Software is Eating (Traditional) Media Company
A
A
A
“Software is eating the world,” kata Marc Andressen pendiri Netscape, mesin pencari internet pertama. Intinya Andressen ingin mengatakan bahwa software dan teknologi digital telah memorak-porandakan industri konvensional.
Apa pun perusahaan yang tidak mengadopsi teknologi digital akan ditelan pesaing-pesaing digital yang tak lain adalah perusahaan perangkat lunak (software company). Harus diingat, perusahaan penjual buku terbesar di dunia saat ini adalah software company bernama Amazon. Hotel terbesar di dunia saat ini adalah software company, yaitu AirBnB.
Perusahaan layanan video terbesar di dunia saat ini adalah software company, yaitu Netflix. Penguasa industri musik dunia saat ini adalah software company, yaitu Apple (iTunes), Spotify, dan Pandora. Contoh-contoh ini bisa diurai lebih panjang lagi.
Salah satu korban software company dan teknologi digital adalah perusahaan media konvensional seperti stasiun TV, radio, atau media cetak (koran dan majalah). Kebetulan beberapa waktu lalu saya melakukan riset mengenai disrupsi digital di industri media konvensional, termasuk juga agensi komunikasi yang menjadi perantara antara brand (klien) dengan perusahaan media. Berikut ini adalah tiga fenomena menarik yang menjadi mimpi buruk bagi media konvensional tersebut.
Maraknya Owned Media
Teknologi digital memicu terjadinya demokratisasi media, yaitu siapa pun bisa memiliki media sendiri. Tak hanya perusahaan besar, bahkan setiap individu kini bisa memiliki media melalui blog atau akun media sosial. Walaupun potensi owned media ini sudah lama hadir, belum banyak pemilik merek yang serius menggarapnya. Namun kini urgensi memiliki dan mengelola media mereka sendiri mulai muncul.
Now for the first time, merek-merek besar seperti Unilever atau P&G mulai serius membuat Facebook fanpage atau kanal YouTube mereka sendiri. Yang mereka iklankan kini tak hanya produk, tapi juga fanpage atau website mereka. Kini makin banyak pemilik merek membangun community blog dan mengaktivasi akun media sosial mereka sebagai untuk menjadi “rumah” bagi konsumen.
Melalui owned media tersebut mereka membangun relationship dan engagement dengan konsumen secara terus-menerus dalam jangka waktu panjang. Jadi mereka juga memproduksi dan mengurasi konten layaknya perusahaan media untuk menciptakan engagement.
Audience Buying
Lanskap media terdisrupsi dengan kehadiran pemain-pemain seperti Google, Facebook, Twitter atau You- Tube. Raksasa-raksasa global ini menggunakan platform sosial untuk mengumpulkan jutaan massa audiens (big data), memberi mereka wadah interaksi, kemudian dengan mesin-mesin analitis mereka menggali dan membaca perilaku audiens tersebut.
So, data dan insight perilaku konsumen inilah yang nantinya mereka jual kepada pemilik merek. Jadi aset paling berharga dari perusahaan- perusahaan seperti itu ada tiga: data konsumen (big data), mesin pengolah data (menggunakan algoritma, machine learning, atau predictiveanalysis), dan tentu para ilmuwan data (datascientist) yang mengolah data menjadi insights berharga bagi klien.
Dengan adanya perusahaan-perusahaan semacam ini, komunikasi pemasaran akan bergeser dari placement buying ke audience buying. Komunikasi pemasaran konvensional yang dijalankan selama ini pendekatannya adalah kita melakukan placement di halaman cover majalah atau di halaman depan sebuah website agar dilihat oleh target audiens (menghasilkan impression).
Inilah yang disebut placement buying. Kini placement buying mulai tergantikan oleh audience buying, yaitu pemilik merek membeli audiens yang hendak ditarget oleh brand dari Google atau Facebook (sebagai data holder) dan menjalankan program komunikasi pemasaran kepada target audiens tersebut secara presisi dan terukur. Program komunikasi pemasarannya pun dilakukan dengan otomasi (sering disebut programatic buying). Jadi dilakukan robot (algoritma), bukan oleh manusia.
Kalau mau bertahan, perusahaan media harus menjadi perusahaan seperti Google atau Facebook: membangun basis big data, menciptakan teknologi untuk mengembangkan mesinmesin analitis, dan menarik talentatalenta data scientist terbaik.
