Why Startup Fails?
A
A
A
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com
KENAPA startup gagal mencapai sustainable profit ... layu sebelum berkembang? Yang banyak terjadi, begitu diluncurkan respons dari konsumen tak cukup kuat, target omzet tak tercapai, dan pelan, tapi pasti produk undur diri dari pasar dan akhirnya menghilang.
Umumnya, si entrepreneur begitu over-confidence terhadap value proposition yang ia tawarkan. Tapi, begitu produk meluncur di pasar, keyakinan yang menggebu-gebu itu langsung pupus. Skenario kesuksesan yang ada di kepala si entrepreneur ternyata berbeda 180 derajat dengan apa yang terjadi di pasar. Banyak juga terjadi di mana awalnya produk mengalami sukses luar biasa.
Saat peluncuran konsumen begitu bersemangat untuk menjadi early adopters untuk mencoba konsep yang breakthrough dari produk. Namun, celaka, itu hanya bertahan 3-6 bulan pertama.
Setelah itu, pelan, tapi pasti konsumen hengkang dan pertumbuhan mulai flat. Memang tak gagal sepenuhnya, tapi pertumbuhan omzet seperti ogah-ogahan, tak memenuhi harapan si entrepreneur dan investor.
Ini tanda-tanda startup tersebut terjebak ke dalam "classic startup trap", yaitu kondisi di mana startup tersebut terjebak dalam pertumbuhan datar dan tak cukup kapasitas untuk di-scalling-up. Kalau sudah masuk perangkap seperti ini, mau dibunuh sayang, tapi kalau enggak dibunuh, kok tak kunjung menggeliat. Startup tersebut stagnan dan terus menjadi liliput.
Good Plan
Kegagalan startup biasanya terjadi karena strategi dan perencanaannya terlalu canggih. (Ingat: "too much strategy will kill you"). Produk dibangun dan diluncurkan melalui perencanaan yang solid, sistematis, dan rigid menggunakan konsep-konsep bisnis dari pakar-pakar kelas dunia. Rasanya paling benar dan over-confidence kalau kita sudah menggunakan konsep-konsep dari pakar kelas dunia.
Si entrepreneur menggunakan pendekatan scientific management yang ndakik-ndakik, sehingga terlalu fokus ke teori dan tips para pakar dan silau dengan dinamika riil yang terjadi di pasar. Yang dipentingkan si entrepreneur adalah "compliance" kepada teori dari pakar, bukan mencermati detail-detail perkembangan aktual di pasar.
Kesalahan terbesar dari pendekatan semacam ini adalah selama penyusunan strategi si entrepreneur tak "menceburkan" produk ke pasar. Feedback pasar dan perilaku konsumen diperoleh melalui riset pasar (FGD atau kuesioner) yang fake.
Saya sebut fake karena tak mencerminkan apa yang sesungguhnya terjadi di pasar. Akibat itu, begitu produk meluncur ke pasar, seluruh skenario yang dituangkan dalam strategi yang ndakik-ndakik itu gagal total. Apa yang ditulis di kertas dan whiteboard ternyata tak sama indahnya dengan yang ada di pasar. Produk pun flop di pasar.
"Just Do It"
Sebab, kegagalan yang kedua adalah kondisi sebaliknya. Kalau di kasus yang pertama si entrepreneur menggunakan strategi yang ndakik-ndakik, di sini ia sama sekali tak menggunakan strategi alias menggunakan "jurus mabuk".
Kalau Nike bilang: "just do it" strategy. Argumentasinya, di tengah situasi bisnis yang serba disruptive, volatile, unpredictable, dan chaotic saat ini strategi dan perencanaan bukanlah solusi.
Untuk menghadapi situasi extremeuncertainty tersebut yang penting adalah nyebur dulu di pasar, gunakan insting setajam mungkin, kobarkan motivasi, terjang tiap masalah yang muncul, dan jangan lupa banyak berdoa. Mantranya: kalau sukses, Alhamdulillah; kalau gagal, ya memang lagi apes.
Seperti pendekatan pertama, pendekatan kedua ini pun doesndoesnt work! Zaman dulu bikin warung Padang, kita menggunakan jurus mabuk semacam ini masih ampuh. Namun, kini pada zaman semua serbadig i t a l, jurus mabuk justru membikin startup makin nyungsep.
