Urgensi Alternatif Pembiayaan Publik yang Berbasis Syariah
A
A
A
JAKARTA - Pengelolaan pembiayaan publik semakin kompleks selaras dengan tuntutan kebutuhan pembangunan di daerah. Selain itu, alternatif pembiayaan bagi daerah, seperti Sukuk (Obligasi Daerah) untuk daerah perlu segera direalisasikan.
Isu ini menjadi fokus utama dalam Seminar Nasional bertajuk “Mencari Sumber Alternatif Pembiayaan Daerah yang Berbasis Syariah” yang diselenggarakan oleh Islamic Economics Forum for Indonesia Development (ISEFID) dan Program Magister Manajemen Universitas Paramadina.
Direktur Pembiayaan Syariah, Kementerian Keuangan Suminto menyatakan, sukuk daerah atau obligasi daerah perlu dipertimbangkan untuk mengatasi keterbatasan anggaran dalam mendorong akselerasi pembangunan daerah.
Suminto menegaskan, bahwa sukuk daerah bukanlah untuk mendorong daerah-daerah untuk berutang tapi supaya proses pembangunan daerah dan nasional bisa sejalan sesuai dengan rencana pembangunan nasional yang sudah ditentukan, baik dalam RPJMD mapun dalam RPJM.
Menurut Suminto, karena memang pada dasarnya sukuk merupakan instrumen yang menggunakan pendekatan investasi daripada pendekatan utang. Namun diakui masih dibutuhkan sosialisasi yang lebih mendalam kepada para pemangku kebijakan di daerah dalam aplikasinya.
Sementara itu, Handi Risza Idris, Ketua Program Pascasarjana Universitas Paramadina, menggarisbawahi perlunya pemikiran baru terkait pengelolaan keuangan negara dan daerah.
Bahkan Handi menyebutkan bahwa kini adalah saat yang tepat untuk meninjau ulang atau merevisi dasar kebijakan pengelolaan keuangan negara dan daerah.
“Terobosoan menggunakan sukuk daerah dapat menjadi alternatif yang sangat potensial, meski membutuhkan kesiapan daerah berupa regulasi dan budaya pengelolaan anggaran yang lebih baik. Sukuk daerah sendiri dengan sifatnya transaksinya yang berbasis underlying asset/project diyakini akan memberikan kemanfaatan seperti tepat guna anggaran, transparansi, akuntabilitas dan pengawasan pengelolaan anggaran yang lebih baik bagi pemerintah daerah,” papar Handi dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Senin (3/4/2017).
Sementara itu, salah satu rujukan yang bisa diambil dalam melakukan proses adaptasi dan perbaikan kebijakan ini adalah merujuk kepada konsep yang ada dalam diskursus ekonomi Islam. Dodik Siswantoro, dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia, menyampaikan proses reformasi administrasi yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz sebagai salah satu model yang bisa diteliti.
Dodik menegaskan, pengelola keuangan daerah perlu mengambil inspirasi dan belajar dari penerapan model kebijakan fiskal Islam dalam konteks kontemporer.
Menurut Dodik, corak instrumen-instrumen keuangan publik dalam ekonomi Islam yang menempatkan kelompok masyarakat kecil sebagai objek pertama dan utama pembangunan ekonomi, menjadi salah satu pelajaran yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan anggaran pemerintah.
Sebagai latar belakang, selama ini penerbitan Sukuk Negara Ritel secara reguler sejak tahun 2009 telah menjadi salah satu instrumen financial inclusion yang luar biasa dan turut berperan efektif dalam upaya transformasi masyarakat Indonesia dari saving-oriented society menjadi investment-oriented society.
Sampai dengan tahun 2016, telah diterbitkan delapan seri Sukuk Negara Ritel dengan nilai penerbitan yang semakin meningkat. Minat masyarakat terhadap Sukuk Negara Ritel juga semakin baik.