Programatic Buying
Kalau audience buying terkait dengan bagaimana kita menarget audiens secara presisi dan terukur, kemajuan teknologi digital juga mengubah cara kita membeli dan menjual media (media buying and selling) melalui pendekatan yang disebut programatic buying. Dengan pendekatan baru ini kini beriklan menjadi sangat data-driven dan technology -driven.
Google mendefinisikan programatic buying secara sederhana sebagai berikut: “Use of technology and audience insights to automatically buy and run a campaign in real time, reaching the right user with the right message".
Intinya adalah mengotomasi dan mengoptimasi proses beriklan untuk menghasilkan pesan yang relevan, ke audiens yang tepat, dan berlangsung secara real time. Caranya dengan memanfaatkan big data yang dianalisis menggunakan robot (algoritma). Contoh gampangnya adalah AdWords, iklan highly-targeted berbasis algoritma milik Google.
Namun programatic buying jauh lebih kompleks tak hanya sebatas search dan display ads, tetapi juga format lain (seperti video) dan disebarkan secara multikanal (desktop atau mobile). Secara konvensional, ketika akan beriklan kita akan melakukan serangkaian proses mulai dari mengontak perusahaan media, mengorder, bernegosiasi, menentukan materi iklan, menetapkan waktu tayang, kemudian mengeksekusi dan mengevaluasinya.
Semua ini adalah proses manual yang membutuhkan interaksi manusia yang memakan waktu dan biaya. Nah, dengan programatic buying, semua proses manual itu tergantikan oleh mesin sehingga tercipta efisiensi waktu, biaya, dan hasil iklan yang impactful dalam menyasar target audiens.
Jadi si pengiklan dan pemilik merek cukup login ke dashboard, menentukan kampanye iklannya, menetapkan anggaran, merumuskan profil dari audiens yang hendak ditarget, mengunggah materi iklan, menentukan harga penawaran untuk lelang, kemudian klik tombol eksekusi. Maka kampanye iklan kemudian berjalan secara otomatis dan laporan bisa dilihat di dashboard secara real time.
Di sini algoritma digunakan untuk memfilter impresi iklan yang diturunkan dari data perilaku konsumen. Hal ini menjadikan pengiklan bisa menetapkan anggaran, tujuan, dan optimasi iklan untuk mendongkrak return on marketing investment (ROMI). Dengan otomasi seperti ini, agensi media dengan sendirinya akan di-bypass oleh pemilik merek. Programatic buying akan menghapuskan peran agensi media sebagai middleman. Upsssss.
Yuswohady
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
Apa pun perusahaan yang tidak mengadopsi teknologi digital akan ditelan pesaing-pesaing digital yang tak lain adalah perusahaan perangkat lunak (software company). Harus diingat, perusahaan penjual buku terbesar di dunia saat ini adalah software company bernama Amazon. Hotel terbesar di dunia saat ini adalah software company, yaitu AirBnB.
Perusahaan layanan video terbesar di dunia saat ini adalah software company, yaitu Netflix. Penguasa industri musik dunia saat ini adalah software company, yaitu Apple (iTunes), Spotify, dan Pandora. Contoh-contoh ini bisa diurai lebih panjang lagi.
Salah satu korban software company dan teknologi digital adalah perusahaan media konvensional seperti stasiun TV, radio, atau media cetak (koran dan majalah). Kebetulan beberapa waktu lalu saya melakukan riset mengenai disrupsi digital di industri media konvensional, termasuk juga agensi komunikasi yang menjadi perantara antara brand (klien) dengan perusahaan media. Berikut ini adalah tiga fenomena menarik yang menjadi mimpi buruk bagi media konvensional tersebut.
Maraknya Owned Media
Teknologi digital memicu terjadinya demokratisasi media, yaitu siapa pun bisa memiliki media sendiri. Tak hanya perusahaan besar, bahkan setiap individu kini bisa memiliki media melalui blog atau akun media sosial. Walaupun potensi owned media ini sudah lama hadir, belum banyak pemilik merek yang serius menggarapnya. Namun kini urgensi memiliki dan mengelola media mereka sendiri mulai muncul.
Now for the first time, merek-merek besar seperti Unilever atau P&G mulai serius membuat Facebook fanpage atau kanal YouTube mereka sendiri. Yang mereka iklankan kini tak hanya produk, tapi juga fanpage atau website mereka. Kini makin banyak pemilik merek membangun community blog dan mengaktivasi akun media sosial mereka sebagai untuk menjadi “rumah” bagi konsumen.
Melalui owned media tersebut mereka membangun relationship dan engagement dengan konsumen secara terus-menerus dalam jangka waktu panjang. Jadi mereka juga memproduksi dan mengurasi konten layaknya perusahaan media untuk menciptakan engagement.
