Ekonomi Korea Selatan, Presiden dan Chaebol
A
A
A
KOREA Selatan sedang geger. Ini karena bukan tetangga mereka, Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un yang sesukanya memainkan tombol rudal balistik. Juga bukan karena memanasnya hubungan Korsel dengan Republik Rakyat China, setelah Korsel memberikan izin wilayahnya bagi Terminal High Altitude Area Defence System (THAAD), sistem antirudal canggih Amerika Serikat.
Akhir pekan ini Negeri Ginseng heboh seiring Mahkamah Konstitusi yang mengesahkan pemakzulan Presiden Park Geun-hye. Presiden perempuan itu diturunkan dari singgasananya atas “perselingkuhan” dengan Chaebol. Nama terakhir bukanlah boyband Korea yang lagi digandrungi banyak remaja putri di Indonesia. Chaebol merupakan sebutan untuk jaringan keluarga konglomerat di Korea Selatan.
Chaebol dalam bahasa Korea terdiri dari dua kata: "Chae" artinya Kemakmuran dan "Bol" berarti Klan alias Keluarga. Melansir dari Bloomberg, Sabtu (11/3/2017), kisah transformasi Korea Selatan dari ekonomi bawah menjadi negara ekonomi kelima terbesar di dunia tidak lepas dari peranan keluarga megah ini.
Melansir dari Wikipedia, Chaebol yang terkemuka ada sembilan kelompok: Hyundai, Samsung, LG, SK (Sunkyoung) Group, SsangYong, Daewoo, Hanjin, Lotte, dan Cheil Jedang. Dan saat ini yang paling terbesar dari kesemuanya adalah Samsung.
Pengaruh kebesaran Chaebol tidak lepas dari hubungan yang nyaman dengan pemerintah. Presiden Korea Selatan silih berganti namun Chaebol selalu merekat ke sana. Dan pemakzulan Presiden Park Geun-hye membuat Chaebol menjadi sorotan masyarakat, tidak hanya di Korea Selatan juga di dunia.
Mengutip dari Forbes Asia pada pertengahan Februari lalu, skandal Geun-hye setelah pengadilan Korsel menyetujui penangkapan Lee Jae-yong, pewaris konglomerasi Samsung Group yang telah dituduh melakukan aksi suap terhadap rekan Geun-hye, yaitu Choi Soon-sil untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah demi menguntungkan usahanya. Kasus suap ini menjadi skandal presiden terbesar Korea Selatan.
Skandal menjajakan pengaruh di Korea Selatan ini, mengutip dari The New York Times, berkisah tentang hubungan penasihat informal Presiden yaitu Choi Soon-sil dengan Lee Jae-yong, dimana bos Samsung itu memberikan dana USD36 juta atau setara Rp480 miliar (estimasi kurs Rp13.354) kepada dua yayasan amal Choi. Sebagai balas jasa, pemerintah Korea membantu mensukseskan transisi kekuasaan di Samsung, dari Lee Kun-hee kepada Lee Jae-yong, termasuk membantu melenggangkan usaha Samsung untuk mendominasi kawasan selatan Korsel.
Meski telah ditutup-tutupi namun aroma busuk itu menyeruak juga. Akhirnya pada Desember 2016, parlemen Korsel memberhentikan Presiden Park Geun-hye dan keputusan MK pada Jumat kemarin mengesahkan pemberhentian sang presiden. Dalam sidang bulan Desember, sembilan pemimpin Chaebol duduk bersama-sama menghadapi rentetan pertanyaan dari anggota parlemen. Di jalanan, ratusan ribu demonstran menyerukan penggulingan presiden dan melontarkan amarah kepada para Chaebol.
Setelah 13 jam duduk di kursi pesakitan, Lee akhirnya meminta maaf dan berjanji. “Jika ada aliansi antara perusahaan dan pemerintah, saya akan memotong semua hubungan itu. Saya telah kehilangan kepercayaan Anda (masyarakat Korsel),” katanya. Namun ia membantah Samsung telah memberi bantuan keuangan dengan imbalan nikmat.
Latar belakang Chaebol sendiri diyakini telah dipengaruhi oleh sistem serupa di Jepang, yaitu Zaibatsu. Mereka pun memiliki karakter dan arti yang sama. Zaibatsu berasal dari kata "Zai" yang berarti Uang dan "Batsu" artinya Klan. Seperti Chaebol, Zaibatsu adalah konglomerat keluarga yang mendominasi perekonomian Jepang. Sejarah Zaibatsu bermula sejak zaman Keshogunan Tokugawa di Edo hingga peralihan ke sistem kekaisaran yang dikenal sebagai Era Meiji.
