Aturan Ditjen Pajak Intip Data Nasabah Dinilai Rawan Penyalahgunaan
A
A
A
JAKARTA - Akses luas bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan, dinilai rawan penyelewengan. Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Gerindra DPR Heri Gunawan mengingatkan pemerintah untuk tetap hati-hati saat membandingkan dan saling tukar informasi keuangan.
"Selain itu, aparatur pajak yang sampai hari ini masih dicap kurang profesional, kurang bersih, dan cenderung kongkalikong dengan penghindar-penghindar pajak, juga musti jadi perhatian tersendiri oleh pemerintah. Kewenangan yang begitu besar bisa tak ada artinya, bahkan berpotensi disalahgunakan," terangnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (19/5/2017).
Lantaran telah terikat oleh perjanjian internasional di bidang perpajakan yang berkewajiban untuk memenuhi komitmen keikutsertaan dalam mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information) atau biasa disingkat AEoI. Maka Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.
Heri mengakui sangat memahami dengan semangat keterbukaan informasi perpajakan yang diusung dalam format AEOI tersebut. Satu sisi, Indonesia membutuhkan kerja sama internasional untuk menghindari tindakan penghindaran pajak atau tax avoidance. Namun, menurutnya, pemerintah perlu juga untuk tetap hati-hati saat saling tukar informasi keuangan.
"Sebab, prinsip kehati-hatian penuh seperti itu, kita bisa terhindar dari kepentingan yang justru merugikan kepentingan nasional kita. Telah banyak bukti perjanjian internasional yang justru membuat kita rugi. Apalagi laporan informasi keuangan yang bisa diakses lewat Perppu tersebut tidak tanggung-tanggung," paparnya.
Lebih lanjut dia menerangkan aturan Direktorat Jenderal Pajak untuk membuka data nasabah memuat paling sedikitnya identitas pemegang rekening keuangan, nomor rekening keuangan, identitas lembaga jasa keuangan hingga saldo atau nilai rekening keuangan dan penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
Sementara terkait dengan pelaksanaan AEoI, Heri menerangkan tidak ada jaminan bahwa pertukaran informasi perpajakan di luar Indonesia bisa terlaksana dengan maksimal. Pasalnya hampir semua negara memperketat perlindungan informasinya.
"Studi yang ada menunjukkan bahwa hanya 92% negara-negara di dunia memuat aspek kerahasiaan bank sebagai hal yang sangat mendasar. Aspek kerahasiaan bank tersebut dilengkapi dengan perlindungan informasi nasabah dari pihak di luar bank oleh suatu ketentuan atas sanksi, mulai dari sanksi yang bersifat denda (sejumlah uang) hingga sanksi pidana dengan demikian tak ada jaminan," tandasnya.
"Selain itu, aparatur pajak yang sampai hari ini masih dicap kurang profesional, kurang bersih, dan cenderung kongkalikong dengan penghindar-penghindar pajak, juga musti jadi perhatian tersendiri oleh pemerintah. Kewenangan yang begitu besar bisa tak ada artinya, bahkan berpotensi disalahgunakan," terangnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (19/5/2017).
Lantaran telah terikat oleh perjanjian internasional di bidang perpajakan yang berkewajiban untuk memenuhi komitmen keikutsertaan dalam mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information) atau biasa disingkat AEoI. Maka Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.
Heri mengakui sangat memahami dengan semangat keterbukaan informasi perpajakan yang diusung dalam format AEOI tersebut. Satu sisi, Indonesia membutuhkan kerja sama internasional untuk menghindari tindakan penghindaran pajak atau tax avoidance. Namun, menurutnya, pemerintah perlu juga untuk tetap hati-hati saat saling tukar informasi keuangan.
"Sebab, prinsip kehati-hatian penuh seperti itu, kita bisa terhindar dari kepentingan yang justru merugikan kepentingan nasional kita. Telah banyak bukti perjanjian internasional yang justru membuat kita rugi. Apalagi laporan informasi keuangan yang bisa diakses lewat Perppu tersebut tidak tanggung-tanggung," paparnya.
Lebih lanjut dia menerangkan aturan Direktorat Jenderal Pajak untuk membuka data nasabah memuat paling sedikitnya identitas pemegang rekening keuangan, nomor rekening keuangan, identitas lembaga jasa keuangan hingga saldo atau nilai rekening keuangan dan penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
Sementara terkait dengan pelaksanaan AEoI, Heri menerangkan tidak ada jaminan bahwa pertukaran informasi perpajakan di luar Indonesia bisa terlaksana dengan maksimal. Pasalnya hampir semua negara memperketat perlindungan informasinya.
"Studi yang ada menunjukkan bahwa hanya 92% negara-negara di dunia memuat aspek kerahasiaan bank sebagai hal yang sangat mendasar. Aspek kerahasiaan bank tersebut dilengkapi dengan perlindungan informasi nasabah dari pihak di luar bank oleh suatu ketentuan atas sanksi, mulai dari sanksi yang bersifat denda (sejumlah uang) hingga sanksi pidana dengan demikian tak ada jaminan," tandasnya.
(poe)