Pemerintah Pertimbangkan Atur Pemasangan Ballas Kapal Domestik
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akan mempertimbangkan penerapan aturan pemasangan ballas kapal atau pemasangan sistem penyeimbang kapal memanfaatkan air laut atau ballas kepada kapal domestik yang berlaku September 2017.
Direktur Perkapalan dan Kepelautan Kemenhub Capt Rudiana mengatakan, pihaknya akan mempertimbangkan penerapan pemasangan sistem ballas tersebut, terutama kepada kapal domestik yang masih melakukan pengiriman logistik di wilayah ASEAN.
"Saya juga khawatir, perekonomian kita juga tidak bagus-bagus amat, terutama di sektor kapal. Pemasangan alat atau sistem itu memang masih agak mahal. Makanya kami akan diskusi kalangan asosiasi pemilik kapal atau INSA mengenai hal ini," ujarnya pada seminar Manajemen Air Ballas dan Sedimen dari Kapal, Jakarta, Jumat (31/3/2017).
Pemerintah akan menerapkan syarat penggunaan sistem manajemen air ballas bagi kapal-kapal nasional kegiatan ekspor-impor pada September 2017. Hal ini sejalan dengan telah dilakukannya ratifikasi konvensi internasional terkait pengendalian dan manajemen air ballas dan sedimen dari kapal oleh Indonesia sejak November 2015.
Ratifikasi konvensi internasional tersebut, maka Pemerintah Indonesia serta pelaku pelayaran nasional diwajibkan untuk mematuhinya. Dalam ratifikasi tersebut juga ditegaskan melalui Perpres Nor 132/2015 tentang Pengesahan Konvensi Internasional untuk Pengendalian dan Manajemen Air Ballas dan Sedimen dari Kapal.
Salah satu poinnya adalah pada 8 September 2017, kewajiban penggunaan sistem manajemen air ballas pada kapal-kapal nasional dengan kegiatan ekspor impor. Sedangkan kapal-kapal berbendera Indonesia yang menjalankan usaha pelayaran domestik tidak terkena kewajiban penyematan sistem manajemen air ballas.
"September 2017 ini kita jalan. Ini, terutama bagi kapal yang keluar negeri harus ada sistem manajemen air ballas. Di wilayah ASEAN, baru dua negara yang meratifikasi, yaitu Indonesia dan Malaysia," pungkas Rudiana.
Di tempat yang sama, Ketua Umum Asosiasi Pemilik Kapal Indonesia National Shipowners Association atau INSA, Carmelita Hartoto mengatakan, pemasangan alat tersebut masih berat diterapkan di Indonesia.
Alasannya, kondisi galangan tidak selalu siap menampung kapal dengan pemasangan alat tersebut. Selain itu, investasi pemasangan alat tersebut juga masih cukup mahal atau mencapai USD1 juta.
"Kami minta supaya diberi pengecualian atau toleransi. Yang lebih penting kapal domestik kadang masih ada yang melakukan pengiriman barang ke luar negeri di wilayah ASEAN. Sehingga, kalau pasang alat atau sistem tersebut dinilai masih terlalu mahal," tutur Carmelita.
Pihaknya bersama sejumlah asosiasi pemilik kapal di ASEAN yang tergabung dalam Federation of ASEAN Shipowners Association (FASA) sedang berupaya membuat kesepakatan agar kewajiban pemasangan sistem air ballas tidak perlu dikenakan untuk kawasan atau wilayah ASEAN.
Namun, kebijakan itu baru bisa terealisasi dengan adanya keputusan bersama antar pemerintah di kawasan ASEAN. Carmelita menambahkan bahwa saat ini tren industri pelayaran secara umum masih stagnan.
Hal tersebut juga menjadi kendala bagi kapal-kapal untuk memasang sistem pengendalian air ballas. "Manajemen air ballas butuh biaya. Tapi, di sisi lain produksi sedang menurun," kata Carmelita.
Direktur Perkapalan dan Kepelautan Kemenhub Capt Rudiana mengatakan, pihaknya akan mempertimbangkan penerapan pemasangan sistem ballas tersebut, terutama kepada kapal domestik yang masih melakukan pengiriman logistik di wilayah ASEAN.
"Saya juga khawatir, perekonomian kita juga tidak bagus-bagus amat, terutama di sektor kapal. Pemasangan alat atau sistem itu memang masih agak mahal. Makanya kami akan diskusi kalangan asosiasi pemilik kapal atau INSA mengenai hal ini," ujarnya pada seminar Manajemen Air Ballas dan Sedimen dari Kapal, Jakarta, Jumat (31/3/2017).
Pemerintah akan menerapkan syarat penggunaan sistem manajemen air ballas bagi kapal-kapal nasional kegiatan ekspor-impor pada September 2017. Hal ini sejalan dengan telah dilakukannya ratifikasi konvensi internasional terkait pengendalian dan manajemen air ballas dan sedimen dari kapal oleh Indonesia sejak November 2015.
Ratifikasi konvensi internasional tersebut, maka Pemerintah Indonesia serta pelaku pelayaran nasional diwajibkan untuk mematuhinya. Dalam ratifikasi tersebut juga ditegaskan melalui Perpres Nor 132/2015 tentang Pengesahan Konvensi Internasional untuk Pengendalian dan Manajemen Air Ballas dan Sedimen dari Kapal.
Salah satu poinnya adalah pada 8 September 2017, kewajiban penggunaan sistem manajemen air ballas pada kapal-kapal nasional dengan kegiatan ekspor impor. Sedangkan kapal-kapal berbendera Indonesia yang menjalankan usaha pelayaran domestik tidak terkena kewajiban penyematan sistem manajemen air ballas.
"September 2017 ini kita jalan. Ini, terutama bagi kapal yang keluar negeri harus ada sistem manajemen air ballas. Di wilayah ASEAN, baru dua negara yang meratifikasi, yaitu Indonesia dan Malaysia," pungkas Rudiana.
Di tempat yang sama, Ketua Umum Asosiasi Pemilik Kapal Indonesia National Shipowners Association atau INSA, Carmelita Hartoto mengatakan, pemasangan alat tersebut masih berat diterapkan di Indonesia.
Alasannya, kondisi galangan tidak selalu siap menampung kapal dengan pemasangan alat tersebut. Selain itu, investasi pemasangan alat tersebut juga masih cukup mahal atau mencapai USD1 juta.
"Kami minta supaya diberi pengecualian atau toleransi. Yang lebih penting kapal domestik kadang masih ada yang melakukan pengiriman barang ke luar negeri di wilayah ASEAN. Sehingga, kalau pasang alat atau sistem tersebut dinilai masih terlalu mahal," tutur Carmelita.
Pihaknya bersama sejumlah asosiasi pemilik kapal di ASEAN yang tergabung dalam Federation of ASEAN Shipowners Association (FASA) sedang berupaya membuat kesepakatan agar kewajiban pemasangan sistem air ballas tidak perlu dikenakan untuk kawasan atau wilayah ASEAN.
Namun, kebijakan itu baru bisa terealisasi dengan adanya keputusan bersama antar pemerintah di kawasan ASEAN. Carmelita menambahkan bahwa saat ini tren industri pelayaran secara umum masih stagnan.
Hal tersebut juga menjadi kendala bagi kapal-kapal untuk memasang sistem pengendalian air ballas. "Manajemen air ballas butuh biaya. Tapi, di sisi lain produksi sedang menurun," kata Carmelita.
(izz)