Komitmen Susi Atasi Masalah HAM di Industri Perikanan
A
A
A
JAKARTA - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan komitmennya untuk mengatasi masalah Hak Asasi Manusia (HAM) di industri perikanan Indonesia. Hal ini dilakukan salah satunya dengan memastikan hak mereka yang bekerja di perkapalan dilindungi.
Dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, KKP juga telah menerapkan kebijakan moratorium serta melakukan analisis dan evaluasi (Anev) pada kapal ikan yang pembuatannya dilakukan di luar negeri.
"Dari kegiatan Anev menemukan banyak pelanggaran HAM serius di industri perikanan, termasuk perdagangan manusia, penyelundupan manusia, kerja paksa, eksploitasi anak, penyiksaan, diskriminasi upah dan pembayaran di bawah tingkat minimum, dan bekerja tanpa perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja," ujarnya, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (28/3/2017).
Kegiatan Anev, lanjut Susi, juga menemukan setidaknya 168 dari 1.132 kapal ikan yang pembangunannya dilakukan di luar negeri (14,8%) melakukan tindak pidana perdagangan manusia dan kerja paksa. Selain itu, International Organization for Migration (IOM) melaporkan bahwa 1.207 dari 1.258 nelayan asing yang bekerja di kapal ikan eks-asing merupakan korban perdagangan manusia di perairan domestik.
"Dalam kasus Benjina tahun 2014, kementerian juga melaporkan bahwa lebih dari 682 (di Benjina) dan 373 (di Ambon) orang ditemukan menjadi korban perbudakan modern," katanya.
Dalam konferensi tingkat internasional tersebut, bersama Belgia dan beberapa organisasi internasional menyatakan Indonesia dapat dijadikan contoh pemberantasan illegal fishing. Di mana illegal fishing merupakan kejahatan transnasional terorganisir.
“Dengan bersama-sama, kita akan terus mengkampanyekan bahwa illegal fishing merupakan dasar dari kejahatan HAM di industri perikanan. Ini juga untuk memastikan hak mereka dilindungi dan diperhatikan,” pungkasnya.
Dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, KKP juga telah menerapkan kebijakan moratorium serta melakukan analisis dan evaluasi (Anev) pada kapal ikan yang pembuatannya dilakukan di luar negeri.
"Dari kegiatan Anev menemukan banyak pelanggaran HAM serius di industri perikanan, termasuk perdagangan manusia, penyelundupan manusia, kerja paksa, eksploitasi anak, penyiksaan, diskriminasi upah dan pembayaran di bawah tingkat minimum, dan bekerja tanpa perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja," ujarnya, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (28/3/2017).
Kegiatan Anev, lanjut Susi, juga menemukan setidaknya 168 dari 1.132 kapal ikan yang pembangunannya dilakukan di luar negeri (14,8%) melakukan tindak pidana perdagangan manusia dan kerja paksa. Selain itu, International Organization for Migration (IOM) melaporkan bahwa 1.207 dari 1.258 nelayan asing yang bekerja di kapal ikan eks-asing merupakan korban perdagangan manusia di perairan domestik.
"Dalam kasus Benjina tahun 2014, kementerian juga melaporkan bahwa lebih dari 682 (di Benjina) dan 373 (di Ambon) orang ditemukan menjadi korban perbudakan modern," katanya.
Dalam konferensi tingkat internasional tersebut, bersama Belgia dan beberapa organisasi internasional menyatakan Indonesia dapat dijadikan contoh pemberantasan illegal fishing. Di mana illegal fishing merupakan kejahatan transnasional terorganisir.
“Dengan bersama-sama, kita akan terus mengkampanyekan bahwa illegal fishing merupakan dasar dari kejahatan HAM di industri perikanan. Ini juga untuk memastikan hak mereka dilindungi dan diperhatikan,” pungkasnya.
(dmd)