Ketahanan Fiskal Indonesia Tidak Mengkhawatirkan
A
A
A
JAKARTA - Ekonom Bahana Sekuritas Fakhrul Fulvian mengatakan, ketahanan fiskal Indonesia sebenarnya tidak terlalu mengkhawatirkan. Salah satu indikatornya bisa terlihat dari mulai membaiknya tren pendapatan negara dan pertumbuhan ekonomi 5,0% di 2016 meski pemerintah melakukan pengetatan anggaran 2016.
Anggaran yang lebih prudent juga telah membuat defisit transaksi berjalan Indonesia tahun lalu menjadi lebih baik pada 1,8% dari produk domestik bruto (PDB) atau USD16,3 miliar. Bandingkan dengan pencapaian 2015, di mana defisit masih tercatat sebesar 2% dari PDB atau USD17,5 miliar.
Menurutnya, defisit diperkirakan akan naik menjadi 2,1% dari PDB seiring dengan ekspansi perekonomian. "Naiknya defisit ini bukan hal menakutkan bagi investor sepanjang kenaikan tersebut diikuti dengan pertumbuhan ekonomi dan membaiknya efisiensi baik di sektor publik dan swasta," kata dia dalam siaran pers, Jakarta, Senin (10/4/2017).
Hal yang menjadi perhatian investor dalam jangka panjang adalah langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam menjaga ketahanan fiskal. Di antaranya dengan menyesuaikan harga minyak di dalam negeri sesuai kenaikan harga minyak global, khususnya untuk bahan bakar minyak (BBM) bersubdi, dan menaikkan komposisi belanja modal.
Pasalnya, jika harga minyak global dalam setahun ke depan naik namun harga BBM bersubsidi tidak ikut naik sesuai harga pasar, maka hal ini akan mengganggu kestabilan anggaran pemerintah.
Padahal, pemerintah telah menetapkan penyesuaian harga BBM bersubsidi dalam UU, disesuaikan dengan kenaikan harga minyak global. Saat ini, dengan harga minyak global yang telah naik ke kisaran USD50/barel, namun dengan rupiah yang cenderung menguat belum ada urgensi untuk menaikkan harga BBM.
"Namun, kondisi bisa saja berubah jika harga minyak terus meningkat seiring perbaikan ekonomi dunia, membuat suatu saat kenaikan harga BBM akan tiba," ujarnya.
Memang menaikkan harga BBM bersubsidi bukan semata-mata keputusan ekonomi, ada kepentingan politik yang turut memengaruhinya. Namun pemerintah perlu mengerti bahwa menjaga kestabilan fiskal dengan konsisten menjalankan UU akan dipandang positif oleh pasar.
Bahana memperkirakan pada akhir tahun ini, harga minyak dunia kemungkinan naik ke kisaran USD 55/barel. Tahun depan, harga ini diperkirakan akan naik lagi.
"Selain itu, pasar akan merespons positif bila pemerintah merespons kenaikan harga minyak global dengan menaikkan harga BBM bersubsidi ketika prospek harga minyak meningkat, karena ini memberikan sinyal kebijakan fiskal pemerintah yang prudent dan berkelanjutan," kata Fakhrul.
Untuk kasus Indonesia, pasar obligasi saat ini lebih melihat keberlanjutan perbaikan kebijakan fiskal pemerintah yang secara jangka panjang akan memengaruhi prospek nilai tukar rupiah dan inflasi.
Sepanjang kebijakan fiskal pemerintah prudent dan berkelanjutan, pasar tidak akan bereaksi secara berlebihan terhadap prospek kenaikan inflasi, dikarenakan persepsi risiko Indonesia akan mengalami perbaikan.
Dia juga menambahkan secara tren jangka panjang, inflasi barang bergejolak (volatile) dan inflasi inti Indonesia secara tahunan terus menunjukkan adanya tren penurunan.
Menaikkan harga BBM memang bukan hal mudah bagi Indonesia, sebab kenaikan harga BBM biasanya akan langsung di respons dengan kenaikan harga barang lainnya termasuk harga-harga bahan pokok, yang pada akhirnya memicu kenaikan inflasi.
Namun, perusahaan sekuritas pelat merah ini meyakini, kenaikan inflasi yang terjadi seiring dengan ekspansi ekonomi, bukanlah momok menakutkan bagi pasar sepanjang kenaikan itu terkendali sesuai koridor target Bank Indonesia dan sejalan dengan siklus percepatan ekonomi.
