Kemenperin Siapkan SDM Industri Smelter
A
A
A
KENDARI - Pemerintah tengah memfokuskan pengembangan industri berbasis smelter khususnya berbasis bijih nikel dan stainless steel di kawasan Indonesia Timur. Salah satu fokus pengembangan adalah Kawasan Industri Morowali yang dikelola oleh PT Indonesia Morowali Industrial Park (PT IMIP), berlokasi di Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin I Gusti Putu Suryawirawan mengatakan, industri smelter membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) berkompetensi untuk mengoperasikan teknologi yang ada.
"Mengolah biji nikel itu karakteristik teknologinya lain, sangat beragam. Kita belum punya pengalaman di situ sehingga dibutuhkan tenaga kerja ahli yang profesional," ujarnya usai Seminar Nasional Pengembangan Industri Berbasis Smelter dan Stainless Steel di Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara.
Lebih lanjut Putu menerangkan, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bekerja sama dengan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan perguruan tinggi yang berdekatan dengan kawasan industri smelter untuk meningkatkan kompetensi SDM.
"Di Sulawesi Tenggara maka leadernya Universitas Haluoleo. Kita mulai menjajaki kerja sama yang diawali dengan kajian. Melalui kajian itu nanti akan terlihat kompetensi apa saja yang diupayakan dari mengoperasikan peralatan yang sederhana sampai merancang peralatan-peralatan yang diperlukan untuk peningkatan kapasitas," jelasnya.
Dia menambahkan beberapa smelter telah bekerja sama dengan Pusdiklat Industri (vocational training) dan Perguruan Tinggi lain khususnya di kawasan industri untuk melatih dan menyiapkan tenaga kerja industri yang kompeten. Dari tahun 2015 hingga 2017 Kemenperin dalam hal ini Pusdiklat Industri telah menyiapkan SDM sektor smelter sebanyak 1.200 orang.
Ditambah memulai pembangunan Politeknik Industri Logam Morowali Berbasis Kompetensi, Akademi Komunitas Industri Logam Bantaeng, dan Program Studi di Politeknik Akademi Teknik Industri Makassar yang ketiganya link and match dengan Industri.
Putu menjelaskan, beberapa perusahaan smelter yang berdiri di Indonesia masih ada yang memerlukan jasa Tenaga Kerja Asing (TKA). Dasar filosofi penggunaan TKA ini adalah serangkaian upaya untuk meningkatkan investasi, ekspor, alih teknologi dan alih keahlian kepada TKI, serta perluasan kesempatan bekerja.
Meski Indonesia terbuka dalam hal penggunaan TKA, pemerintah tetap berupaya melindungi pekerja lokal dengan cara menerapkan peraturan yang berisi syarat dan kualifikasi yang ketat bagi TKA. "Tenaga Kerja Asing yang ada di industri smelter itu sifatnya temporer karena kita tidak punya pengalaman di pabrik mineral dan pada saat pembangunan proyek (EPC) dan comissioning menjadi kritis," ungkapnya.
Perkembangan industri pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri telah berkembang dengan baik. Saat ini industri smelter logam telah meliputi beberapa bidang industri pengolah bijih logam yaitu industri smelter besi baja, industri smelter alumina, industri smelter tembaga, serta industri smelter nikel dan ferronickel. Tercatat, terdapat 32 proyek smelter yang tumbuh dengan perkiraan nilai investasi sebesar USD18 miliar serta penyerapan tenaga kerja langsung kurang lebih 28.000 orang.
Dari jumlah smelter tersebut, terdapat 22 industri smelter yang telah bergabung dengan Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) dan 75% telah beroperasi secara komersial. Total invetasi smelter tersebut sekitar USD12 miliar dan menyerap 15.000 tenaga kerja.
Dia menambahkan, perkembangan teknologi dan permintaan dari produk stainless steel begitu cepat. Secara statistik, permintaan dunia untuk produk stainless steel yang berbagai jenis sekitar 40 juta ton per tahun. "Separuh dari stainless steel itu kira-kira 20 juta ton dipenuhi oleh industri dari China. Oleh karena itu, saat dibebaskan ekspor dalam bentuk mentah, perusahan China yang memborong dan pada saat kita tutup, perusahaan China itu berbondong masuk," papar dia.
Putu menambahkan, Indonesia ditargetkan bisa memproduksi 4 juta ton stainless steel per tahun. Dari 32 proyek smelter yang sedang berjalan, ditargetkan pada tahun 2020 bisa tercapai. "Kalau Indonesia bida berkontribusi 4 juta ton stainless steel, 10% dari permintaan dunia, maka kita akan jadi negara yang ikut menentukan harga stainless steel," imbuhnya.
CEO PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Alexander Barus mengatakan, saat ini penggunaan TKA sebanyak 55% dan TKI sebanyak 45% pada tahap engineering, procurement and construction (EPC).
Dia melanjutkan, menginjak tahun ke-3 produksi, jumlah TKA berkurang menjadi 25% dan jumlah TKI meningkat menjadi 75%. Hingga menginjak tahun ke-5 produksi, jumlah TKA berkurang menjadi 15% dan jumlah TKI meningkat menjadi 85%.
