Peningkatan Aset PLN Seharusnya Diiringi Kenaikan Pendapatan
A
A
A
JAKARTA - Penurunan laba bersih PT PLN (Persero) pada 2016 yang dikatakan karena keikutsertaan dalam program pengampunan pajak atau tax amnesty dipertanyakan. Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutaean menilai PLN justru tidak terbuka mengenai penyebab yang sebenarnya.
“PLN harus lebih terbuka. Tidak bisa PLN menjadikan tax amnesty sebagai penyebab penurunan laba bersih. Karena hal ini sama artinya PLN sedang beropini bahwa tax amnesty bermasalah, yakni dengan menjadikan beban bagi perusahaan lokal, baik BUMN maupun swasta,” ungkapnya lewat keterangan resmi di Jakarta, Senin (10/4/2017).
Lebih lanjut dia mengakui, bahwa aset PLN mengalami peningkatan setelah revaluasi aset. Namun peningkatan tersebut, seharusnya juga meningkatkan pendapatan dan keuntungan. “Lagi pula, seberapa besar sih tax amnesty PLN? Apa sih aset-aset BUMN yang harus diikutkan sebagai tax amnesty? Karena tentu PLN selama ini sudah melaporkan semua asetnya dengan benar,” lanjut dia.
Menurutnya, laba bersih PLN seharusnya memang tidak menurun. Sebab, dilihat dari sisi penjualan, saat ini PLN juga menunjukkan peningkatan. Selain itu, karena pada saat bersamaan, subsidi bagi pelanggan juga sudah mulai dikurangi secara bertahap.
Dalam konteks itulah, Ferdinand menduga, penyebab utama penurunan laba bersih PLN yang sangat signifikan tersebut, karena terpakai untuk proyek 35 ribu MW. Sebab untuk mengerjakan proyek tersebut, mau tidak mau perusahaan listrik pelat merah itu harus mengeluarkan dana terlebih dahulu. “Tergerusnya keuntungan PLN bagi megaproyek tersebut, memang sangat realistis. Sebab beban proyek 35 ribu MW memang sangat tinggi,” papar dia.
Lantaran hal tersebut, dia juga minta agar PLN berkonsentrasi saja pada proyek 35 ribu MW. Karena untuk membangun jaringan transmisi dan distribusi pada proyek tersebut, misalnya, PLN membutuhkan dana Rp300 triliun. “Dari mana dana sebesar itu diperoleh?,” lanjutnya.
Itu pula sebabnya, dia mempertanyakan pengajuan konsesi yang dilakukan PLN, terkait pengembangan 14 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP), yang memiliki total cadangan panas bumi kurang lebih 1.100 MW. “Sangat aneh jika PLN meminta konsesi panas bumi. Sebab, selain pengembangan infrastrukturnya mahal, listrik yang dihasilkan pun harus dijual murah. Bahkan, yang dulu sudah adapun mereka tinggalkan,” kata Ferdinand.
Menurut Ferdinand, jika PLN memaksakan meminta konsesi panas bumi, justru akan menambah beban keuangan perusahaan. Dan jika itu terjadi, maka proyek Presiden Jokowi tersebut, akan terancam gagal.
Terkait alasan penurunan laba bersih, sebelumnya disampaikan Direktur Perencanaan PT PLN Nicke Widyawati. Nicke menjelaskan, bahwa penyebab penurunan laba bersih, karena PLN berusaha terus memberikan tarif yang kompetitif bagi masyarakat dan dunia usaha. Selain itu, PLN juga mengikuti tax amnesty untuk mendukung program pemerintah, sehingga beban pajak tahun 2016 meningkat cukup signifikan.
Selama 2016, laba bersih PLN turun mencapai sebesar 32,6 persen dibandingkan 2015. Pada 2016 PLN hanya meraup Rp10,5 triliun. Angka tersebut jauh di bawah laba bersih 2015, yaitu Rp15,6 triliun.
“PLN harus lebih terbuka. Tidak bisa PLN menjadikan tax amnesty sebagai penyebab penurunan laba bersih. Karena hal ini sama artinya PLN sedang beropini bahwa tax amnesty bermasalah, yakni dengan menjadikan beban bagi perusahaan lokal, baik BUMN maupun swasta,” ungkapnya lewat keterangan resmi di Jakarta, Senin (10/4/2017).
Lebih lanjut dia mengakui, bahwa aset PLN mengalami peningkatan setelah revaluasi aset. Namun peningkatan tersebut, seharusnya juga meningkatkan pendapatan dan keuntungan. “Lagi pula, seberapa besar sih tax amnesty PLN? Apa sih aset-aset BUMN yang harus diikutkan sebagai tax amnesty? Karena tentu PLN selama ini sudah melaporkan semua asetnya dengan benar,” lanjut dia.
Menurutnya, laba bersih PLN seharusnya memang tidak menurun. Sebab, dilihat dari sisi penjualan, saat ini PLN juga menunjukkan peningkatan. Selain itu, karena pada saat bersamaan, subsidi bagi pelanggan juga sudah mulai dikurangi secara bertahap.
Dalam konteks itulah, Ferdinand menduga, penyebab utama penurunan laba bersih PLN yang sangat signifikan tersebut, karena terpakai untuk proyek 35 ribu MW. Sebab untuk mengerjakan proyek tersebut, mau tidak mau perusahaan listrik pelat merah itu harus mengeluarkan dana terlebih dahulu. “Tergerusnya keuntungan PLN bagi megaproyek tersebut, memang sangat realistis. Sebab beban proyek 35 ribu MW memang sangat tinggi,” papar dia.
Lantaran hal tersebut, dia juga minta agar PLN berkonsentrasi saja pada proyek 35 ribu MW. Karena untuk membangun jaringan transmisi dan distribusi pada proyek tersebut, misalnya, PLN membutuhkan dana Rp300 triliun. “Dari mana dana sebesar itu diperoleh?,” lanjutnya.
Itu pula sebabnya, dia mempertanyakan pengajuan konsesi yang dilakukan PLN, terkait pengembangan 14 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP), yang memiliki total cadangan panas bumi kurang lebih 1.100 MW. “Sangat aneh jika PLN meminta konsesi panas bumi. Sebab, selain pengembangan infrastrukturnya mahal, listrik yang dihasilkan pun harus dijual murah. Bahkan, yang dulu sudah adapun mereka tinggalkan,” kata Ferdinand.
Menurut Ferdinand, jika PLN memaksakan meminta konsesi panas bumi, justru akan menambah beban keuangan perusahaan. Dan jika itu terjadi, maka proyek Presiden Jokowi tersebut, akan terancam gagal.
Terkait alasan penurunan laba bersih, sebelumnya disampaikan Direktur Perencanaan PT PLN Nicke Widyawati. Nicke menjelaskan, bahwa penyebab penurunan laba bersih, karena PLN berusaha terus memberikan tarif yang kompetitif bagi masyarakat dan dunia usaha. Selain itu, PLN juga mengikuti tax amnesty untuk mendukung program pemerintah, sehingga beban pajak tahun 2016 meningkat cukup signifikan.
Selama 2016, laba bersih PLN turun mencapai sebesar 32,6 persen dibandingkan 2015. Pada 2016 PLN hanya meraup Rp10,5 triliun. Angka tersebut jauh di bawah laba bersih 2015, yaitu Rp15,6 triliun.
(akr)