Pupuk Terpenuhi, Swasembada Pangan Makin Pasti
A
A
A
JAKARTA - Pupuk adalah faktor sangat penting dalam menunjang swasembada beras keberhasilan usaha tani padi. Peran pupuk bisa mencapai 20% dari total nilai keberhasilan usaha tani.
Menurut Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional Winarno Tohir, penyediaan pupuk bersubsidi oleh PT Pupuk Indonesia memberi andil besar dalam mensukseskan program swasembada pangan nasional.
“Proporsi pupuk dalam struktur biaya produksi padi memang cukup besar, yaitu sekitar 10,40% (BPS, 2017) tetapi perannya dalam keberhasilan produksi mencapai 20%,” jelas Winarno dalam keterangan tertulis, Jumat (28/7/2017).
Ia menjelaskan, pupuk yang dibutuhkan petani adalah yang dapat mensuplai kecukupan unsur hara tanah untuk pertanaman padi seperti Nitrogen, Kalium dan Phospat. Prakteknya, yang beredar di pasaran pupuk Urea, NPK, SP36, meskipun tersedia juga pupuk jenis majemuk.
Saat ini, produksi pupuk nasional sekitar 13,5 juta ton, mayoritas diperuntukkan bagi kebutuhan lokal terutama untuk sub sektor tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, peternakan dan perikanan budidaya dengan skim subsidi input. “Bila kebutuhan lokal sudah terpenuhi, pemerintah setelah mencukupi kebutuhan lokal, sisanya dapat diekspor,” tambahnya.
Tahun 2016, Kementan mengalokasikan anggaran subsidi pupuk Rp 30,06 triliun atau setara 9,55 juta ton pupuk berbagai jenis. Jumlah pupuk subsidi yang terserap hanya 9,205 juta ton atau sekitar 96,39% tersisa 0,345 juta ton. “Ada anomali dalam penanganan pupuk bersubsidi. Di satu sisi terbukti alokasi yang ada tidak terserap, sementara di lapangan, petani mengeluhkan kelangkaan pupuk,” kata Winarno.
Penyebabnya diduga karena data CPCL (Calon Petani Calon Lokasi) yang tidak akurat alias terlalu tinggi dari kebutuhan riel. Distribusinya tidak proporsional atau tidak sesuai kebutuhan riel lapangan, sistem distribusi sistem rayon yang tidak memungkinkan pupuk nyeberang wilayah lain yang membutuhkan.
“Kelemahan sistem rayon adalah, ketika suatu daerah terjadi surplus jumlah pupuk subsidi, ketika akan dipindah ke daerah lain terkendala sejumlah aturan dan waktu,” kata Winarno.
Dampaknya, bagi petani, kekurangan pupuk tentu menurunkan produksi padi. Kerugian produsen adalah ketika peluang ekspor hilang. Peluang mendapatkan devisa dan laba perusahaan hilang, sementara pupuknya tidak terpakai sehingga seluruh biaya operasional ditanggung perusahaan pupuk.
Meski ada sejumlah kekurangan, Winarno menegaskan kebijakan subsidi pupuk adalah kebijakan yang baik sehingga layak terus dipertahankan. Pemerintah didukung oleh DPR dan para stakeholder lainnya menyepakati untuk mengalokasikan anggaran yang sama dengan volume pupuk yang sama tahun ini yaitu Rp31,153 triliun atau setara 9,55 juta ton pupuk berbagai jenis.
Mengatasi Problematika Penyediaan Pupuk Subsidi
Problematika ketersediaan pupuk ada beberapa macam, antara lain tidak tersedia atau kurang saat dibutuhkan, ada tetapi harganya mahal (harga industri), ketersediaannya tidak tepat waktu, dan ada tetapi prosedurnya rumit atau minta cash sehingga banyak petani tidak mampu membeli.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Pending Dadih Permana menjelaskan, untuk mengatasi problem di atas, pabrikan pupuk bersepakat menerapkan sistem manajemen distribusi 6 tepat, yaitu; Tepat Jenis, Tepat Jumlah, Tepat Mutu (kualitas dan dosis), Tepat Tempat (lokasi), Tepat Waktu dan Tepat Harga.
“Dengan menerapkan sistem manajemen ini, problema distribusi pupuk perlahan-lahan teratasi. Moral hazard dan penyelewengan pupuk bersubsidi terkait disparitas harga dapat diatasi dengan pengawasan melekat yang intensif,” ujar Pending Dadih.
Untuk mengurangi pupuk subsidi tidak terserap, pemerintah akan memperbaiki data CPCL menggunakan Sistem Informasi Penyuluhan Pertanian (Simluhtan) yaitu sistem informasi berbasis IT, untuk memudahkan pengumpulan data dan komunikasi data serta update data petani dan lokasi.
“Selain itu juga memperbaiki sistem rayonisasi, meningkatkan pengawasan penyelewengan pupuk dengan mengintensifkan kerjasama dengan pihak ketiga, dan menurunkan disparitas harga antara pupuk subsidi dengan pupuk industri sehingga mengurangi peluang penyelewengan,” urainya.
Berdasarkan Permentan Nomor 69 Tahun 2016 juncto Permentan Nomor 4 Tahun 2014, pupuk bersubsidi tahun anggaran 2017 dialokasikan sebanyak 8,55 juta ton plus 1 juta ton sebagai cadangan. Perinciannya, pupuk urea 4,1 juta ton, pupuk SP-36 850.000 ton, pupuk ZA 1,050 juta ton, pupuk NPK 2,550 juta ton, dan pupuk organik 1 juta ton.
