LPS Tutup 20 BPR di Jawa Barat
A
A
A
BANDUNG - Jawa Barat (Jabar) menjadi daerah dengan jumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) tertinggi yang dilikuidasi atau ditutup oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Direktur Grup Litigasi LPS Arie Budiman mengatakan, sampai akhir 2016 jumlah BPR yang ditutup kemudian diambil alih LPS mencapai 20 bank. Angka tersebut tertinggi secara nasional, dibanding provinsi lainnya di Indonesia.
"18 BPR sudah selesai dilikuidasi, sisanya dua BPR masih dalam proses penyelesaian. Karena memang perlu waktu smapai empat tahun untuk menyelesaikan proses likuidasi," kata dia pada media workshop di Hotel Savoyy Homan Bidakara, Bandung, Senin (28/8/2017).
Menurutnya, dua BPR yang saat ini masih dalam proses penutupan berada di Bandung dan Karawang. Namun Arie enggan menyebut BPR apa yang saat ini dalam proses likuidasi. LPS memiliki waktu hingga empat tahun untuk menyelesaikan proses likuidasi BPR.
Penutupan BPR oleh otoritas terkait 80% disebabkan kurangnya prinsip kehati-hatian, sehingga menyebabkan terjadinya proud. Misalnya, pemberian kredit secara jor-joran tanpa mempertimbangkan kualitas calon debitur, kredit fiktif, gratifikasi, dan lainnya.
"Banyak pengusaha bank berbisnis seperti berdagang. Dia hanya memikirkan untung. Padahal tidak seperti itu, harus ada budaya perbankan yang baik," jelasnya.
Selain persoalan keuangan, tingginya BPR yang ditutup di Jabar juga disebabkan banyaknya jumlah BPR di kawasan ini. Jabar dengan jumlah penduduk yang mencapai 40 juta jiwa, menjadi daya tarik pengusaha membuka atau mendirikan BPR.
Sebagai perbandingan, secara nasional jumlah BPR mencapai 1.785 unit. Sedangkan perbankan umum sekitar 115 bank. Dengan jumlah BPR yang lebih banyak, kemungkinan munculnya persoalan juga lebih besar. Di sisi lain, sistem pengawasan internal BPR tak selengkap bank umum.
Kendati demikian, dia memastikan tidak semua BPR memiliki tingkat kerentanan tinggi. Tidak sedikit BPR yang menjalankan prinsip kehatian-hatian dengan manajemen yang baik. BPR tersebut mampu mencatat kinerja keuangan yang cukup baik.
"Untuk wilayah Jabar, tahun ini kami belum menerima laporan penutupan BPR. Artinya, sudah ada peningkatan pemahaman dari manajemen untuk menjalankan bisnis secara benar," terangnya.
Pihaknya, juga akan lebih mengintensifkan koordinasi dengan OJK untuk membuat regulasi agar BPR lebih ketat dan meningkatkan prinsip kehati-hatian. Tak hanya itu, LPS juga terus menyosialisasikan kepada masyarakat akan pentingnya menggunakan lembaga jasa keuangan yang telah terjamin LPS.
Saat ini, LPS telah menjamin dana nasabah lebih dari Rp5.000 triliun bagi ribuan lembaga jasa keuangan di Indonesia. Dengan penjaminan itu, jika sewaktu-waktu bank mengalami gagal keuangan, dana masyarakat dijamin LPS.
Sementara, Owner BPR LPM Zaenal Arifin mengatakan, kehadiran LPS cukup membantu BPR dalam menjalankan sistem perbankan. LPS menjadi lembaga pengaman dan pemberi jaminan bagi masyarakat agar aman menyimpan uang di bank.
"LPS seperti early warning. Artinya, kalau ada BPR yang menawarkan bungan simpanan sampai di atas ketentuan LPS, itu akan gambling. Karena sudah tidak dijamin LPS," jelas Zaenal.
Dia menuturkan, kinerja BPR bisa dijaga bila menjalankan sistem keuangan dengan benar. Seperti memberikan kredit ke masyarakat dengan prudent. Apalagi, maraknya kredit tanpa agunan (KTA) mestinya menjadi perhatian BPR agar tetap menyeleksi calon debitur.