Lean
Lalu, solusinya gimana? Di tengah gonjang ganjing disruption saat ini, strategi dan perencanaan tentu justru makin penting dan relevan. Namun, strategi yang kita terapkan harus agile dan superfast, bukan rigid -mekanistik-prosedural.
Eric Ries, strategist Silicon Valley, menyebutnya dengan pendekatan: Lean. Pendekatan ini menekankan pentingnya "nyebur dulu di pasar", tapi bukan "asal nyebur", nyeburnya harus terukur.
Caranya dengan meluncurkan secepat mungkin prototipe produk (sering disebut MVP: most viable product) ke pasar untuk secepat mungkin tahu feedback konsumen. Saat diluncurkan, MVP tak perlu sempurna betul.
Kalau saat diluncurkan produk tidak sempurna atau mengalami kegagalan, harus cepat diketahui dan cepat diperbaiki. Bagaimana caranya kita tahu tak sempurna atau gagal? Caranya dengan langsung dilempar di pasar sehingga feedback konsumen yang diperoleh betul-betul riil, bukan fake.
Inilah sesungguhnya cara "riset pasar" yang paling ampuh dan efektif. Jadi, prinsip yang dipakai adalah: "fail fast, learn fast". Kuncinya di sini adalah eksperimen secara iteratif dan terus- menerus untuk mendapatkan produk yang betul-betul dimaui konsumen. Kalau dalam kasus startup digital, istilah umumnya adalah: beta version.
Jadi, prinsipnya luncurkan betaversion secepat mungkin (tak usah menunggu produk sempurna), dan lakukan perbaikan secara terusmenerus. Tugas startup di sini adalah memutar siklus "Build-Measure-Learn" secepat mungkin.
Maksudnya, ide produk harus cepat diwujudkan menjadi prototipe (build ), kemudian dilempar ke pasar untuk mendapatkan feedback konsumen dan diukur (measure), dan kemudian feedback itu menjadi masukan untuk perbaikan produk secara terusmenerus (learn ). Kecepatan dalam memutar siklus "build-measure-learn" inilah yang menjadi faktor kunci kesuksesan startup. Ini pula yang menentukan agility sebuah startup.
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com
KENAPA startup gagal mencapai sustainable profit ... layu sebelum berkembang? Yang banyak terjadi, begitu diluncurkan respons dari konsumen tak cukup kuat, target omzet tak tercapai, dan pelan, tapi pasti produk undur diri dari pasar dan akhirnya menghilang.
Umumnya, si entrepreneur begitu over-confidence terhadap value proposition yang ia tawarkan. Tapi, begitu produk meluncur di pasar, keyakinan yang menggebu-gebu itu langsung pupus. Skenario kesuksesan yang ada di kepala si entrepreneur ternyata berbeda 180 derajat dengan apa yang terjadi di pasar. Banyak juga terjadi di mana awalnya produk mengalami sukses luar biasa.
Saat peluncuran konsumen begitu bersemangat untuk menjadi early adopters untuk mencoba konsep yang breakthrough dari produk. Namun, celaka, itu hanya bertahan 3-6 bulan pertama.
Setelah itu, pelan, tapi pasti konsumen hengkang dan pertumbuhan mulai flat. Memang tak gagal sepenuhnya, tapi pertumbuhan omzet seperti ogah-ogahan, tak memenuhi harapan si entrepreneur dan investor.
Ini tanda-tanda startup tersebut terjebak ke dalam "classic startup trap", yaitu kondisi di mana startup tersebut terjebak dalam pertumbuhan datar dan tak cukup kapasitas untuk di-scalling-up. Kalau sudah masuk perangkap seperti ini, mau dibunuh sayang, tapi kalau enggak dibunuh, kok tak kunjung menggeliat. Startup tersebut stagnan dan terus menjadi liliput.
Good Plan
Kegagalan startup biasanya terjadi karena strategi dan perencanaannya terlalu canggih. (Ingat: "too much strategy will kill you"). Produk dibangun dan diluncurkan melalui perencanaan yang solid, sistematis, dan rigid menggunakan konsep-konsep bisnis dari pakar-pakar kelas dunia. Rasanya paling benar dan over-confidence kalau kita sudah menggunakan konsep-konsep dari pakar kelas dunia.
