Potensi Transaksi E-commerce Capai Rp1.200 Triliun hingga 2020
A
A
A
BANDUNG - Potensi bisnis melalui transaksi elektronik (e-commerce) hingga 2020 diperkirakan masih cukup besar, berkisar Rp1.200 triliun. Pelaku usaha dalam negeri diharapkan mampu bertransformasi menjadi produsen untuk mengisi produk jualan online.
Ketua Bidang Edukasi Retail Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) Mohamad Rosihan mengatakan, pemerintah membuat roadmap bisnis e-commerce hingga 2020 sebesar 1.700 triliun. Angka tersebut diprediksi tercapai, seiring berkembangnya bisnis ini.
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika, transaksi e-commerce pada 2016 mencapai Rp440 triliun. Tumbuh signifikan dibanding 2013 yang hanya mencapai Rp112 triliun. "Artinya, masih ada ratusan triliun lagi yang bisa dimanfaatkan pada bidang usaha ini," kata Rosihan pada acara Kenduri e-UKM di Hotel Grand Asrilia, Bandung, Rabu (30/7/2017).
Menurut dia, peluang tersebut seharusnya bisa dimanfaatkan oleh para pelaku usaha. Caranya, bertransformasi menjadi pelaku industri yang menghasilkan produk berkualitas hingga nantinya bisa dijual di situs jual beli.
"Kalau pelaku usaha kita tidak bertransformasi dari UKM menjadi IKM, e-commerce kita akan banyak diisi produk impor. Sekarang saja komposisinya lebih dominan impor. Berbeda dengan di China, di mana produk yang dijual Alibaba misalnya, lebih dominan produk dalam negeri mereka," ungkap dia.
Terang Rosihan, transformasi bisnis pelaku usaha dari offline menjadi online adalah tuntutan. Dalam dua tahun saja, e-commerce mampu mencatat pertumbuhan hingga 179%. Bisnis konvensional yang masih mengandalkan penjualan tatap muka, diperkirakan akan semakin terkikis.
"Memang ada pergeseran belanja ritel dari offline ke online, tetapi tidak terlalu besar, antara 2-7%. Sehingga, penjualan grosir seperti di Glodog dan Blok M, Jakarta, lesu. Itu pun bisa saja terjadi di beberapa pasar modern di Bandung," jelas dia.
Dia memperkirakan, bisnis e-commerce mencapai puncaknya antara 7-10 tahun ke depan. Berbagai penyedia situs jual beli onlinediperkirakan akan terus tumbuh, baik skala lokal atau regional. Bisnis e-commerce akan terus bertumbuh seiring perkembangan teknologi komunikasi.
Ketika disinggung masuknya investor asing ke sejumlah penyedia jasa jual beli online, dia mengaku tidak terlalu khawatir, selama produk yang dijual adalah produk dalam negeri. "Start up selalu membutuhkan investor, itu tidak bisa dibendung. Kalau investor lokal tidak ada yang mau berinvestasi, pasti mereka cari investor regional atau internasional," kata dia.
Sementara itu, salah satu pelaku bisnis online dari Perkakasku.com Handi Limidjaja mengatakan, kurangnya belanja secara langsung membuatnya tertantang berjualan online. "Kami mulai berjualan online sejak 2007 lalu. Sekarang, kami mencatat pertumbuhan penjualan hingga 20%," kata dia.
Ketua Bidang Edukasi Retail Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) Mohamad Rosihan mengatakan, pemerintah membuat roadmap bisnis e-commerce hingga 2020 sebesar 1.700 triliun. Angka tersebut diprediksi tercapai, seiring berkembangnya bisnis ini.
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika, transaksi e-commerce pada 2016 mencapai Rp440 triliun. Tumbuh signifikan dibanding 2013 yang hanya mencapai Rp112 triliun. "Artinya, masih ada ratusan triliun lagi yang bisa dimanfaatkan pada bidang usaha ini," kata Rosihan pada acara Kenduri e-UKM di Hotel Grand Asrilia, Bandung, Rabu (30/7/2017).
Menurut dia, peluang tersebut seharusnya bisa dimanfaatkan oleh para pelaku usaha. Caranya, bertransformasi menjadi pelaku industri yang menghasilkan produk berkualitas hingga nantinya bisa dijual di situs jual beli.
"Kalau pelaku usaha kita tidak bertransformasi dari UKM menjadi IKM, e-commerce kita akan banyak diisi produk impor. Sekarang saja komposisinya lebih dominan impor. Berbeda dengan di China, di mana produk yang dijual Alibaba misalnya, lebih dominan produk dalam negeri mereka," ungkap dia.
Terang Rosihan, transformasi bisnis pelaku usaha dari offline menjadi online adalah tuntutan. Dalam dua tahun saja, e-commerce mampu mencatat pertumbuhan hingga 179%. Bisnis konvensional yang masih mengandalkan penjualan tatap muka, diperkirakan akan semakin terkikis.
"Memang ada pergeseran belanja ritel dari offline ke online, tetapi tidak terlalu besar, antara 2-7%. Sehingga, penjualan grosir seperti di Glodog dan Blok M, Jakarta, lesu. Itu pun bisa saja terjadi di beberapa pasar modern di Bandung," jelas dia.
Dia memperkirakan, bisnis e-commerce mencapai puncaknya antara 7-10 tahun ke depan. Berbagai penyedia situs jual beli onlinediperkirakan akan terus tumbuh, baik skala lokal atau regional. Bisnis e-commerce akan terus bertumbuh seiring perkembangan teknologi komunikasi.
Ketika disinggung masuknya investor asing ke sejumlah penyedia jasa jual beli online, dia mengaku tidak terlalu khawatir, selama produk yang dijual adalah produk dalam negeri. "Start up selalu membutuhkan investor, itu tidak bisa dibendung. Kalau investor lokal tidak ada yang mau berinvestasi, pasti mereka cari investor regional atau internasional," kata dia.
Sementara itu, salah satu pelaku bisnis online dari Perkakasku.com Handi Limidjaja mengatakan, kurangnya belanja secara langsung membuatnya tertantang berjualan online. "Kami mulai berjualan online sejak 2007 lalu. Sekarang, kami mencatat pertumbuhan penjualan hingga 20%," kata dia.
(akr)