Direktur Grup Litigasi LPS Arie Budiman mengatakan, sampai akhir 2016 jumlah BPR yang ditutup kemudian diambil alih LPS mencapai 20 bank. Angka tersebut tertinggi secara nasional, dibanding provinsi lainnya di Indonesia.
"18 BPR sudah selesai dilikuidasi, sisanya dua BPR masih dalam proses penyelesaian. Karena memang perlu waktu smapai empat tahun untuk menyelesaikan proses likuidasi," kata dia pada media workshop di Hotel Savoyy Homan Bidakara, Bandung, Senin (28/8/2017).
Menurutnya, dua BPR yang saat ini masih dalam proses penutupan berada di Bandung dan Karawang. Namun Arie enggan menyebut BPR apa yang saat ini dalam proses likuidasi. LPS memiliki waktu hingga empat tahun untuk menyelesaikan proses likuidasi BPR.
Penutupan BPR oleh otoritas terkait 80% disebabkan kurangnya prinsip kehati-hatian, sehingga menyebabkan terjadinya proud. Misalnya, pemberian kredit secara jor-joran tanpa mempertimbangkan kualitas calon debitur, kredit fiktif, gratifikasi, dan lainnya.
"Banyak pengusaha bank berbisnis seperti berdagang. Dia hanya memikirkan untung. Padahal tidak seperti itu, harus ada budaya perbankan yang baik," jelasnya.
Selain persoalan keuangan, tingginya BPR yang ditutup di Jabar juga disebabkan banyaknya jumlah BPR di kawasan ini. Jabar dengan jumlah penduduk yang mencapai 40 juta jiwa, menjadi daya tarik pengusaha membuka atau mendirikan BPR.
Sebagai perbandingan, secara nasional jumlah BPR mencapai 1.785 unit. Sedangkan perbankan umum sekitar 115 bank. Dengan jumlah BPR yang lebih banyak, kemungkinan munculnya persoalan juga lebih besar. Di sisi lain, sistem pengawasan internal BPR tak selengkap bank umum.
Kendati demikian, dia memastikan tidak semua BPR memiliki tingkat kerentanan tinggi. Tidak sedikit BPR yang menjalankan prinsip kehatian-hatian dengan manajemen yang baik. BPR tersebut mampu mencatat kinerja keuangan yang cukup baik.
"Untuk wilayah Jabar, tahun ini kami belum menerima laporan penutupan BPR. Artinya, sudah ada peningkatan pemahaman dari manajemen untuk menjalankan bisnis secara benar," terangnya.
Pihaknya, juga akan lebih mengintensifkan koordinasi dengan OJK untuk membuat regulasi agar BPR lebih ketat dan meningkatkan prinsip kehati-hatian. Tak hanya itu, LPS juga terus menyosialisasikan kepada masyarakat akan pentingnya menggunakan lembaga jasa keuangan yang telah terjamin LPS.
Saat ini, LPS telah menjamin dana nasabah lebih dari Rp5.000 triliun bagi ribuan lembaga jasa keuangan di Indonesia. Dengan penjaminan itu, jika sewaktu-waktu bank mengalami gagal keuangan, dana masyarakat dijamin LPS.
Sementara, Owner BPR LPM Zaenal Arifin mengatakan, kehadiran LPS cukup membantu BPR dalam menjalankan sistem perbankan. LPS menjadi lembaga pengaman dan pemberi jaminan bagi masyarakat agar aman menyimpan uang di bank.
"LPS seperti early warning. Artinya, kalau ada BPR yang menawarkan bungan simpanan sampai di atas ketentuan LPS, itu akan gambling. Karena sudah tidak dijamin LPS," jelas Zaenal.
Dia menuturkan, kinerja BPR bisa dijaga bila menjalankan sistem keuangan dengan benar. Seperti memberikan kredit ke masyarakat dengan prudent. Apalagi, maraknya kredit tanpa agunan (KTA) mestinya menjadi perhatian BPR agar tetap menyeleksi calon debitur.
(izz)