Menurut Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional Winarno Tohir, penyediaan pupuk bersubsidi oleh PT Pupuk Indonesia memberi andil besar dalam mensukseskan program swasembada pangan nasional.
“Proporsi pupuk dalam struktur biaya produksi padi memang cukup besar, yaitu sekitar 10,40% (BPS, 2017) tetapi perannya dalam keberhasilan produksi mencapai 20%,” jelas Winarno dalam keterangan tertulis, Jumat (28/7/2017).
Ia menjelaskan, pupuk yang dibutuhkan petani adalah yang dapat mensuplai kecukupan unsur hara tanah untuk pertanaman padi seperti Nitrogen, Kalium dan Phospat. Prakteknya, yang beredar di pasaran pupuk Urea, NPK, SP36, meskipun tersedia juga pupuk jenis majemuk.
Saat ini, produksi pupuk nasional sekitar 13,5 juta ton, mayoritas diperuntukkan bagi kebutuhan lokal terutama untuk sub sektor tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, peternakan dan perikanan budidaya dengan skim subsidi input. “Bila kebutuhan lokal sudah terpenuhi, pemerintah setelah mencukupi kebutuhan lokal, sisanya dapat diekspor,” tambahnya.
Tahun 2016, Kementan mengalokasikan anggaran subsidi pupuk Rp 30,06 triliun atau setara 9,55 juta ton pupuk berbagai jenis. Jumlah pupuk subsidi yang terserap hanya 9,205 juta ton atau sekitar 96,39% tersisa 0,345 juta ton. “Ada anomali dalam penanganan pupuk bersubsidi. Di satu sisi terbukti alokasi yang ada tidak terserap, sementara di lapangan, petani mengeluhkan kelangkaan pupuk,” kata Winarno.
Penyebabnya diduga karena data CPCL (Calon Petani Calon Lokasi) yang tidak akurat alias terlalu tinggi dari kebutuhan riel. Distribusinya tidak proporsional atau tidak sesuai kebutuhan riel lapangan, sistem distribusi sistem rayon yang tidak memungkinkan pupuk nyeberang wilayah lain yang membutuhkan.
“Kelemahan sistem rayon adalah, ketika suatu daerah terjadi surplus jumlah pupuk subsidi, ketika akan dipindah ke daerah lain terkendala sejumlah aturan dan waktu,” kata Winarno.
Dampaknya, bagi petani, kekurangan pupuk tentu menurunkan produksi padi. Kerugian produsen adalah ketika peluang ekspor hilang. Peluang mendapatkan devisa dan laba perusahaan hilang, sementara pupuknya tidak terpakai sehingga seluruh biaya operasional ditanggung perusahaan pupuk.
Meski ada sejumlah kekurangan, Winarno menegaskan kebijakan subsidi pupuk adalah kebijakan yang baik sehingga layak terus dipertahankan. Pemerintah didukung oleh DPR dan para stakeholder lainnya menyepakati untuk mengalokasikan anggaran yang sama dengan volume pupuk yang sama tahun ini yaitu Rp31,153 triliun atau setara 9,55 juta ton pupuk berbagai jenis.
Mengatasi Problematika Penyediaan Pupuk Subsidi
Problematika ketersediaan pupuk ada beberapa macam, antara lain tidak tersedia atau kurang saat dibutuhkan, ada tetapi harganya mahal (harga industri), ketersediaannya tidak tepat waktu, dan ada tetapi prosedurnya rumit atau minta cash sehingga banyak petani tidak mampu membeli.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Pending Dadih Permana menjelaskan, untuk mengatasi problem di atas, pabrikan pupuk bersepakat menerapkan sistem manajemen distribusi 6 tepat, yaitu; Tepat Jenis, Tepat Jumlah, Tepat Mutu (kualitas dan dosis), Tepat Tempat (lokasi), Tepat Waktu dan Tepat Harga.
“Dengan menerapkan sistem manajemen ini, problema distribusi pupuk perlahan-lahan teratasi. Moral hazard dan penyelewengan pupuk bersubsidi terkait disparitas harga dapat diatasi dengan pengawasan melekat yang intensif,” ujar Pending Dadih.
Untuk mengurangi pupuk subsidi tidak terserap, pemerintah akan memperbaiki data CPCL menggunakan Sistem Informasi Penyuluhan Pertanian (Simluhtan) yaitu sistem informasi berbasis IT, untuk memudahkan pengumpulan data dan komunikasi data serta update data petani dan lokasi.
“Selain itu juga memperbaiki sistem rayonisasi, meningkatkan pengawasan penyelewengan pupuk dengan mengintensifkan kerjasama dengan pihak ketiga, dan menurunkan disparitas harga antara pupuk subsidi dengan pupuk industri sehingga mengurangi peluang penyelewengan,” urainya.
Berdasarkan Permentan Nomor 69 Tahun 2016 juncto Permentan Nomor 4 Tahun 2014, pupuk bersubsidi tahun anggaran 2017 dialokasikan sebanyak 8,55 juta ton plus 1 juta ton sebagai cadangan. Perinciannya, pupuk urea 4,1 juta ton, pupuk SP-36 850.000 ton, pupuk ZA 1,050 juta ton, pupuk NPK 2,550 juta ton, dan pupuk organik 1 juta ton.
(akr)