Analisis RAPBN 2018 dalam Nota Keuangan Versi Indef
A
A
A
JAKARTA - Institute For Development of Economics and Finance (Indef) mengeluarkan data analisis mengenai postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 yang akan disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato Nota Keuangan hari ini. Peneliti Indef Bhima Yudhistira menyampaikan, untuk postur anggaran yang dirancang Pemerintah dalam RAPBN 2018 terbilang cukup optimis.
Hal ini misalnya terlihat dari asumsi makro pertumbuhan ekonomi yang ditarget mencapai 5,4%. Angka tersebut nampaknya masih terbilang ambisius mengingat beberapa indikator perekonomian saat ini masih menunjukkan tren yang menurun.
"Konsumsi masyarakat sebagai pembentuk 56% kue perekonomian mengalami pelemahan jika dibandingkan tahun sebelumnya dengan pertumbuhan dibawah 5% pada semester I 2017," kata dia dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (16/8/2017).
Sementara itu, untuk kinerja sektor industri pengolahan juga tengah lesu dengan pertumbuhan sebesar 3,54% di kuartal II. Sektor perdagangan terpukul penurunan penjualan ritel sehingga hanya tumbuh 3,78% di kuartal ke II, atau lebih rendah dari kuartal sebelumnya.
Untuk inflasi ditarget sebesar 3,5% pada tahun 2018. Target ini lebih rendah dibanding APBNP 2017. Target inflasi sangat mungkin mencapai 3,5% apabila pengendalian harga bahan pangan bisa lebih dioptimalkan.
"Namun, tekanan inflasi dari sisi harga yang diatur pemerintah (administered price) tetap perlu dicermati karena proyeksi harga minyak dunia memiliki kecenderungan naik diatas USD50 per barel pada awal 2018," imbuh Bhima.
Pada asumsi makro ekonomi lainnya yang perlu dicermati adalah kurs rupiah ditargetkan sebesar 13.500 per dolar. Angka tersebut rentan mengalami perubahan melihat faktor eksternal seperti kenaikan Fed rate, penyesuaian balance sheet bank sentral AS, serta kondisi geopolitik yang kurang stabil seperti meningkatnya ketegangan di semenanjung Korea akan memberikan sentimen negatif terhadap kurs rupiah di tahun depan.
Proyeksi moderat asumsi kurs RAPBN 2018 sebaiknya ada di range 13.800-14.100 per USD. Dari sisi penerimaan negara, lanjut Bhima tampaknya Pemerintah cukup agresif dengan memasang target yang tinggi sebesar Rp1.609,3 triliun. Hal ini terlihat dari kenaikan penerimaan pajak yang mencapai Rp136,6 triliun atau tumbuh 9.2% dibanding target APBNP 2017.
"Berkaitan dengan target penerimaan pajak, sebaiknya pemerintah sedikit berhati-hati karena tahun 2018 tidak ada penerimaan extra seperti tax amnesty," ungkapnya.
Di sisi lain mengandalkan keterbukaan informasi untuk perpajakan (AEOI) pada tahun depan masih cukup sulit karena prosesnya memakan waktu yang lama. Mulai dari penyidikan hingga penarikan potensi pajak melalui AEOI setidaknya butuh waktu 3-5 tahun. Jika target pajak dinaikkan terlalu tinggi, ancaman terjadinya shortfall cukup besar. Oleh karena itu dalam menyusun target penerimaan pajak, Pemerintah diharapkan lebih hati-hati agar desain anggaran tetap kredibel.
Postur RAPBN 2018 dari segi belanja terbilang konservatif dengan kenaikan belanja total hanya 3% dibanding APBNP 2017. Sebelumnya di tahun 2017 belanja total Pemerintah naik 14,4%. Total belanja yang disodorkan Pemerintah dalam RAPBN 2018 mencapai Rp2.204 triliun.
Sedangkan pertumbuhan belanja Pemerintah yang kecil lebih disebabkan oleh pengurangan dana transfer daerah sebesar Rp5,3 triliun dibandingkan tahun 2017. Artinya, pemerintah daerah harus bersiap menghadapi penurunan jumlah anggaran yang diterima pada tahun depan. Gelombang pemangkasan anggaran daerah juga diproyeksi masih akan berlanjut sampai akhir tahun 2018 untuk menekan defisit anggaran.
Sementara itu defisit anggaran untuk tahun 2018 ditarget sebesar 2,19% atau sebesar Rp325,9 triliun. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan APBN-P 2017 sebesar 2,92% dan outlook APBN-P 2017 yang sebesar 2,67%. Besarnya target penerimaan pajak dan rendahnya belanja membuat angka defisit relatif lebih rendah dibandingkan tahun 2017.
Guna membiayai defisit anggaran, Pemerintah akan menerbitkan utang baru sebesar Rp399,2 triliun. Namun, target utang Pemerintah tersebut masih rentan dikoreksi karena tahun 2018 Pemerintah harus membayar utang jatuh tempo sebesar Rp315,1 triliun yang komposisinya terdiri dari 77,6% berbentuk surat utang dan 22,3% berbentuk pinjaman bilateral/multilateral.