Di Jepang, Zaitbatsu yang terkenal dan besar ada empat: Mitsui, Mitsubishi, Sumitomo, dan Yasuda. Perjalanan klan ini sempat mengalami krisis usai menyerahnya Jepang kepada Amerika Serikat pada Perang Pasifik. Militer AS ingin membubarkan Zaibatsu demi melemahkan perusahaan dan ekonomi Jepang. Namun Pemerintah AS mempunyai penilaian tersendiri terhadap kelompok ini karena dianggap berguna bagi hubungan bisnis di masa mendatang. Zaibatsu pun batal dibubarkan.
Kembali ke Korea Selatan, mendirikan Chaebol dipandang sebagai cara utama untuk mempercepat pembangunan ekonomi negara. Tidak lama setelah mengambil alih pemerintahan dalam kudeta militer tahun 1961, Park Chung-hee, ayah dari presiden terguling Park Geun-hye, meluncurkan upaya modernisasi melalui para konglomerat. Dimana mereka dipilih oleh pemerintah karena memiliki kedekatan dan diberikan proyek-proyek besar untuk menopang pemerintah itu sendiri.
Kebijakan Park Chung-hee bahkan sangat pro-pengusaha. Ia melakukan pembebasan pajak dan pinjaman berbunga rendah kepada klan konglomerat, dengan harapan bisa mendongkrak ekspor negara. Dan para Chaebol pun semakin menggurita dalam menjalankan usahanya.
Meski tiga presiden terakhir, yaitu Kim Young-sam, Kim Dae-jung, dan Roh Moo-hyun telah mencoba untuk merombak Chaebol, terutama setelah krisis finansial Asia pada 1997, namun Chaebol tetap memainkan peranan penting dalam ekonomi nasional di Korea Selatan.
Bloomberg menulis sekarang ini terdapat 45 konglomerat yang bisa didefinisikan sebagai Chaebol, berdasarkan data Fair Trade Commission Korea. Dan 10 top Chaebol menguasai lebih dari 27% semua aset bisnis di Korea Selatan.
Namun tidak semua pihak menyalahkan Chaebol. Karena mereka dianggap membantu Korea Selatan dalam kisah sukses ekonominya. Banyak politikus dan investor berpendapat bahwa sistem budaya Chaebol berhasil membawa Korsel jadi salah satu negara maju di abad 21. Dengan pendirian pabrik, ekspansi, dan produk-produknya yang memiliki daya saing terhadap produk Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Sebuah fenomena yang disebut Diskon Korea.
Profesor Kim Sang-jo dari Universitas Hansung mengatakan bisnis dari para Chaebol telah mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Meski demikian, sebagian masyarakat lain prihatin atas sikap kronisme dan hubungan ilegal antara Chaebol dan pemerintah. Di tengah kritik publik, regulator dan investor menyuarakan untuk merubah struktur dan tata kelola dari Chaebol.
Akhir pekan ini Negeri Ginseng heboh seiring Mahkamah Konstitusi yang mengesahkan pemakzulan Presiden Park Geun-hye. Presiden perempuan itu diturunkan dari singgasananya atas “perselingkuhan” dengan Chaebol. Nama terakhir bukanlah boyband Korea yang lagi digandrungi banyak remaja putri di Indonesia. Chaebol merupakan sebutan untuk jaringan keluarga konglomerat di Korea Selatan.
Chaebol dalam bahasa Korea terdiri dari dua kata: "Chae" artinya Kemakmuran dan "Bol" berarti Klan alias Keluarga. Melansir dari Bloomberg, Sabtu (11/3/2017), kisah transformasi Korea Selatan dari ekonomi bawah menjadi negara ekonomi kelima terbesar di dunia tidak lepas dari peranan keluarga megah ini.
Melansir dari Wikipedia, Chaebol yang terkemuka ada sembilan kelompok: Hyundai, Samsung, LG, SK (Sunkyoung) Group, SsangYong, Daewoo, Hanjin, Lotte, dan Cheil Jedang. Dan saat ini yang paling terbesar dari kesemuanya adalah Samsung.
Pengaruh kebesaran Chaebol tidak lepas dari hubungan yang nyaman dengan pemerintah. Presiden Korea Selatan silih berganti namun Chaebol selalu merekat ke sana. Dan pemakzulan Presiden Park Geun-hye membuat Chaebol menjadi sorotan masyarakat, tidak hanya di Korea Selatan juga di dunia.
Mengutip dari Forbes Asia pada pertengahan Februari lalu, skandal Geun-hye setelah pengadilan Korsel menyetujui penangkapan Lee Jae-yong, pewaris konglomerasi Samsung Group yang telah dituduh melakukan aksi suap terhadap rekan Geun-hye, yaitu Choi Soon-sil untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah demi menguntungkan usahanya. Kasus suap ini menjadi skandal presiden terbesar Korea Selatan.
