Industri Keramik Nasional Bersiap Hadapi Serbuan Produk Impor
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI) meminta produsen keramik nasional untuk meningkatkan daya saing untuk menghadapi kemungkinan serbuan impor produk keramik mulai tahun 2018. Hal ini sebagai dampak dari penerapan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA).
Ketua Umum ASAKI Elisa Sinaga mengatakan, produk keramik impor asal China terus masuk ke Indonesia meskipun sudah dikenakan bea masuk sebesar 20%. Pada tahun 2018, terang dia bea masuk untuk produk keramik akan menjadi 0% sesuai kesepakatan ACFTA.
"Ini merupakan peringatan kepada semua pihak, produsen di dalam negeri untuk lebih efisien, membenahi diri, supaya bisa bersaing karena tahun 2018 waktunya tidak lama lagi," ujar Elisa di sela-sela pemeran KERAMIKA yang ke-6 di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Kamis (16/3/2017).
Dia menambahkan, impor produk keramik ke Indonesia terus meningkat dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 27% setiap tahunnya. Kondisi ini diakuinya membuat produsen dalam negeri merasa terganggu dengan penetrasi produk keramik impor, terutama yang berasal dari China. Apalagi, permintaan keramik di dalam negeri sedang mengalami penurunan.
Diterangkan olehnya, produk keramik impor kebanyakan memiliki jenis homogenous atau granite tile yang impornya mencapai dua kali dari total produksi homogenous tile dalam negeri. Namun untuk keramik tile biasa, kata Elisa, produsen dalam negeri relatif masih menguasai pangsa pasar dalam negeri. Dia pun berharap, pemerintah bisa menerapkan standar kualitas yang ketat terhadap produk impor sehingga tidak merugikan konsumen.
Lanjut dia, sejumlah produsen keramik dalam negeri juga sudah memanfaatkan teknologi mesin cetak digital yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Tapi, dia juga mengeluhkan berbagai hambatan yang menggerus daya saing industri nasional, seperti ongkos logistik serta harga gas yang mahal.
"Biaya dari China ke Medan itu cuma USD350-USD400 per kontainer. Sedangkan di Indonesia dari Jawa ke Medan saja kena USD700-USD 800 per kontainer. Belum lagi harga gas yang cukup tinggi. Tapi kita menyadari infrastruktur gas kita belum sebaik di China, makanya sedang didorong. Kita tidak mengharapkan harga yang sama, yang penting kompetitif," tukasnya.
Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto mengakui bahwa industri keramik nasional mengalami penurunan. Kapasitas produksi keramik nasional yang mencakup ubin, tableware, sanitary, dan genteng (roof tile) mencapai 580 juta meter persegi sementara utilitasnya hanya 65% atau sekitar 375 juta meter persegi setiap tahun.
Namun demikian, Menperin melihat industri keramik nasional masih bisa tumbuh mengingat permintaan keramik per kapita Indonesia baru 200 meter persegi atau masih lebih rendah daripada permintaan rata-rata di ASEAN yang mencapai 300 meter persegi. "Apalagi dengan adanya proyek infrastruktur, baik kawasan industri maupun perumahan ini bisa menjadi penggerak bagi industri ini," kata dia.
Pemerintah, lanjut Menperin, berupaya untuk mendorong daya saing industri lebih baik lagi, termasuk upaya untuk memperbaiki kondisi logistik dan nasional dan penurunan harga gas untuk industri tertentu, termasuk keramik. Dia menilai, gas yang kompetitif penting bagi industri keramik mengingat industri membutuhkan banyak gas.
Di sela-sela acara tersebut, ASAKI juga menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) untuk memastikan alokasi gas yang cukup untuk industri keramik. ASAKI bekerja sama dengan Reed Panorama Exhibitions (RPE) juga menggelar KERAMIKA 2017, sebuah pameran yang bertujuan untuk mempromosikan industri keramik dalam negeri, termasuk ke pasar global. Acara ini digelar empat hari mulai 16-19 Maret 2017 dari pukul 10.00-21.00 WIB, terbuka untuk umum dan gratis.