"Nantinya, terdapat dua skenario yang akan dilakukan Pemerintah, pertama adalah meningkatkan jumlah utang saat pembahasan APBN 2018 dengan DPR. Kedua, menambah utang di semester kedua melalui pembahasan APBN-Perubahan 2018," pungkasnya.
Hal ini misalnya terlihat dari asumsi makro pertumbuhan ekonomi yang ditarget mencapai 5,4%. Angka tersebut nampaknya masih terbilang ambisius mengingat beberapa indikator perekonomian saat ini masih menunjukkan tren yang menurun.
"Konsumsi masyarakat sebagai pembentuk 56% kue perekonomian mengalami pelemahan jika dibandingkan tahun sebelumnya dengan pertumbuhan dibawah 5% pada semester I 2017," kata dia dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (16/8/2017).
Sementara itu, untuk kinerja sektor industri pengolahan juga tengah lesu dengan pertumbuhan sebesar 3,54% di kuartal II. Sektor perdagangan terpukul penurunan penjualan ritel sehingga hanya tumbuh 3,78% di kuartal ke II, atau lebih rendah dari kuartal sebelumnya.
Untuk inflasi ditarget sebesar 3,5% pada tahun 2018. Target ini lebih rendah dibanding APBNP 2017. Target inflasi sangat mungkin mencapai 3,5% apabila pengendalian harga bahan pangan bisa lebih dioptimalkan.
"Namun, tekanan inflasi dari sisi harga yang diatur pemerintah (administered price) tetap perlu dicermati karena proyeksi harga minyak dunia memiliki kecenderungan naik diatas USD50 per barel pada awal 2018," imbuh Bhima.
Pada asumsi makro ekonomi lainnya yang perlu dicermati adalah kurs rupiah ditargetkan sebesar 13.500 per dolar. Angka tersebut rentan mengalami perubahan melihat faktor eksternal seperti kenaikan Fed rate, penyesuaian balance sheet bank sentral AS, serta kondisi geopolitik yang kurang stabil seperti meningkatnya ketegangan di semenanjung Korea akan memberikan sentimen negatif terhadap kurs rupiah di tahun depan.
Proyeksi moderat asumsi kurs RAPBN 2018 sebaiknya ada di range 13.800-14.100 per USD. Dari sisi penerimaan negara, lanjut Bhima tampaknya Pemerintah cukup agresif dengan memasang target yang tinggi sebesar Rp1.609,3 triliun. Hal ini terlihat dari kenaikan penerimaan pajak yang mencapai Rp136,6 triliun atau tumbuh 9.2% dibanding target APBNP 2017.
"Berkaitan dengan target penerimaan pajak, sebaiknya pemerintah sedikit berhati-hati karena tahun 2018 tidak ada penerimaan extra seperti tax amnesty," ungkapnya.
Di sisi lain mengandalkan keterbukaan informasi untuk perpajakan (AEOI) pada tahun depan masih cukup sulit karena prosesnya memakan waktu yang lama. Mulai dari penyidikan hingga penarikan potensi pajak melalui AEOI setidaknya butuh waktu 3-5 tahun. Jika target pajak dinaikkan terlalu tinggi, ancaman terjadinya shortfall cukup besar. Oleh karena itu dalam menyusun target penerimaan pajak, Pemerintah diharapkan lebih hati-hati agar desain anggaran tetap kredibel.
Postur RAPBN 2018 dari segi belanja terbilang konservatif dengan kenaikan belanja total hanya 3% dibanding APBNP 2017. Sebelumnya di tahun 2017 belanja total Pemerintah naik 14,4%. Total belanja yang disodorkan Pemerintah dalam RAPBN 2018 mencapai Rp2.204 triliun.
Sedangkan pertumbuhan belanja Pemerintah yang kecil lebih disebabkan oleh pengurangan dana transfer daerah sebesar Rp5,3 triliun dibandingkan tahun 2017. Artinya, pemerintah daerah harus bersiap menghadapi penurunan jumlah anggaran yang diterima pada tahun depan. Gelombang pemangkasan anggaran daerah juga diproyeksi masih akan berlanjut sampai akhir tahun 2018 untuk menekan defisit anggaran.
Sementara itu defisit anggaran untuk tahun 2018 ditarget sebesar 2,19% atau sebesar Rp325,9 triliun. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan APBN-P 2017 sebesar 2,92% dan outlook APBN-P 2017 yang sebesar 2,67%. Besarnya target penerimaan pajak dan rendahnya belanja membuat angka defisit relatif lebih rendah dibandingkan tahun 2017.
Guna membiayai defisit anggaran, Pemerintah akan menerbitkan utang baru sebesar Rp399,2 triliun. Namun, target utang Pemerintah tersebut masih rentan dikoreksi karena tahun 2018 Pemerintah harus membayar utang jatuh tempo sebesar Rp315,1 triliun yang komposisinya terdiri dari 77,6% berbentuk surat utang dan 22,3% berbentuk pinjaman bilateral/multilateral.
"Nantinya, terdapat dua skenario yang akan dilakukan Pemerintah, pertama adalah meningkatkan jumlah utang saat pembahasan APBN 2018 dengan DPR. Kedua, menambah utang di semester kedua melalui pembahasan APBN-Perubahan 2018," pungkasnya.
(akr)