Belajar Value Investing 4.0

Minggu, 05 Maret 2017 - 15:09 WIB
Belajar Value Investing 4.0
Belajar Value Investing 4.0
A A A
Syahdan, ada seorang investor saham bernama Lo Kheng Hong (LKH). Ia berasal dari keluarga yang tidak mampu. Pada 1989, saat berusia 30 tahun, ia mulai berinvestasi saham sembari bekerja di bank. Tujuh tahun kemudian ia berhenti bekerja dan fokus berinvestasi saham.

Kini ia telah sukses dan dijuluki Warren Buffett of Indonesia. Mari kita belajar sejurus dua jurus dari “pendekar saham” yang rendah hati ini. Ciaaaaat! Dua minggu lalu kita sudah belajar dari LKH bagaimana memanfaatkan kasus flu burung untuk menambah kekayaannya.

Minggu ini kita akan belajar bagaimana LKH menentukan saat untuk menjual sahamnya yang sudah untung. Kita ambil contoh kasus PT Timah Tbk (TINS). TINS adalah badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak di bidang pertambangan atau eksplorasi timah. TINS merupakan penghasil timah dunia terbesar pada 2008.

Timah digunakan untuk solder, kemasan produk, baju antiapi, hingga untuk bahan pembuatan stabiliser PVC, pestisida, dan pengawet kayu. LKH membeli saham TINS pada 2002 pada harga sekitar Rp290 per saham. Ia membeli 24 juta saham TINS dan menjadi salah satu pemegang saham TINS terbesar di luar pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas.

LKH menjual saham TINS pada 2004 seharga Rp2.900 per saham, meraup cuan (keuntungan) Rp63 miliar, atau cuan 900% dalam waktu dua tahun. LKH tertarik membeli saham TINS karena pada 2002 nilai buku ekuitasnya Rp1,5 triliun, sedangkan nilai pasar ekuitasnya (kapitalisasi pasar) pada harga saham Rp290 hanya Rp150 miliar.

Pada tahun yang sama, laba bersih TINS hanya Rp11 miliar, turun dari Rp37 miliar pada 2011. Salah satu penyebabnya adalah harga timah yang rendah. Ketika harga timah mulai membaik, kinerja keuangan dan harga saham TINS juga terkerek naik. Sebenarnya LKH punya peluang untuk memperoleh keuntungan lebih fantastis dari TINS jika ia tidak menjual saham TINS di Rp2.900 per saham.

Setelah ia jual, harga saham TINS masih terus naik seiring pertumbuhan harga timah dunia yang luar biasa. Pada grafik bisa dilihat harga saham TINS mengalami lonjakan sejak akhir 2006 hingga pertengahan 2008, di mana harga saham TINS menyentuh Rp38.000.

Bisa dibayangkan, seandainya LKH melepas saham TINS-nya pada harga puncak ini, ia bakal meraup keuntungan 12.000% dalam waktu 5,5 tahun! Tentu ini menjadi pelajaran bagi investor pemula bahwa memprediksi titik puncak harga sebuah saham tidaklah mudah. Investor berpengalaman dan hebat seperti LKH saja bisa “membuat kesalahan” dengan melepaskan kesempatan emas untuk meraup cuan gila-gilaan.

Namun, saat LKH “membuat kesalahan”, ia masih untung 900% dalam waktu dua tahun. Sedangkan kebanyakan investor lain jika melakukan kesalahan investasi, biasanya harus melakukan cut lossalias merugi. Kalau selama ini kita sudah tahu bagaimana konsep LKH dalam memilih/membeli saham yang salah harga, yakni menggunakan indikator price earnings ratio (PER) kurang dari lima kali, bagaimana dengan konsep menjual saham?

LKH menjelaskan ketika nilai intrinsik saham yang ia pegang sudah mendekati harga pasarnya, ia mulai mempertimbangkan untuk melepas saham tersebut. Ketika nilai saham sudah mendekati harganya, cuan di masa depan dari saham tersebut sudah tidak tinggi. Lantas bagaimana caranya LKH menghitung nilai intrinsik sebuah saham?
Secara teoritis ada beberapa metode. Yang banyak digunakan oleh para analis saham adalah metode discounted cash flow(DCF). Analis mencoba memprediksi arus kas yang bisa dihasilkan oleh sebuah perusahaan bagi investor di masa yang akan datang. Arus kas tersebut kemudian dinilai sekarangkan (present value).

Nilai intrinsik saham adalah jumlah dari seluruh nilai sekarang arus kas tersebut. Metode ini canggih, namun kadang kurang akurat karena banyak asumsi yang harus dibuat. Misalnya, pertumbuhan penjualan dan laba bersih, struktur modal, belanja modal, dan suku bunga.

LKH menggunakan PER untuk memperkirakan apakah harga sebuah saham sudah mendekati nilai intrinsiknya. “Ketika PER saham yang saya pegang sudah mendekati 17 kali, saya mempertimbangkan untuk melepas saham tersebut,” kata LKH. Ia menggunakan angka 17 kali sebagai acuan karena rata-rata PER saham di Bursa Efek Indonesia yang dianggap wajar adalah 17 kali.

Kadang LKH menggunakan indikator price to book value ratio (PBV atau harga saham dibagi book value ekuitas saham) sebesar satu kali. Pendekatan lain yang LKH gunakan adalah replacement cost, di mana ia bertanya kepada direksi perusahaan, berapa nilai wajar perusahaan mereka.

Ada satu hal lagi yang bisa membuat LKH melepas sahamnya yang sudah dalam posisi untung (in the money). “Kalau ada saham perusahaan bagus jatuh harganya, dan kebetulan saya tidak punya uang tunai, saya bisa menjual saham saya untuk membeli saham tersebut,” LKH menjelaskan. Inilah yang disebut asset allocation (alokasi aset), salah satu prinsip investasi Warren Buffett, mahaguru LKH.

LUKAS SETIA ATMAJA
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School,
Vice Chairman-Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD)
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3656 seconds (0.1#10.140)