Raja Salman dan Pariwisata

Senin, 06 Maret 2017 - 06:06 WIB
Raja Salman dan Pariwisata
Raja Salman dan Pariwisata
A A A
Hampir semua media, koran, TV, radio, dan tentu media sosial seminggu ini heboh membicarakan Raja Salman dari Arab Saudi yang sedang berkunjung ke Jakarta dan Bali. Semua sisi kehidupan sang raja begitu renyah diperbincangkan mulai dari pribadinya, kekayaan yang melimpah, pangeran yang pintar dan ganteng-ganteng, putri yang cantik-cantik hingga pengawal plontos yang jenderal bermultitalenta.

Belum lagi ratusan mobil mewah yang disewa hingga tangga turun pesawat yang dibawa langsung dari Arab Saudi. Ini adalah peluang bagi Bali dan pariwisata kita. Sekitar delapan tahun lalu, berkat film Eat, Pray, Love, Bali mendapatkan global exposure yang luar biasa karena film tersebut memang menggunakan Bali sebagai background cerita. Center of attentionnya terletak pada sang selebriti Julia Roberts yang menjadi pemain utama film tersebut.

Kala itu segala sisi cerita mengenai Julia Roberts saat pengambilan gambar film tersebut menjadi pusat perhatian para penggemar nya di seluruh dunia. Akibatnya, Bali pun nunut beken dan tanpa disadari Julia Roberts pun menjadi accidental endorser bagi Bali. Saya sebut ”accidental” karena Julia Roberts menjadi endorser secara ”kebetulan” karena ia sedang shooting film di Bali tanpa dikontrak, tanpa dibayar dan tanpa diarahkan.

Tapi, karena tidak dibayar dan tidak diarahkan, mediaexposure yang dihasilkan justru autentik dan memiliki kekuatan public relations (PR) yang luar biasa. Nah, PR luar biasa ini harus kita ciptakan sekarang dengan adanya kunjungan Raja Salman.

Accidental Endorser


Kedatangan Raja Salman saat ini pun mengandung momentum yang sama dengan shooting film Eat, Pray, Love delapan tahun lalu. Tanpa kita sadari, selama seminggu ini Raja Salman telah menjadi accidental endorser bagi Bali dan pariwisata Indonesia. Harus diingat, Raja Salman adalah sosok berpengaruh di negara-negara Arab (Timur Tengah) dan Afrika karena merupakan raja dari negara tempat lahirnya agama Islam.

Tak hanya itu, Raja Salman juga disegani dan dihormati oleh negara-negara Barat. Karena merupakan tokoh berpengaruh, seperti halnya Julia Roberts, berbagai sisi kehidupannya, baik personal maupun profesional, selalu menarik dikonsumsi oleh media.

Terkait dengan hal ini, menurut saya, ”moment of truth” yang penting seharusnya bukanlah saat-saat kunjungan resmi kenegaraan di Jakarta-Bogor, tapi justru momen-momen ”slice of life” saat sang raja dan anggota keluarganya berada di Bali. Kenapa begitu? Karena momen-momen human interest justru lebih menarik minat orang ketimbang acara-acara resmi kenegaraan.

Media exposure kunjungan Raja Salman di Bali begitu penting mengingat Timur Tengah merupakan salah satu target pasar potensial bagi pariwisata Indonesia. Seperti diungkapkan Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya pekan lalu, kunjungan wisman dari Timur Tengah tahun lalu sebesar 240.000 atau hanya 2% dari total wisman yang masuk.

Harus diakui, angka ini masih kecil. Karena itu, dengan memanfaatkan momentum kunjungan raja, Menpar berambisi untuk mendongkraknya hingga 50% menjadi 360.000 kunjungan wisman. Saya sendiri melihat kedatangan Raja Salman dengan segala dampak PR-nya yang luar biasa seharusnya dijadikan momentum untuk membangkitkan pariwisata Indonesia ke pasar Timur Tengah. Momen penting ini seharusnya bisa menjadi trigger meluncurnya bola salju kunjungan para pelancong asal Timur Tengah ke Indonesia.

Kebangkitan Wisata Halal

Peran endorser dalam pemasaran wisata akan efektif jika terdapat kesesuaian citra antara tiga aspek, yaitu citra si endorser (endorser image); citra diri si wisatawan (touristís self image) yang menjadi target pasar; dan citra destinasi wisata (destination image)-nya sendiri. Coba prinsip ini kita terapkan dalam kasus tourism endorsement yang dimainkan Raja Salman kali ini.

Pertama, citra si endorser, jelas sosok Raja Salman yang ditokohkan dan dihormati di negara-negara Islam, khususnya Timur Tengah. Kedua, citra diri wisatawan, mewakili konsumen pasar muslim, baik pasar Timur Tengah maupun negara-negara berpenduduk muslim besar di dunia.

Ketiga, dari sisi citra destinasi wisata, seharusnya fokus menawarkan destinasi halal yang memang cocok dengan pasar Timur Tengah. Dengan melihat kesesuaian tiga citra ini saya jadi berpikir, seharusnya kedatangan Raja Salman juga bisa menjadi trigger bagi bangkitnya wisata halal di Indonesia.

Momentumnya pas, karena tahun lalu kita mampu memboyong 12 penghargaan di ajang World Halal Tourism Award. Artinya, eksistensi wisata halal Indonesia memang sudah diakui di dunia. Kalau sudah demikian, pekerjaan besar kita tentu saja tak hanya memperkenalkan Bali kepada pasar Timur Tengah, tapi juga destinasi-destinasi halal unggulan seperti Lombok, Sumatera Barat, Aceh atau Makassar.

Karena itulah kedatangan Raja Salman harus menjadi momentum kebangkitan wisata halal Indonesia. Kedatangan Raja Salman juga harus menjadi motivasi luar biasa bagi destinasi-destinasi halal di seluruh Tanah Air untuk berbenah diri dan bertransformasi menjadi destinasi halal unggulan dunia.

YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure
www.yuswohady.com
@yuswohady
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0865 seconds (0.1#10.140)