Si entrepreneur menggunakan pendekatan scientific management yang ndakik-ndakik, sehingga terlalu fokus ke teori dan tips para pakar dan silau dengan dinamika riil yang terjadi di pasar. Yang dipentingkan si entrepreneur adalah "compliance" kepada teori dari pakar, bukan mencermati detail-detail perkembangan aktual di pasar.
Kesalahan terbesar dari pendekatan semacam ini adalah selama penyusunan strategi si entrepreneur tak "menceburkan" produk ke pasar. Feedback pasar dan perilaku konsumen diperoleh melalui riset pasar (FGD atau kuesioner) yang fake.
Saya sebut fake karena tak mencerminkan apa yang sesungguhnya terjadi di pasar. Akibat itu, begitu produk meluncur ke pasar, seluruh skenario yang dituangkan dalam strategi yang ndakik-ndakik itu gagal total. Apa yang ditulis di kertas dan whiteboard ternyata tak sama indahnya dengan yang ada di pasar. Produk pun flop di pasar.
"Just Do It"
Sebab, kegagalan yang kedua adalah kondisi sebaliknya. Kalau di kasus yang pertama si entrepreneur menggunakan strategi yang ndakik-ndakik, di sini ia sama sekali tak menggunakan strategi alias menggunakan "jurus mabuk".
Kalau Nike bilang: "just do it" strategy. Argumentasinya, di tengah situasi bisnis yang serba disruptive, volatile, unpredictable, dan chaotic saat ini strategi dan perencanaan bukanlah solusi.
Untuk menghadapi situasi extremeuncertainty tersebut yang penting adalah nyebur dulu di pasar, gunakan insting setajam mungkin, kobarkan motivasi, terjang tiap masalah yang muncul, dan jangan lupa banyak berdoa. Mantranya: kalau sukses, Alhamdulillah; kalau gagal, ya memang lagi apes.
Seperti pendekatan pertama, pendekatan kedua ini pun doesndoesnt work! Zaman dulu bikin warung Padang, kita menggunakan jurus mabuk semacam ini masih ampuh. Namun, kini pada zaman semua serbadig i t a l, jurus mabuk justru membikin startup makin nyungsep.
Lean
Lalu, solusinya gimana? Di tengah gonjang ganjing disruption saat ini, strategi dan perencanaan tentu justru makin penting dan relevan. Namun, strategi yang kita terapkan harus agile dan superfast, bukan rigid -mekanistik-prosedural.
Eric Ries, strategist Silicon Valley, menyebutnya dengan pendekatan: Lean. Pendekatan ini menekankan pentingnya "nyebur dulu di pasar", tapi bukan "asal nyebur", nyeburnya harus terukur.
Caranya dengan meluncurkan secepat mungkin prototipe produk (sering disebut MVP: most viable product) ke pasar untuk secepat mungkin tahu feedback konsumen. Saat diluncurkan, MVP tak perlu sempurna betul.
Kalau saat diluncurkan produk tidak sempurna atau mengalami kegagalan, harus cepat diketahui dan cepat diperbaiki. Bagaimana caranya kita tahu tak sempurna atau gagal? Caranya dengan langsung dilempar di pasar sehingga feedback konsumen yang diperoleh betul-betul riil, bukan fake.
Inilah sesungguhnya cara "riset pasar" yang paling ampuh dan efektif. Jadi, prinsip yang dipakai adalah: "fail fast, learn fast". Kuncinya di sini adalah eksperimen secara iteratif dan terus- menerus untuk mendapatkan produk yang betul-betul dimaui konsumen. Kalau dalam kasus startup digital, istilah umumnya adalah: beta version.
Jadi, prinsipnya luncurkan betaversion secepat mungkin (tak usah menunggu produk sempurna), dan lakukan perbaikan secara terusmenerus. Tugas startup di sini adalah memutar siklus "Build-Measure-Learn" secepat mungkin.
Maksudnya, ide produk harus cepat diwujudkan menjadi prototipe (build ), kemudian dilempar ke pasar untuk mendapatkan feedback konsumen dan diukur (measure), dan kemudian feedback itu menjadi masukan untuk perbaikan produk secara terusmenerus (learn ). Kecepatan dalam memutar siklus "build-measure-learn" inilah yang menjadi faktor kunci kesuksesan startup. Ini pula yang menentukan agility sebuah startup.
(izz)