Tarif Royalti Industri Kreatif Harus Win-win Solution
A
A
A
JAKARTA - Kabar positif bagi pelaku industri kreatif di Tanah Air. Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, memunculkan asa baru bagi pelaku industri kreatif, seperi musik untuk mendapatkan hak ekonomi dari hasil karyanya.
“Saya kira setiap insan musik, baik pencipta, produser dan pihak terkait layak mendapatkan hak ekonomi dari hasil karyanya dalam bentuk royalti, ” ujar Ramadhan, salah satu produser di Jakarta dalam keterangan tertulisnya, Rabu (15/3/2017).
Saat ini, kata Ramadhan, kesadaran para user untuk membayar royalty terlihat lebih baik dari sebelumnya. Hal ini seiring diberlakukaknnya UUHC yang memberikan kewenangan satu pintu terkait penarikan royalty melalui LMK (Lembaga Manajemen Kolektif).
“Sebelum ada UUHC yang baru, penarikan royalty sudah ada. Namun, dengan adanya LMK-LMKN bisa lebih rapi dan hak ekonomi pihak terkait bisa diraskan, termasuk royalty dari eksekutif karaoke room,” katanya.
Dia mengungkapkan, berdasarkan aturan besaran royalti saat ini Rp50 ribu. Namun, hal ini masih bisa disesuaikan dan dibicarakan antara pengusaha dan pihak LMK. Sehingga, tidak perlu tarik-ulur dalam implementasinya.
“Tidak perlu ribut-ributlah, tinggal duduk bersama untuk mencari win-win solution. Apakah tarif royalty lagu Rp50 ribu kebesaran tinggal dibicarakan. Saya sih percaya para user itu punya itikad baik terkait royalty,” terangnya.
Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Djanuar Ishak mengatakan, substansi UUHC No 28 Tahun 2014 selain terkait perlindungan dan kewenangan penarikan royalti oleh LMK juga mengajak semua pihak taat hukum.
Tentu saja, LMKN- LMK tidak kaku dalam mengimplementasi aturan tersebut. Jika user merasa keberatan dengan tarif royalti Rp50 ribu secara prosedural bisa mengajukan peninjauan yang nantinya akan ada tahap mediasi.
“LMKN-LMK itu mitra strategis user. Kami menghargai niat baik para user itu. Ini kan soal belum ketemu angka pas dari nominal royati yang saat ini Rp50 ribu. Selain itu, kami siap dikritik dan menerima masukan yang konstruktif demi kemajuan bersama," pungkasnya.
“Saya kira setiap insan musik, baik pencipta, produser dan pihak terkait layak mendapatkan hak ekonomi dari hasil karyanya dalam bentuk royalti, ” ujar Ramadhan, salah satu produser di Jakarta dalam keterangan tertulisnya, Rabu (15/3/2017).
Saat ini, kata Ramadhan, kesadaran para user untuk membayar royalty terlihat lebih baik dari sebelumnya. Hal ini seiring diberlakukaknnya UUHC yang memberikan kewenangan satu pintu terkait penarikan royalty melalui LMK (Lembaga Manajemen Kolektif).
“Sebelum ada UUHC yang baru, penarikan royalty sudah ada. Namun, dengan adanya LMK-LMKN bisa lebih rapi dan hak ekonomi pihak terkait bisa diraskan, termasuk royalty dari eksekutif karaoke room,” katanya.
Dia mengungkapkan, berdasarkan aturan besaran royalti saat ini Rp50 ribu. Namun, hal ini masih bisa disesuaikan dan dibicarakan antara pengusaha dan pihak LMK. Sehingga, tidak perlu tarik-ulur dalam implementasinya.
“Tidak perlu ribut-ributlah, tinggal duduk bersama untuk mencari win-win solution. Apakah tarif royalty lagu Rp50 ribu kebesaran tinggal dibicarakan. Saya sih percaya para user itu punya itikad baik terkait royalty,” terangnya.
Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Djanuar Ishak mengatakan, substansi UUHC No 28 Tahun 2014 selain terkait perlindungan dan kewenangan penarikan royalti oleh LMK juga mengajak semua pihak taat hukum.
Tentu saja, LMKN- LMK tidak kaku dalam mengimplementasi aturan tersebut. Jika user merasa keberatan dengan tarif royalti Rp50 ribu secara prosedural bisa mengajukan peninjauan yang nantinya akan ada tahap mediasi.
“LMKN-LMK itu mitra strategis user. Kami menghargai niat baik para user itu. Ini kan soal belum ketemu angka pas dari nominal royati yang saat ini Rp50 ribu. Selain itu, kami siap dikritik dan menerima masukan yang konstruktif demi kemajuan bersama," pungkasnya.
(dmd)