Aturan Buka Informasi Keuangan demi Perpajakan Dinilai Belum Matang
A
A
A
JAKARTA - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan menurut Institute for Development of Economics and Finance (Indef) masih belum matang. Pasalnya, banyak hal dalam beleid tersebut yang tidak sejalan dengan esensi dari era keterbukaan informasi dalam kerangka Automatic Exchange of Information (AEoI).
(Baca Juga: Ditjen Pajak Intip Rekening Bank Nasabah Asing dan Lokal
Ekonom Indef Eko Listiyanto mengungkapkan, esensi AEoI adalah warga negara asing (WNA) yang memiliki rekening di Indonesia atau sebaliknya, warga negara Indonesia (WNI) yang memiliki rekening yang ada di luar negeri. Namun, Perppu ini justru dinilai lebih menyasar nasabah dalam negeri.
"Disayangkan kenapa kemudian dari sisi konten selalu arahnya adalah nasabah di dalam negeri. Dibandingkan sosialisasi bagaimana strategi untuk implementasikan bagaimana nanti ketika kita sepakat dan terjadi pertukaran informasi strategi apa yang bisa menarik dana di luar negeri itu," katanya di Kantor Indef, Jakarta, Kamis (8/6/2017).
(Baca Juga: Perppu Akses Informasi Keuangan Perpajakan Dinilai Tumpang Tindih
Keinginan pemerintah untuk menyasar nasabah dalam negeri terlihat dari direvisinya batas minimum saldo rekening yang wajib dilaporkan kepada Ditjen Pajak. Sebelumnya, saldo rekening yang wajib dilaporkan adalah Rp200 juta kemudian direvisi menjadi Rp1 miliar, karena ditakutkan akan berimbas kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
"Tergopoh-gopoh dari Rp200 juta ke Rp1 miliar kan dalam negeri juga. Sehingga terlihat ada persoalan fiskal yang coba dihindari. Seolah ini hanya sekadar persoalan administratif, dari pajak tidak bisa akses data perbankan menjadi bisa. Ternyata problemnya tidak sesederhana itu. Menentukan batas saldo saja, kalau salah bisa berikan persepsi yang beda. Intinya kebijakan ini belum matang," imbuh dia.
Menurutnya, situasi ini tak jauh berbeda ketika pemerintah mengimplementasikan program pengampunan pajak (tax amnesty) beberapa waktu lalu. Alih-alih menarik dana orang Indonesia yang ada di luar negeri, program pengampunan pajak justru menimbulkan kekhawatiran bagi wajib pajak dalam negeri, khususnya masyarakat menengah ke bawah.
"Jadi modelnya sama dengan tax amnesty. Pas sosialsiasi yang dibidik adalah dana repatriasi, namun implementasinya yang terjadi justru tetap menyasar ke dalam negeri. Kesannya kalau melihat situasi ini seolah-olah kayak orang menabung dipertanyakan," tandasnya.
(Baca Juga: Ditjen Pajak Intip Rekening Bank Nasabah Asing dan Lokal
Ekonom Indef Eko Listiyanto mengungkapkan, esensi AEoI adalah warga negara asing (WNA) yang memiliki rekening di Indonesia atau sebaliknya, warga negara Indonesia (WNI) yang memiliki rekening yang ada di luar negeri. Namun, Perppu ini justru dinilai lebih menyasar nasabah dalam negeri.
"Disayangkan kenapa kemudian dari sisi konten selalu arahnya adalah nasabah di dalam negeri. Dibandingkan sosialisasi bagaimana strategi untuk implementasikan bagaimana nanti ketika kita sepakat dan terjadi pertukaran informasi strategi apa yang bisa menarik dana di luar negeri itu," katanya di Kantor Indef, Jakarta, Kamis (8/6/2017).
(Baca Juga: Perppu Akses Informasi Keuangan Perpajakan Dinilai Tumpang Tindih
Keinginan pemerintah untuk menyasar nasabah dalam negeri terlihat dari direvisinya batas minimum saldo rekening yang wajib dilaporkan kepada Ditjen Pajak. Sebelumnya, saldo rekening yang wajib dilaporkan adalah Rp200 juta kemudian direvisi menjadi Rp1 miliar, karena ditakutkan akan berimbas kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
"Tergopoh-gopoh dari Rp200 juta ke Rp1 miliar kan dalam negeri juga. Sehingga terlihat ada persoalan fiskal yang coba dihindari. Seolah ini hanya sekadar persoalan administratif, dari pajak tidak bisa akses data perbankan menjadi bisa. Ternyata problemnya tidak sesederhana itu. Menentukan batas saldo saja, kalau salah bisa berikan persepsi yang beda. Intinya kebijakan ini belum matang," imbuh dia.
Menurutnya, situasi ini tak jauh berbeda ketika pemerintah mengimplementasikan program pengampunan pajak (tax amnesty) beberapa waktu lalu. Alih-alih menarik dana orang Indonesia yang ada di luar negeri, program pengampunan pajak justru menimbulkan kekhawatiran bagi wajib pajak dalam negeri, khususnya masyarakat menengah ke bawah.
"Jadi modelnya sama dengan tax amnesty. Pas sosialsiasi yang dibidik adalah dana repatriasi, namun implementasinya yang terjadi justru tetap menyasar ke dalam negeri. Kesannya kalau melihat situasi ini seolah-olah kayak orang menabung dipertanyakan," tandasnya.
(akr)