bermunculan perumahan kumuh nan padat seiring dengan keinginan untuk mengadu nasib di ibu kota. “Munculnya permukiman kumuh adalah bukti perekonomian hanya tumbuh di kota-kota saja,” ujar Makiko Watanabe, senior spesialis perkotaan Bank Dunia, dalam wawancara di Manila.
Watanabe menambahkan, pembangunan itu seharusnya diimbangi dengan penyediaan rumah yang layak. “Permukiman kumuh karena pemerintah tidak bisa menyediakan perumahan yang layak. Harus ada kebijakan dan membuat pembiayaan perumahan lebih terjangkau”.
Negara-negara berkembang di Asia itu, kata Watanabe, bisa mencontoh dari keberhasilan Singapura, Korea Selatan, dan Jepang, yang di masa lalu juga berjuang mengatasi daerah kumuh.
Di Singapura, pemerintah mengubah kota dengan membangun perumahan yang terjangkau. “Jika ada kemauan politik, itu bisa dilakukan,” sambung Watanabe.
Strategi lain adalah memperkuat kota-kota satelit di luar kota utama atau ibu kota, dengan membangun sekolah, rumah sakit, jalan raya, dan bandara demi mendorong lebih banyak investasi. Seperti halnya Beijing dan Bangkok.
Sementara di Filipina, pembangunan hanya terkonsentrasi di Manila, sehingga urbanisasi meningkat dengan jumlah penduduk mencapai 22 juta orang, yang juga menyumbang lebih dari sepertiga ekonomi negara.
Namun kata Watanabe, seharusnya pemerintah membangun kawasan hub ekonomi, sehingga bisa mencairkan penduduk. Dan untuk mengubah permukiman kumuh, pemerintah harus menggandeng masyarakat.
“Pemerintah menawarkan banyak pekerjaan yang dibutuhkan di kota-kota, masyarakat menghasilkan banyak peluang ekonomi tetapi mereka tidak ditangkap dengan baik karena berada di sektor informal,” katanya. Namun, pada kenyataannya pekerja informal adalah tulang punggung perekonomian.
(ven)