Kenaikan Tarif Listrik dan Angkutan Beri Tekanan ke Inflasi DIY
A
A
A
YOGYAKARTA - Bank Indonesia (BI) mengkhawatirkan administered prices (AP) atau harga yang ditentukan pemerintah akan mengganggu inflasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pasalnya, penerapan subsidi listrik tepat sasaran telah menyumbang kenaikan inflasi terbesar di wilayah ini.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Yogyakarta Budi Hanoto mengatakan, sampai dengan bulan Mei 2017, inflasi DIY masih terjaga. Walaupun merangkak naik seiring dengan pola musiman Ramadan dan Idul Fitri. Inflasi DIY bulan Mei lalu mencapai angka 4,10% dan 0,33 mount to mounth. "Namun perlu diwaspadai kecenderungan peningkatan yang didorong oleh volatile food dan administered prices," tuturnya.
Dia menambahkan meskipun merangkak naik, tren infalsi volatile food selama lima bulan pertama tahun 2017 ini masih terjaga. Pergerakan inflasi volatile food tersebut lebih rendah dalam tiga tahun terakhir. Hal ini karena terjaganya harga beras yang memiliki bobot tertinggi dalam keranjang Volatile Food.
Volatile Food masih mendapat tekanan dari harga bawang putih akibat tingginya harga impor bawang putih dari China dan India serta gangguan cuaca yang terjadi belakangan ini. Peningkatan harga daging dan telur ayam ras mengingat lonjakan permintaan masyarakat untuk persiapan kuliner Ramadan dan Idul Fitri juga menjadi faktor lain.
Hanya saja, tren inflasi administered price atau harga-harga yang ditentukan oleh pemerintah sampai dengan bulan Mei 2017 cenderung meningkat, lebih tinggi dari inflasi admistered price nasional. Tingginya inflasi tersebut terutama didorong oleh kenaikan tarif listrik yang dilakukan bertahap sejak Januari hingga Mei 2017. "Pengguna listrik 900 VA sangat merasakan bebannya," tambahnya.
Selama ini, pengaruh kenaikan tarif listrik tersebut memang tidak begitu terasa di Jakarta, sebab banyak apartemen dan gedung-gedung pencakar langit yang konsumsi listriknya jauh di atas 900 VA. Namun di Yogyakarta, jumlah pengguna listrik 900% sangat banyak, hampir di atas 70%, sehingga ketika terjadi kenaikan tarif listrik maka akan sangat terasa.
Oleh karena itu, terang dia pihaknya mewaspadai terjadinya second effect dari kenaikan tarif listrik tersebut. Karena bisa jadi, kenaikan tarif listrik tersebut berimplikasi beruntun terhadap sektor tertentu. Dia mencontohkan, ketika tarif listrik naik, serta merta pemilik kos-kosan di DIY langsung menaikkan tarif kos-kosan mereka. "Padahal di Yogya, tarif kos-kosan juga mempengaruhi inflasi," terangnya.
Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Yogyakarta Hilman Tisnawan menambahkan, sesuai dengan pola musimannya, pada Ramadan dan Idul Fitri tekanan inflasi administered price akan meningkat terutama pada tarif angkutan.
Menurutnya perusahaan angkutan cenderung untuk memperbanyak alokasi tiket pesawat, kereta api dan bis antar kota pada harga mendekati batas atas. "Dampak Peningkatan tarif listrik akan terlihat Juni ini mengingat pelanggan 900 volt cenderung bersifat paska bayar," tambahnya.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Yogyakarta Budi Hanoto mengatakan, sampai dengan bulan Mei 2017, inflasi DIY masih terjaga. Walaupun merangkak naik seiring dengan pola musiman Ramadan dan Idul Fitri. Inflasi DIY bulan Mei lalu mencapai angka 4,10% dan 0,33 mount to mounth. "Namun perlu diwaspadai kecenderungan peningkatan yang didorong oleh volatile food dan administered prices," tuturnya.
Dia menambahkan meskipun merangkak naik, tren infalsi volatile food selama lima bulan pertama tahun 2017 ini masih terjaga. Pergerakan inflasi volatile food tersebut lebih rendah dalam tiga tahun terakhir. Hal ini karena terjaganya harga beras yang memiliki bobot tertinggi dalam keranjang Volatile Food.
Volatile Food masih mendapat tekanan dari harga bawang putih akibat tingginya harga impor bawang putih dari China dan India serta gangguan cuaca yang terjadi belakangan ini. Peningkatan harga daging dan telur ayam ras mengingat lonjakan permintaan masyarakat untuk persiapan kuliner Ramadan dan Idul Fitri juga menjadi faktor lain.
Hanya saja, tren inflasi administered price atau harga-harga yang ditentukan oleh pemerintah sampai dengan bulan Mei 2017 cenderung meningkat, lebih tinggi dari inflasi admistered price nasional. Tingginya inflasi tersebut terutama didorong oleh kenaikan tarif listrik yang dilakukan bertahap sejak Januari hingga Mei 2017. "Pengguna listrik 900 VA sangat merasakan bebannya," tambahnya.
Selama ini, pengaruh kenaikan tarif listrik tersebut memang tidak begitu terasa di Jakarta, sebab banyak apartemen dan gedung-gedung pencakar langit yang konsumsi listriknya jauh di atas 900 VA. Namun di Yogyakarta, jumlah pengguna listrik 900% sangat banyak, hampir di atas 70%, sehingga ketika terjadi kenaikan tarif listrik maka akan sangat terasa.
Oleh karena itu, terang dia pihaknya mewaspadai terjadinya second effect dari kenaikan tarif listrik tersebut. Karena bisa jadi, kenaikan tarif listrik tersebut berimplikasi beruntun terhadap sektor tertentu. Dia mencontohkan, ketika tarif listrik naik, serta merta pemilik kos-kosan di DIY langsung menaikkan tarif kos-kosan mereka. "Padahal di Yogya, tarif kos-kosan juga mempengaruhi inflasi," terangnya.
Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Yogyakarta Hilman Tisnawan menambahkan, sesuai dengan pola musimannya, pada Ramadan dan Idul Fitri tekanan inflasi administered price akan meningkat terutama pada tarif angkutan.
Menurutnya perusahaan angkutan cenderung untuk memperbanyak alokasi tiket pesawat, kereta api dan bis antar kota pada harga mendekati batas atas. "Dampak Peningkatan tarif listrik akan terlihat Juni ini mengingat pelanggan 900 volt cenderung bersifat paska bayar," tambahnya.
(akr)