"Dalam hal ini, terlaksananya program infrastruktur pemerintah akan sangat penting untuk menjaga sisi suplai dari perekonomian," tutur Fakhrul.
Anggaran yang lebih prudent juga telah membuat defisit transaksi berjalan Indonesia tahun lalu menjadi lebih baik pada 1,8% dari produk domestik bruto (PDB) atau USD16,3 miliar. Bandingkan dengan pencapaian 2015, di mana defisit masih tercatat sebesar 2% dari PDB atau USD17,5 miliar.
Menurutnya, defisit diperkirakan akan naik menjadi 2,1% dari PDB seiring dengan ekspansi perekonomian. "Naiknya defisit ini bukan hal menakutkan bagi investor sepanjang kenaikan tersebut diikuti dengan pertumbuhan ekonomi dan membaiknya efisiensi baik di sektor publik dan swasta," kata dia dalam siaran pers, Jakarta, Senin (10/4/2017).
Hal yang menjadi perhatian investor dalam jangka panjang adalah langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam menjaga ketahanan fiskal. Di antaranya dengan menyesuaikan harga minyak di dalam negeri sesuai kenaikan harga minyak global, khususnya untuk bahan bakar minyak (BBM) bersubdi, dan menaikkan komposisi belanja modal.
Pasalnya, jika harga minyak global dalam setahun ke depan naik namun harga BBM bersubsidi tidak ikut naik sesuai harga pasar, maka hal ini akan mengganggu kestabilan anggaran pemerintah.
Padahal, pemerintah telah menetapkan penyesuaian harga BBM bersubsidi dalam UU, disesuaikan dengan kenaikan harga minyak global. Saat ini, dengan harga minyak global yang telah naik ke kisaran USD50/barel, namun dengan rupiah yang cenderung menguat belum ada urgensi untuk menaikkan harga BBM.
"Namun, kondisi bisa saja berubah jika harga minyak terus meningkat seiring perbaikan ekonomi dunia, membuat suatu saat kenaikan harga BBM akan tiba," ujarnya.
Memang menaikkan harga BBM bersubsidi bukan semata-mata keputusan ekonomi, ada kepentingan politik yang turut memengaruhinya. Namun pemerintah perlu mengerti bahwa menjaga kestabilan fiskal dengan konsisten menjalankan UU akan dipandang positif oleh pasar.
Bahana memperkirakan pada akhir tahun ini, harga minyak dunia kemungkinan naik ke kisaran USD 55/barel. Tahun depan, harga ini diperkirakan akan naik lagi.
"Selain itu, pasar akan merespons positif bila pemerintah merespons kenaikan harga minyak global dengan menaikkan harga BBM bersubsidi ketika prospek harga minyak meningkat, karena ini memberikan sinyal kebijakan fiskal pemerintah yang prudent dan berkelanjutan," kata Fakhrul.
Untuk kasus Indonesia, pasar obligasi saat ini lebih melihat keberlanjutan perbaikan kebijakan fiskal pemerintah yang secara jangka panjang akan memengaruhi prospek nilai tukar rupiah dan inflasi.
Sepanjang kebijakan fiskal pemerintah prudent dan berkelanjutan, pasar tidak akan bereaksi secara berlebihan terhadap prospek kenaikan inflasi, dikarenakan persepsi risiko Indonesia akan mengalami perbaikan.
Dia juga menambahkan secara tren jangka panjang, inflasi barang bergejolak (volatile) dan inflasi inti Indonesia secara tahunan terus menunjukkan adanya tren penurunan.
Menaikkan harga BBM memang bukan hal mudah bagi Indonesia, sebab kenaikan harga BBM biasanya akan langsung di respons dengan kenaikan harga barang lainnya termasuk harga-harga bahan pokok, yang pada akhirnya memicu kenaikan inflasi.
Namun, perusahaan sekuritas pelat merah ini meyakini, kenaikan inflasi yang terjadi seiring dengan ekspansi ekonomi, bukanlah momok menakutkan bagi pasar sepanjang kenaikan itu terkendali sesuai koridor target Bank Indonesia dan sejalan dengan siklus percepatan ekonomi.
"Dalam hal ini, terlaksananya program infrastruktur pemerintah akan sangat penting untuk menjaga sisi suplai dari perekonomian," tutur Fakhrul.
(izz)