Kebijakan GWM Primer Averaging Dorong Likuiditas Sektor Keuangan
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) optimistis instrumen moneter Giro Wajib Minimum (GWM) Primer Averaging yang baru akan memperkuat stabilitas keuangan nasional. Rasio GWM primer tetap sebesar 6,5% dari DPK (uang simpanan) di bank efektif per 1 Juli 2017 dan akan dilakukan bertahap (partial) hingga berlaku penuh (full average).
Secara umum, kebijakan penerapan GWM average positif bagi upaya mendorong likuiditas di sektor keuangan. Namun, untuk dapat menurunkan suku bunga kredit sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
"Hal tersebut lantaran, pertumbuhan kredit mengikuti kondisi perekonomian," kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (13/7/2017).
Menurut dia, dengan menurunnya daya beli disertai dengan tren meningkatnya inflasi (dibanding capaian 2016 sebesar 3,02% yoy), maka perbankan masih akan menahan bunga kredit. "Hal ini karena seiring kenaikan inflasi, maka deposan/penabung akan minta bunga yang lebih tinggi dari inflasi," imbuhnya.
Dengan demikian, lanjut Eko, upaya mendorong kredit dari kebijakan ini sepertinya tidak akan terjadi dalam jangka pendek. Kemungkinan tahun depan, merupakan waktu efektif (GWM Av) dalam menurunkan bunga kredit atau mendorong kredit konsumer.
Apalagi, saat ini ada daya beli yang menurun. Menurutnya, sampai akhir 2017, laju kredit masih akan sulit mencapai double digit atau masih betah di angka 9%, meski ada kebijakan GWM.
"Dugaan saya kebijakan ini akan lebih mendorong pemerataan likuiditas antara bank besar dan bank kecil. Artinya, jika kredit tidak tumbuh tinggi setelah kebijakan ini, minimal bank kecil dapat 'kemudahan' likuiditas dari bank besar," paparnya.
Sementara itu, Pengamat Perbankan Paul Sutaryono menambahkan, pada dasarnya aturan GWM rata-rata bertujuan agar bank nasional dapat lebih leluasa dalam mengelola likuiditas mereka. Sehingga, bank nasional diharapkan dapat melakukan ekspansi kredit.
"Tetapi itu tidak berarti penetapan GWM rata-rata akan langsung menaikkan kucuran kredit secara signifikan pada akhir tahun lantaran daya beli masyarakat masih belum pulih benar. Apalagi baru saja Lebaran yang pasti sudah menyedot banyak tabungan yang ada. Terlebih, adanya kebutuhan untuk keperluan pendidikan pada tahun ajaran baru," ujar Paul.
Secara umum, kebijakan penerapan GWM average positif bagi upaya mendorong likuiditas di sektor keuangan. Namun, untuk dapat menurunkan suku bunga kredit sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
"Hal tersebut lantaran, pertumbuhan kredit mengikuti kondisi perekonomian," kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (13/7/2017).
Menurut dia, dengan menurunnya daya beli disertai dengan tren meningkatnya inflasi (dibanding capaian 2016 sebesar 3,02% yoy), maka perbankan masih akan menahan bunga kredit. "Hal ini karena seiring kenaikan inflasi, maka deposan/penabung akan minta bunga yang lebih tinggi dari inflasi," imbuhnya.
Dengan demikian, lanjut Eko, upaya mendorong kredit dari kebijakan ini sepertinya tidak akan terjadi dalam jangka pendek. Kemungkinan tahun depan, merupakan waktu efektif (GWM Av) dalam menurunkan bunga kredit atau mendorong kredit konsumer.
Apalagi, saat ini ada daya beli yang menurun. Menurutnya, sampai akhir 2017, laju kredit masih akan sulit mencapai double digit atau masih betah di angka 9%, meski ada kebijakan GWM.
"Dugaan saya kebijakan ini akan lebih mendorong pemerataan likuiditas antara bank besar dan bank kecil. Artinya, jika kredit tidak tumbuh tinggi setelah kebijakan ini, minimal bank kecil dapat 'kemudahan' likuiditas dari bank besar," paparnya.
Sementara itu, Pengamat Perbankan Paul Sutaryono menambahkan, pada dasarnya aturan GWM rata-rata bertujuan agar bank nasional dapat lebih leluasa dalam mengelola likuiditas mereka. Sehingga, bank nasional diharapkan dapat melakukan ekspansi kredit.
"Tetapi itu tidak berarti penetapan GWM rata-rata akan langsung menaikkan kucuran kredit secara signifikan pada akhir tahun lantaran daya beli masyarakat masih belum pulih benar. Apalagi baru saja Lebaran yang pasti sudah menyedot banyak tabungan yang ada. Terlebih, adanya kebutuhan untuk keperluan pendidikan pada tahun ajaran baru," ujar Paul.
(izz)