Ketua Umum ASAKI Elisa Sinaga mengatakan, produk keramik impor asal China terus masuk ke Indonesia meskipun sudah dikenakan bea masuk sebesar 20%. Pada tahun 2018, terang dia bea masuk untuk produk keramik akan menjadi 0% sesuai kesepakatan ACFTA.
"Ini merupakan peringatan kepada semua pihak, produsen di dalam negeri untuk lebih efisien, membenahi diri, supaya bisa bersaing karena tahun 2018 waktunya tidak lama lagi," ujar Elisa di sela-sela pemeran KERAMIKA yang ke-6 di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Kamis (16/3/2017).
Dia menambahkan, impor produk keramik ke Indonesia terus meningkat dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 27% setiap tahunnya. Kondisi ini diakuinya membuat produsen dalam negeri merasa terganggu dengan penetrasi produk keramik impor, terutama yang berasal dari China. Apalagi, permintaan keramik di dalam negeri sedang mengalami penurunan.
Diterangkan olehnya, produk keramik impor kebanyakan memiliki jenis homogenous atau granite tile yang impornya mencapai dua kali dari total produksi homogenous tile dalam negeri. Namun untuk keramik tile biasa, kata Elisa, produsen dalam negeri relatif masih menguasai pangsa pasar dalam negeri. Dia pun berharap, pemerintah bisa menerapkan standar kualitas yang ketat terhadap produk impor sehingga tidak merugikan konsumen.
Lanjut dia, sejumlah produsen keramik dalam negeri juga sudah memanfaatkan teknologi mesin cetak digital yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Tapi, dia juga mengeluhkan berbagai hambatan yang menggerus daya saing industri nasional, seperti ongkos logistik serta harga gas yang mahal.
"Biaya dari China ke Medan itu cuma USD350-USD400 per kontainer. Sedangkan di Indonesia dari Jawa ke Medan saja kena USD700-USD 800 per kontainer. Belum lagi harga gas yang cukup tinggi. Tapi kita menyadari infrastruktur gas kita belum sebaik di China, makanya sedang didorong. Kita tidak mengharapkan harga yang sama, yang penting kompetitif," tukasnya.
Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto mengakui bahwa industri keramik nasional mengalami penurunan. Kapasitas produksi keramik nasional yang mencakup ubin, tableware, sanitary, dan genteng (roof tile) mencapai 580 juta meter persegi sementara utilitasnya hanya 65% atau sekitar 375 juta meter persegi setiap tahun.
Namun demikian, Menperin melihat industri keramik nasional masih bisa tumbuh mengingat permintaan keramik per kapita Indonesia baru 200 meter persegi atau masih lebih rendah daripada permintaan rata-rata di ASEAN yang mencapai 300 meter persegi. "Apalagi dengan adanya proyek infrastruktur, baik kawasan industri maupun perumahan ini bisa menjadi penggerak bagi industri ini," kata dia.
Pemerintah, lanjut Menperin, berupaya untuk mendorong daya saing industri lebih baik lagi, termasuk upaya untuk memperbaiki kondisi logistik dan nasional dan penurunan harga gas untuk industri tertentu, termasuk keramik. Dia menilai, gas yang kompetitif penting bagi industri keramik mengingat industri membutuhkan banyak gas.
Di sela-sela acara tersebut, ASAKI juga menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) untuk memastikan alokasi gas yang cukup untuk industri keramik. ASAKI bekerja sama dengan Reed Panorama Exhibitions (RPE) juga menggelar KERAMIKA 2017, sebuah pameran yang bertujuan untuk mempromosikan industri keramik dalam negeri, termasuk ke pasar global. Acara ini digelar empat hari mulai 16-19 Maret 2017 dari pukul 10.00-21.00 WIB, terbuka untuk umum dan gratis.
(akr)