Pernyataan Sikap SP JICT Selamatkan Aset Nasional
A
A
A
JAKARTA - Serikat Pekerja PT Jakarta International Container Terminal (JICT) menyatakan aksi mogok kerja merupakan reaksi atas wanprestasi kesepakatan antara direksi terhadap hak pekerja akibat uang sewa ilegal perpanjangan kontrak jilid II. Sekretaris Jenderal JICT Firmansyah menerangkan aksi penyelamatan aset nasional JICT sejatinya telah dilakukan sejak tahun 2014.
Namun diterangkan kerap terhalang oleh beberapa pihak dengan isu gaji besar para pekerja JICT. "Sesungguhnya tidak seorang pun, berapa pun besarnya penghasilan, akan merelakan haknya dirampas," ucap Firmansyah dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat (4/8/2017).
Sementara Ia menambahkan direksi JICT yang bergaji jauh lebih besar yakni diatas Rp2,5 miliar per tahun diduga sengaja wanprestasi terhadap hak-hak pekerja dan membiarkan JICT rugi ratusan miliar rupiah akibat mogok kerja. Prestasi buruk Direksi ini menurutnya patut dicurigai bagian dari*gerakan memuluskan penjualan aset nasional.
"Pendapatan perusahaan yang besar atau mencapai Rp 3,5-4 triliun per tahun, diduga menjadi sumber bancakan bagi direksi dan investor Hutchison serta pihak-pihak lain untuk terus mengamankan perpanjangan kontrak JICT," sambungnya.
Tercatat, sejak tahun 2015, JICT terang Firmansyah telah melakukan super efisiensi besar-besaran karena beban sewa perpanjangan kontrak JICT USD 85 juta/tahun. Padahal diyakini pendapatan perusahaan naik 4,6% di tahun 2016.
"Jadi perpanjangan kontrak JICT jilid II (2015-2039) yang dilakukan kepada Hutchison, telah terbukti tidak ada nilai tambah karena melanggar UU. Serta merugikan negara, pekerja dan JICT sendiri dalam jangka waktu panjang," paparnya.
Untuk itu Dia menegaskan, perjuangan terhadap hak-hak pekerja karena dampak perpanjangan kontrak JICT menjadi penting. Namun hal yang tidak kalah penting ujar dia adalah, bagaimana menyelamatkan aset nasional JICT yang masa kontrak jilid I habis di tahun 2019, agar bisa dikelola bangsa sendiri sesuai visi kemandirian nasional.
Namun diterangkan kerap terhalang oleh beberapa pihak dengan isu gaji besar para pekerja JICT. "Sesungguhnya tidak seorang pun, berapa pun besarnya penghasilan, akan merelakan haknya dirampas," ucap Firmansyah dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat (4/8/2017).
Sementara Ia menambahkan direksi JICT yang bergaji jauh lebih besar yakni diatas Rp2,5 miliar per tahun diduga sengaja wanprestasi terhadap hak-hak pekerja dan membiarkan JICT rugi ratusan miliar rupiah akibat mogok kerja. Prestasi buruk Direksi ini menurutnya patut dicurigai bagian dari*gerakan memuluskan penjualan aset nasional.
"Pendapatan perusahaan yang besar atau mencapai Rp 3,5-4 triliun per tahun, diduga menjadi sumber bancakan bagi direksi dan investor Hutchison serta pihak-pihak lain untuk terus mengamankan perpanjangan kontrak JICT," sambungnya.
Tercatat, sejak tahun 2015, JICT terang Firmansyah telah melakukan super efisiensi besar-besaran karena beban sewa perpanjangan kontrak JICT USD 85 juta/tahun. Padahal diyakini pendapatan perusahaan naik 4,6% di tahun 2016.
"Jadi perpanjangan kontrak JICT jilid II (2015-2039) yang dilakukan kepada Hutchison, telah terbukti tidak ada nilai tambah karena melanggar UU. Serta merugikan negara, pekerja dan JICT sendiri dalam jangka waktu panjang," paparnya.
Untuk itu Dia menegaskan, perjuangan terhadap hak-hak pekerja karena dampak perpanjangan kontrak JICT menjadi penting. Namun hal yang tidak kalah penting ujar dia adalah, bagaimana menyelamatkan aset nasional JICT yang masa kontrak jilid I habis di tahun 2019, agar bisa dikelola bangsa sendiri sesuai visi kemandirian nasional.
(akr)