Audience Buying
Lanskap media terdisrupsi dengan kehadiran pemain-pemain seperti Google, Facebook, Twitter atau You- Tube. Raksasa-raksasa global ini menggunakan platform sosial untuk mengumpulkan jutaan massa audiens (big data), memberi mereka wadah interaksi, kemudian dengan mesin-mesin analitis mereka menggali dan membaca perilaku audiens tersebut.
So, data dan insight perilaku konsumen inilah yang nantinya mereka jual kepada pemilik merek. Jadi aset paling berharga dari perusahaan- perusahaan seperti itu ada tiga: data konsumen (big data), mesin pengolah data (menggunakan algoritma, machine learning, atau predictiveanalysis), dan tentu para ilmuwan data (datascientist) yang mengolah data menjadi insights berharga bagi klien.
Dengan adanya perusahaan-perusahaan semacam ini, komunikasi pemasaran akan bergeser dari placement buying ke audience buying. Komunikasi pemasaran konvensional yang dijalankan selama ini pendekatannya adalah kita melakukan placement di halaman cover majalah atau di halaman depan sebuah website agar dilihat oleh target audiens (menghasilkan impression).
Inilah yang disebut placement buying. Kini placement buying mulai tergantikan oleh audience buying, yaitu pemilik merek membeli audiens yang hendak ditarget oleh brand dari Google atau Facebook (sebagai data holder) dan menjalankan program komunikasi pemasaran kepada target audiens tersebut secara presisi dan terukur. Program komunikasi pemasarannya pun dilakukan dengan otomasi (sering disebut programatic buying). Jadi dilakukan robot (algoritma), bukan oleh manusia.
Kalau mau bertahan, perusahaan media harus menjadi perusahaan seperti Google atau Facebook: membangun basis big data, menciptakan teknologi untuk mengembangkan mesinmesin analitis, dan menarik talentatalenta data scientist terbaik.
Programatic Buying
Kalau audience buying terkait dengan bagaimana kita menarget audiens secara presisi dan terukur, kemajuan teknologi digital juga mengubah cara kita membeli dan menjual media (media buying and selling) melalui pendekatan yang disebut programatic buying. Dengan pendekatan baru ini kini beriklan menjadi sangat data-driven dan technology -driven.
Google mendefinisikan programatic buying secara sederhana sebagai berikut: “Use of technology and audience insights to automatically buy and run a campaign in real time, reaching the right user with the right message".
Intinya adalah mengotomasi dan mengoptimasi proses beriklan untuk menghasilkan pesan yang relevan, ke audiens yang tepat, dan berlangsung secara real time. Caranya dengan memanfaatkan big data yang dianalisis menggunakan robot (algoritma). Contoh gampangnya adalah AdWords, iklan highly-targeted berbasis algoritma milik Google.
Namun programatic buying jauh lebih kompleks tak hanya sebatas search dan display ads, tetapi juga format lain (seperti video) dan disebarkan secara multikanal (desktop atau mobile). Secara konvensional, ketika akan beriklan kita akan melakukan serangkaian proses mulai dari mengontak perusahaan media, mengorder, bernegosiasi, menentukan materi iklan, menetapkan waktu tayang, kemudian mengeksekusi dan mengevaluasinya.
Semua ini adalah proses manual yang membutuhkan interaksi manusia yang memakan waktu dan biaya. Nah, dengan programatic buying, semua proses manual itu tergantikan oleh mesin sehingga tercipta efisiensi waktu, biaya, dan hasil iklan yang impactful dalam menyasar target audiens.
Jadi si pengiklan dan pemilik merek cukup login ke dashboard, menentukan kampanye iklannya, menetapkan anggaran, merumuskan profil dari audiens yang hendak ditarget, mengunggah materi iklan, menentukan harga penawaran untuk lelang, kemudian klik tombol eksekusi. Maka kampanye iklan kemudian berjalan secara otomatis dan laporan bisa dilihat di dashboard secara real time.
Di sini algoritma digunakan untuk memfilter impresi iklan yang diturunkan dari data perilaku konsumen. Hal ini menjadikan pengiklan bisa menetapkan anggaran, tujuan, dan optimasi iklan untuk mendongkrak return on marketing investment (ROMI). Dengan otomasi seperti ini, agensi media dengan sendirinya akan di-bypass oleh pemilik merek. Programatic buying akan menghapuskan peran agensi media sebagai middleman. Upsssss.
Yuswohady
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
(akr)