"Nanti diujung tenaga kerja asing ini harus dibawah 10%. Oleh karena itu, kita bangun politeknik, bekerja sama dengan universitas untuk menggantikan tenaga kerja asing ini dalam membangun dan mengoperasikan pabrik smelter ini," tuturnya.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin I Gusti Putu Suryawirawan mengatakan, industri smelter membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) berkompetensi untuk mengoperasikan teknologi yang ada.
"Mengolah biji nikel itu karakteristik teknologinya lain, sangat beragam. Kita belum punya pengalaman di situ sehingga dibutuhkan tenaga kerja ahli yang profesional," ujarnya usai Seminar Nasional Pengembangan Industri Berbasis Smelter dan Stainless Steel di Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara.
Lebih lanjut Putu menerangkan, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bekerja sama dengan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan perguruan tinggi yang berdekatan dengan kawasan industri smelter untuk meningkatkan kompetensi SDM.
"Di Sulawesi Tenggara maka leadernya Universitas Haluoleo. Kita mulai menjajaki kerja sama yang diawali dengan kajian. Melalui kajian itu nanti akan terlihat kompetensi apa saja yang diupayakan dari mengoperasikan peralatan yang sederhana sampai merancang peralatan-peralatan yang diperlukan untuk peningkatan kapasitas," jelasnya.
Dia menambahkan beberapa smelter telah bekerja sama dengan Pusdiklat Industri (vocational training) dan Perguruan Tinggi lain khususnya di kawasan industri untuk melatih dan menyiapkan tenaga kerja industri yang kompeten. Dari tahun 2015 hingga 2017 Kemenperin dalam hal ini Pusdiklat Industri telah menyiapkan SDM sektor smelter sebanyak 1.200 orang.
Ditambah memulai pembangunan Politeknik Industri Logam Morowali Berbasis Kompetensi, Akademi Komunitas Industri Logam Bantaeng, dan Program Studi di Politeknik Akademi Teknik Industri Makassar yang ketiganya link and match dengan Industri.
Putu menjelaskan, beberapa perusahaan smelter yang berdiri di Indonesia masih ada yang memerlukan jasa Tenaga Kerja Asing (TKA). Dasar filosofi penggunaan TKA ini adalah serangkaian upaya untuk meningkatkan investasi, ekspor, alih teknologi dan alih keahlian kepada TKI, serta perluasan kesempatan bekerja.
Meski Indonesia terbuka dalam hal penggunaan TKA, pemerintah tetap berupaya melindungi pekerja lokal dengan cara menerapkan peraturan yang berisi syarat dan kualifikasi yang ketat bagi TKA. "Tenaga Kerja Asing yang ada di industri smelter itu sifatnya temporer karena kita tidak punya pengalaman di pabrik mineral dan pada saat pembangunan proyek (EPC) dan comissioning menjadi kritis," ungkapnya.
Perkembangan industri pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri telah berkembang dengan baik. Saat ini industri smelter logam telah meliputi beberapa bidang industri pengolah bijih logam yaitu industri smelter besi baja, industri smelter alumina, industri smelter tembaga, serta industri smelter nikel dan ferronickel. Tercatat, terdapat 32 proyek smelter yang tumbuh dengan perkiraan nilai investasi sebesar USD18 miliar serta penyerapan tenaga kerja langsung kurang lebih 28.000 orang.
Dari jumlah smelter tersebut, terdapat 22 industri smelter yang telah bergabung dengan Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) dan 75% telah beroperasi secara komersial. Total invetasi smelter tersebut sekitar USD12 miliar dan menyerap 15.000 tenaga kerja.
Dia menambahkan, perkembangan teknologi dan permintaan dari produk stainless steel begitu cepat. Secara statistik, permintaan dunia untuk produk stainless steel yang berbagai jenis sekitar 40 juta ton per tahun. "Separuh dari stainless steel itu kira-kira 20 juta ton dipenuhi oleh industri dari China. Oleh karena itu, saat dibebaskan ekspor dalam bentuk mentah, perusahan China yang memborong dan pada saat kita tutup, perusahaan China itu berbondong masuk," papar dia.
Putu menambahkan, Indonesia ditargetkan bisa memproduksi 4 juta ton stainless steel per tahun. Dari 32 proyek smelter yang sedang berjalan, ditargetkan pada tahun 2020 bisa tercapai. "Kalau Indonesia bida berkontribusi 4 juta ton stainless steel, 10% dari permintaan dunia, maka kita akan jadi negara yang ikut menentukan harga stainless steel," imbuhnya.
CEO PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Alexander Barus mengatakan, saat ini penggunaan TKA sebanyak 55% dan TKI sebanyak 45% pada tahap engineering, procurement and construction (EPC).
Dia melanjutkan, menginjak tahun ke-3 produksi, jumlah TKA berkurang menjadi 25% dan jumlah TKI meningkat menjadi 75%. Hingga menginjak tahun ke-5 produksi, jumlah TKA berkurang menjadi 15% dan jumlah TKI meningkat menjadi 85%.
"Nanti diujung tenaga kerja asing ini harus dibawah 10%. Oleh karena itu, kita bangun politeknik, bekerja sama dengan universitas untuk menggantikan tenaga kerja asing ini dalam membangun dan mengoperasikan pabrik smelter ini," tuturnya.
(akr)