Skandal menjajakan pengaruh di Korea Selatan ini, mengutip dari The New York Times, berkisah tentang hubungan penasihat informal Presiden yaitu Choi Soon-sil dengan Lee Jae-yong, dimana bos Samsung itu memberikan dana USD36 juta atau setara Rp480 miliar (estimasi kurs Rp13.354) kepada dua yayasan amal Choi. Sebagai balas jasa, pemerintah Korea membantu mensukseskan transisi kekuasaan di Samsung, dari Lee Kun-hee kepada Lee Jae-yong, termasuk membantu melenggangkan usaha Samsung untuk mendominasi kawasan selatan Korsel.
Meski telah ditutup-tutupi namun aroma busuk itu menyeruak juga. Akhirnya pada Desember 2016, parlemen Korsel memberhentikan Presiden Park Geun-hye dan keputusan MK pada Jumat kemarin mengesahkan pemberhentian sang presiden. Dalam sidang bulan Desember, sembilan pemimpin Chaebol duduk bersama-sama menghadapi rentetan pertanyaan dari anggota parlemen. Di jalanan, ratusan ribu demonstran menyerukan penggulingan presiden dan melontarkan amarah kepada para Chaebol.
Setelah 13 jam duduk di kursi pesakitan, Lee akhirnya meminta maaf dan berjanji. “Jika ada aliansi antara perusahaan dan pemerintah, saya akan memotong semua hubungan itu. Saya telah kehilangan kepercayaan Anda (masyarakat Korsel),” katanya. Namun ia membantah Samsung telah memberi bantuan keuangan dengan imbalan nikmat.
Latar belakang Chaebol sendiri diyakini telah dipengaruhi oleh sistem serupa di Jepang, yaitu Zaibatsu. Mereka pun memiliki karakter dan arti yang sama. Zaibatsu berasal dari kata "Zai" yang berarti Uang dan "Batsu" artinya Klan. Seperti Chaebol, Zaibatsu adalah konglomerat keluarga yang mendominasi perekonomian Jepang. Sejarah Zaibatsu bermula sejak zaman Keshogunan Tokugawa di Edo hingga peralihan ke sistem kekaisaran yang dikenal sebagai Era Meiji.
Di Jepang, Zaitbatsu yang terkenal dan besar ada empat: Mitsui, Mitsubishi, Sumitomo, dan Yasuda. Perjalanan klan ini sempat mengalami krisis usai menyerahnya Jepang kepada Amerika Serikat pada Perang Pasifik. Militer AS ingin membubarkan Zaibatsu demi melemahkan perusahaan dan ekonomi Jepang. Namun Pemerintah AS mempunyai penilaian tersendiri terhadap kelompok ini karena dianggap berguna bagi hubungan bisnis di masa mendatang. Zaibatsu pun batal dibubarkan.
Kembali ke Korea Selatan, mendirikan Chaebol dipandang sebagai cara utama untuk mempercepat pembangunan ekonomi negara. Tidak lama setelah mengambil alih pemerintahan dalam kudeta militer tahun 1961, Park Chung-hee, ayah dari presiden terguling Park Geun-hye, meluncurkan upaya modernisasi melalui para konglomerat. Dimana mereka dipilih oleh pemerintah karena memiliki kedekatan dan diberikan proyek-proyek besar untuk menopang pemerintah itu sendiri.
Kebijakan Park Chung-hee bahkan sangat pro-pengusaha. Ia melakukan pembebasan pajak dan pinjaman berbunga rendah kepada klan konglomerat, dengan harapan bisa mendongkrak ekspor negara. Dan para Chaebol pun semakin menggurita dalam menjalankan usahanya.
Meski tiga presiden terakhir, yaitu Kim Young-sam, Kim Dae-jung, dan Roh Moo-hyun telah mencoba untuk merombak Chaebol, terutama setelah krisis finansial Asia pada 1997, namun Chaebol tetap memainkan peranan penting dalam ekonomi nasional di Korea Selatan.
Bloomberg menulis sekarang ini terdapat 45 konglomerat yang bisa didefinisikan sebagai Chaebol, berdasarkan data Fair Trade Commission Korea. Dan 10 top Chaebol menguasai lebih dari 27% semua aset bisnis di Korea Selatan.
Namun tidak semua pihak menyalahkan Chaebol. Karena mereka dianggap membantu Korea Selatan dalam kisah sukses ekonominya. Banyak politikus dan investor berpendapat bahwa sistem budaya Chaebol berhasil membawa Korsel jadi salah satu negara maju di abad 21. Dengan pendirian pabrik, ekspansi, dan produk-produknya yang memiliki daya saing terhadap produk Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Sebuah fenomena yang disebut Diskon Korea.
Profesor Kim Sang-jo dari Universitas Hansung mengatakan bisnis dari para Chaebol telah mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Meski demikian, sebagian masyarakat lain prihatin atas sikap kronisme dan hubungan ilegal antara Chaebol dan pemerintah. Di tengah kritik publik, regulator dan investor menyuarakan untuk merubah struktur dan tata kelola dari Chaebol.
(ven)