Target Jokowi pada COP-21 Terancam Gagal
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait energi baru dan terbarukan (EBT) dinilai justru mengancam target Presiden Joko Widodo (Jokowi) , yang disampaikan pada Conference of The Parties (COP) ke-21 di Paris beberapa waktu lalu. Ketika itu ditegaskan bawa Indonesia menargetkan peningkatan penggunaan EBT hingga 23% dari konsumsi energi nasional pada 2025.
“Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017 jelas sangat berpengaruh terhadap target Jokowi,” kata pengamat lingkungan hidup, Berry Nahdian Furqon lewat keterangan resminya di Jakarta, Selasa (21/3/2017).
Menurutnya semangat dalam Permen No. 12 Tahun 2017 berpotensi tidak selaras dengan semangat percepatan pengembangan panas bumi yang tercantum dalam PP No. 7 Tahun 2017 tentan Panas Bumi Untuk Pemanfaatan Tidak Langsung. Sehingga dia menerangkan bisa membuat gairah investasi dan kepastian pengembangan panas bumi menjadi menurun.
Akibatnya, komitmen Presiden pada konferensi tentang perubahan iklim itu pun terancam tidak bisa direalisasikan. Padahal, di hadapan 147 kepala negara ketika itu, Presiden mengatakan, komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi 29% di bawah business as usual pada 2030 dan 41% dengan bantuan internasional.
“Artinya, kalau ada kebijakan pemerintah, termasuk Permen, yang justru menurunkan gairah, membatasi, atau menghambat pengembangan EBT, tentu kurang tepat. Terlebih, dilakukan di tengah kebutuhan ke depan, untuk mendorong energi ramah lingkungan,” lanjutnya.
Berry menambahkan, pengembangan EBT seyogyanya menjadi suatu keharusan. Sebab, sebagai energi bersih dan ramah lingkungan, ke depan, EBT bukan hanya terkait tren, namun sudah menjadi kebutuhan dan peradaban. Dan jika pengembangan EBT terhambat atau terlambat, maka Indonesia akan ketinggalan karena semua negara sudah beralih kepada energi dan teknologi bersih.
“Harusnya, kebijakan pemerintah memberikan ruang untuk mempermudah semua pihak, dalam hal ini swasta dan bahkan masyarakat mandiri, agar mereka bisa mengembangkan EBT. EBT memang dikenal sebagai energi bersih dan ramah lingkungan. Panas bumi, misalnya, berapapun tingkat penggunaannya, sama sekali tidak menghasilkan emisi CO2. Hal ini bertolak belakang dengan batubara, yang justru menjadi penyumbang emisi yang cukup besar," papar dia.
Berdasarkan data yang di keluarkan, Union of Concerned Scientist atau perkumpulan ilmuwan yang peduli terhadap pemanasan global, emisi CO2 yang di keluarkan PLTU per tahun adalah 5.800 ton per tahun/MW (sekitar 0,8-1,5 kg CO2/kwh).
Sementara Ketua Asosiasi Panasbumi Indonesia (API) Abadi Purnomo sebelumnya berharap, pemerintah bisa mendukung pengembangan panas bumi. Namun dia mengkritisi, karena pembandingan harga EBT yang dilakukan sebagai salah satu dasar penerbitan Permen Nomor 12 tahun 2017, ternyata tidak apple to apple.
Karena tidak relevan itulah, penetapan Biaya Pokok Produksi (BPP) sebagai basis penetapan harga membuat panas bumi kembali back to zero, kembali ke masa kegelapan dan ketidakpastian. Terlebih, pemerintah juga tidak transparan dalam hingga menetapkan batasan angka tersebut.
“Jadi mengapa harus sedemikian tinggi untuk menurunkan BPP? Apakah bukan karena adanya inefisiensi di tubuh PLN sendiri? Pertanyaan ini harus dijawab, jangan sampai EBT dikuyo-kuyo, ternyata PLN malah inefiseni,” kata Abadi.
Lebih lanjut dia juga meminta, jika menjadikan berbagai negara sebagai pembanding, maka pemerintah juga harus membuat kondisi yang serupa dengan negara tersebut. “Kalau ingin EBT murah, tolong pemerintah menyediakan tanahnya, tolong semua pajak dibebaskan, dan tolong dananya juga disediakan pemerintah. Karena sekitar 60% proyek-proyek di sana dibiayai pemerintah,” lanjut Abadi.
“Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017 jelas sangat berpengaruh terhadap target Jokowi,” kata pengamat lingkungan hidup, Berry Nahdian Furqon lewat keterangan resminya di Jakarta, Selasa (21/3/2017).
Menurutnya semangat dalam Permen No. 12 Tahun 2017 berpotensi tidak selaras dengan semangat percepatan pengembangan panas bumi yang tercantum dalam PP No. 7 Tahun 2017 tentan Panas Bumi Untuk Pemanfaatan Tidak Langsung. Sehingga dia menerangkan bisa membuat gairah investasi dan kepastian pengembangan panas bumi menjadi menurun.
Akibatnya, komitmen Presiden pada konferensi tentang perubahan iklim itu pun terancam tidak bisa direalisasikan. Padahal, di hadapan 147 kepala negara ketika itu, Presiden mengatakan, komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi 29% di bawah business as usual pada 2030 dan 41% dengan bantuan internasional.
“Artinya, kalau ada kebijakan pemerintah, termasuk Permen, yang justru menurunkan gairah, membatasi, atau menghambat pengembangan EBT, tentu kurang tepat. Terlebih, dilakukan di tengah kebutuhan ke depan, untuk mendorong energi ramah lingkungan,” lanjutnya.
Berry menambahkan, pengembangan EBT seyogyanya menjadi suatu keharusan. Sebab, sebagai energi bersih dan ramah lingkungan, ke depan, EBT bukan hanya terkait tren, namun sudah menjadi kebutuhan dan peradaban. Dan jika pengembangan EBT terhambat atau terlambat, maka Indonesia akan ketinggalan karena semua negara sudah beralih kepada energi dan teknologi bersih.
“Harusnya, kebijakan pemerintah memberikan ruang untuk mempermudah semua pihak, dalam hal ini swasta dan bahkan masyarakat mandiri, agar mereka bisa mengembangkan EBT. EBT memang dikenal sebagai energi bersih dan ramah lingkungan. Panas bumi, misalnya, berapapun tingkat penggunaannya, sama sekali tidak menghasilkan emisi CO2. Hal ini bertolak belakang dengan batubara, yang justru menjadi penyumbang emisi yang cukup besar," papar dia.
Berdasarkan data yang di keluarkan, Union of Concerned Scientist atau perkumpulan ilmuwan yang peduli terhadap pemanasan global, emisi CO2 yang di keluarkan PLTU per tahun adalah 5.800 ton per tahun/MW (sekitar 0,8-1,5 kg CO2/kwh).
Sementara Ketua Asosiasi Panasbumi Indonesia (API) Abadi Purnomo sebelumnya berharap, pemerintah bisa mendukung pengembangan panas bumi. Namun dia mengkritisi, karena pembandingan harga EBT yang dilakukan sebagai salah satu dasar penerbitan Permen Nomor 12 tahun 2017, ternyata tidak apple to apple.
Karena tidak relevan itulah, penetapan Biaya Pokok Produksi (BPP) sebagai basis penetapan harga membuat panas bumi kembali back to zero, kembali ke masa kegelapan dan ketidakpastian. Terlebih, pemerintah juga tidak transparan dalam hingga menetapkan batasan angka tersebut.
“Jadi mengapa harus sedemikian tinggi untuk menurunkan BPP? Apakah bukan karena adanya inefisiensi di tubuh PLN sendiri? Pertanyaan ini harus dijawab, jangan sampai EBT dikuyo-kuyo, ternyata PLN malah inefiseni,” kata Abadi.
Lebih lanjut dia juga meminta, jika menjadikan berbagai negara sebagai pembanding, maka pemerintah juga harus membuat kondisi yang serupa dengan negara tersebut. “Kalau ingin EBT murah, tolong pemerintah menyediakan tanahnya, tolong semua pajak dibebaskan, dan tolong dananya juga disediakan pemerintah. Karena sekitar 60% proyek-proyek di sana dibiayai pemerintah,” lanjut Abadi.
(akr)