Hal ini terlihat dari jumlah nominal penerbitan yang mengalami peningkatan setiap tahunnya dari sebesar Rp5,5 triliun pada tahun 2009, menjadi Rp31,5 triliun pada penerbitan tahun 2016. Total akumulasi penerbitan Sukuk Negara Ritel sampai dengan saat ini adalah sebesar Rp122,3 triliun.
Isu ini menjadi fokus utama dalam Seminar Nasional bertajuk “Mencari Sumber Alternatif Pembiayaan Daerah yang Berbasis Syariah” yang diselenggarakan oleh Islamic Economics Forum for Indonesia Development (ISEFID) dan Program Magister Manajemen Universitas Paramadina.
Direktur Pembiayaan Syariah, Kementerian Keuangan Suminto menyatakan, sukuk daerah atau obligasi daerah perlu dipertimbangkan untuk mengatasi keterbatasan anggaran dalam mendorong akselerasi pembangunan daerah.
Suminto menegaskan, bahwa sukuk daerah bukanlah untuk mendorong daerah-daerah untuk berutang tapi supaya proses pembangunan daerah dan nasional bisa sejalan sesuai dengan rencana pembangunan nasional yang sudah ditentukan, baik dalam RPJMD mapun dalam RPJM.
Menurut Suminto, karena memang pada dasarnya sukuk merupakan instrumen yang menggunakan pendekatan investasi daripada pendekatan utang. Namun diakui masih dibutuhkan sosialisasi yang lebih mendalam kepada para pemangku kebijakan di daerah dalam aplikasinya.
Sementara itu, Handi Risza Idris, Ketua Program Pascasarjana Universitas Paramadina, menggarisbawahi perlunya pemikiran baru terkait pengelolaan keuangan negara dan daerah.
Bahkan Handi menyebutkan bahwa kini adalah saat yang tepat untuk meninjau ulang atau merevisi dasar kebijakan pengelolaan keuangan negara dan daerah.
“Terobosoan menggunakan sukuk daerah dapat menjadi alternatif yang sangat potensial, meski membutuhkan kesiapan daerah berupa regulasi dan budaya pengelolaan anggaran yang lebih baik. Sukuk daerah sendiri dengan sifatnya transaksinya yang berbasis underlying asset/project diyakini akan memberikan kemanfaatan seperti tepat guna anggaran, transparansi, akuntabilitas dan pengawasan pengelolaan anggaran yang lebih baik bagi pemerintah daerah,” papar Handi dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Senin (3/4/2017).
Sementara itu, salah satu rujukan yang bisa diambil dalam melakukan proses adaptasi dan perbaikan kebijakan ini adalah merujuk kepada konsep yang ada dalam diskursus ekonomi Islam. Dodik Siswantoro, dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia, menyampaikan proses reformasi administrasi yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz sebagai salah satu model yang bisa diteliti.
Dodik menegaskan, pengelola keuangan daerah perlu mengambil inspirasi dan belajar dari penerapan model kebijakan fiskal Islam dalam konteks kontemporer.
Menurut Dodik, corak instrumen-instrumen keuangan publik dalam ekonomi Islam yang menempatkan kelompok masyarakat kecil sebagai objek pertama dan utama pembangunan ekonomi, menjadi salah satu pelajaran yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan anggaran pemerintah.
Sebagai latar belakang, selama ini penerbitan Sukuk Negara Ritel secara reguler sejak tahun 2009 telah menjadi salah satu instrumen financial inclusion yang luar biasa dan turut berperan efektif dalam upaya transformasi masyarakat Indonesia dari saving-oriented society menjadi investment-oriented society.
Sampai dengan tahun 2016, telah diterbitkan delapan seri Sukuk Negara Ritel dengan nilai penerbitan yang semakin meningkat. Minat masyarakat terhadap Sukuk Negara Ritel juga semakin baik.
Hal ini terlihat dari jumlah nominal penerbitan yang mengalami peningkatan setiap tahunnya dari sebesar Rp5,5 triliun pada tahun 2009, menjadi Rp31,5 triliun pada penerbitan tahun 2016. Total akumulasi penerbitan Sukuk Negara Ritel sampai dengan saat ini adalah sebesar Rp122,3 triliun.
(ven)