Pemerintah Harus Optimalkan Keuntungan Industri Tembakau
A
A
A
JAKARTA - PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), perusahaan rokok yang dikuasai Philipp Morris Inc, membagikan deviden Rp22,6 triliun atau setara 98,2% dari laba bersih di kuartal pertama 2017. Ini artinya, keuntungan jualan rokok di Indonesia, 'dibawa lari' ke markas Phillip Morris di Amerika.
Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamudin Daeng mengingatkan, skala ekonomi industri tembakau sangat besar. Jika dirinci, nilai ekspor tembakau USD165 juta, kemudian ekspor produk hasil tembakau mencapai USD1,1 miliar dollar.
Nilai penjualan rokok di dalam negeri menurutnya, dengan asumsi asumsi penerimaan cukai 35% pada penerimaan negara, maka penjualan rokok bisa Rp400 triliun lebih per tahun. Selanjutnya, nilai emiten rokok di bursa efek, saham perusahaan rokok, bisa mencapai Rp165 triliun, itu paling besar dari seluruh sektor lain.
Dikalkulasi keseluruhan nilai ekonomi rokok tembakau di dalam negeri berkisar antara Rp500 triliun sampai dengan Rp600 triliun. "Ini harus dilihat pemerintah sebagai satu potensi keuangan cukup besar yang menopang ekonomi negara," ucap Daeng dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (2/5/2017).
Dia menambahkan kontribusi besar lain yang harus diperhatikan dari industri rokok yakni dalam bentuk pajak dan cukai yang nilainya mencapai Rp170 triliun. "Bicara keuntungan dari perusahaan rokok yang beroperasi di Indonesia, keuntungan itu kalau kita rata ratakan sekitar 30% dari nilai transaksi, dari 400 triliun sekitar Rp120 triliun," ungkapnya
"Keuntungan ini kemudian dibagikan kemana saja. Itu yang harus dicermati, dilihat. Karena Sampoerna dikuasai Philip Morris, sekaligus pemegang market share rokok kita itu adalah perusahaan asing, maka ini ada potensi terjadi repatriasi keuntungan dalam jumlah besar," tegas dia.
Jadi, menurut Daeng, ada potensi repatriasi, perpindahan keuntungan dengan nilai sangat besar sekali dari industri ini ke luar negeri. Apalagi pemegang market share itu 98% sahamnya dimiliki oleh asing. Berarti transfer keuntungan itu sepenuhnya dilarikan ke pemegang saham.
Lebih lanjut Daeng menambahkan, sampai sekarang, tidak ada regulasi yang cukup memadai untuk mengoptimalkan ekonomi tembakau sebagai fondamen dari ekonomi nasional. Mestinya dengan potensi keuangan sedemikian besar, pemerintah bisa membentuk regulasi agar perputaran ekonomi sektor tembakau bisa menciptakan multifer effect besar ke dalam ekonomi nasional.
"Misalnya, dengan melibatkan bank-bank pembangunan daerah dan nasional di dalam pengelolaan keuntungan industri hasil tembakau sehingga bisa menjadi penopang keuangan pemerintah," pungkas Daeng.
Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamudin Daeng mengingatkan, skala ekonomi industri tembakau sangat besar. Jika dirinci, nilai ekspor tembakau USD165 juta, kemudian ekspor produk hasil tembakau mencapai USD1,1 miliar dollar.
Nilai penjualan rokok di dalam negeri menurutnya, dengan asumsi asumsi penerimaan cukai 35% pada penerimaan negara, maka penjualan rokok bisa Rp400 triliun lebih per tahun. Selanjutnya, nilai emiten rokok di bursa efek, saham perusahaan rokok, bisa mencapai Rp165 triliun, itu paling besar dari seluruh sektor lain.
Dikalkulasi keseluruhan nilai ekonomi rokok tembakau di dalam negeri berkisar antara Rp500 triliun sampai dengan Rp600 triliun. "Ini harus dilihat pemerintah sebagai satu potensi keuangan cukup besar yang menopang ekonomi negara," ucap Daeng dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (2/5/2017).
Dia menambahkan kontribusi besar lain yang harus diperhatikan dari industri rokok yakni dalam bentuk pajak dan cukai yang nilainya mencapai Rp170 triliun. "Bicara keuntungan dari perusahaan rokok yang beroperasi di Indonesia, keuntungan itu kalau kita rata ratakan sekitar 30% dari nilai transaksi, dari 400 triliun sekitar Rp120 triliun," ungkapnya
"Keuntungan ini kemudian dibagikan kemana saja. Itu yang harus dicermati, dilihat. Karena Sampoerna dikuasai Philip Morris, sekaligus pemegang market share rokok kita itu adalah perusahaan asing, maka ini ada potensi terjadi repatriasi keuntungan dalam jumlah besar," tegas dia.
Jadi, menurut Daeng, ada potensi repatriasi, perpindahan keuntungan dengan nilai sangat besar sekali dari industri ini ke luar negeri. Apalagi pemegang market share itu 98% sahamnya dimiliki oleh asing. Berarti transfer keuntungan itu sepenuhnya dilarikan ke pemegang saham.
Lebih lanjut Daeng menambahkan, sampai sekarang, tidak ada regulasi yang cukup memadai untuk mengoptimalkan ekonomi tembakau sebagai fondamen dari ekonomi nasional. Mestinya dengan potensi keuangan sedemikian besar, pemerintah bisa membentuk regulasi agar perputaran ekonomi sektor tembakau bisa menciptakan multifer effect besar ke dalam ekonomi nasional.
"Misalnya, dengan melibatkan bank-bank pembangunan daerah dan nasional di dalam pengelolaan keuntungan industri hasil tembakau sehingga bisa menjadi penopang keuangan pemerintah," pungkas Daeng.
(akr)