Pengamat Soroti Kenaikan Harga Jual Gas Grissik
A
A
A
JAKARTA - Tata kelola sektor pertambangan nasional kembali menjadi sorotan. Salah satunya, lemahnya pengawasan terhadap upaya peningkatan kegiatan eksplorasi, hingga menciutnya angka produksi migas Indonesia yang saat ini hanya berada kisaran 815 ribu barel per hari (BPH).
Bahkan, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara berkesimpulan pemerintah kurang tepat dalam menyiasati fenomena pelemahan harga jual migas yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir.
"Memang secara natural harga akan kembali mahal karena tidak ada orang melakukan eksplorasi. Tapi begitu naik karena kita selama ini tidak membangun di dalam, maka akan membawa dampak dan BUMN (Pertamina) makin parah menanggung devisa untuk subsidi. Atau kalau harga dinaikkan maka rakyat jadi korban," ujar dia dalam HUT Serikat Pekerja PT PLN (Persero) seperti dikutip di Jakarta, Sabtu (19/8/2017).
Selain hulu migas, Marwan mengatakan bahwa hal itu juga menjadi sorotan atas kinerja pemerintah bidang migas juga didasarkan pada tidak adanya asas keadilan (fairness) dalam penetapan harga jual komoditas migas.
Seperti diketahui baru-baru ini Kementerian ESDM meneken surat bernomor 5882/12/MEM.M/2017 tentang penetapan harga jual gas bumi dari ConocoPhillips (COPI) Grissik ke PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk untuk wilayah Batam.
Dalam surat yang diteken pada 31 Juli 2017, COPI diperbolehkan untuk menaikkan harga jual gas dengan volume 27,27-50 BBTUD dari USD2,6 per MMBTU menjadi USD3,5 per MMBTU. Sedangkan di lain sisi, PGN harus menerima keputusan dan tidak diperkenankan mengerek harga jualnya ke konsumen sesuai isi surat tersebut.
Memang dengan kenaikan harga pendapatan negara meningkat, tapi asingnya mendapat durian runtuh. PGN membangun jaringan transmisi dan jaringan distribusi dengan uangnya sendiri. "Kalau gini dari mana dia dapat uang dan bagaimana dia mengembangkan jaringan gas ke depan?" tegas Marwan.
Bahkan, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara berkesimpulan pemerintah kurang tepat dalam menyiasati fenomena pelemahan harga jual migas yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir.
"Memang secara natural harga akan kembali mahal karena tidak ada orang melakukan eksplorasi. Tapi begitu naik karena kita selama ini tidak membangun di dalam, maka akan membawa dampak dan BUMN (Pertamina) makin parah menanggung devisa untuk subsidi. Atau kalau harga dinaikkan maka rakyat jadi korban," ujar dia dalam HUT Serikat Pekerja PT PLN (Persero) seperti dikutip di Jakarta, Sabtu (19/8/2017).
Selain hulu migas, Marwan mengatakan bahwa hal itu juga menjadi sorotan atas kinerja pemerintah bidang migas juga didasarkan pada tidak adanya asas keadilan (fairness) dalam penetapan harga jual komoditas migas.
Seperti diketahui baru-baru ini Kementerian ESDM meneken surat bernomor 5882/12/MEM.M/2017 tentang penetapan harga jual gas bumi dari ConocoPhillips (COPI) Grissik ke PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk untuk wilayah Batam.
Dalam surat yang diteken pada 31 Juli 2017, COPI diperbolehkan untuk menaikkan harga jual gas dengan volume 27,27-50 BBTUD dari USD2,6 per MMBTU menjadi USD3,5 per MMBTU. Sedangkan di lain sisi, PGN harus menerima keputusan dan tidak diperkenankan mengerek harga jualnya ke konsumen sesuai isi surat tersebut.
Memang dengan kenaikan harga pendapatan negara meningkat, tapi asingnya mendapat durian runtuh. PGN membangun jaringan transmisi dan jaringan distribusi dengan uangnya sendiri. "Kalau gini dari mana dia dapat uang dan bagaimana dia mengembangkan jaringan gas ke depan?" tegas Marwan.
(izz)