Rencana Pemerintah Impor LNG dari Singapura Dipertanyakan
A
A
A
BOGOR - Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mempertanyakan wacana pemerintah untuk mengimpor gas alam cair (liquified natural gas/LNG) dari Singapura. Kebijakan tersebut dinilai sebagai cara instan pemerintah dalam menekan harga gas bagi pelanggan industri.
Agus menyebut pada 2017 ini, kebutuhan industri akan gas bumi mencapai 2.280 MMSCFD. Gas tersebut sebagian besar diserap industri pupuk sebesar 791,22 MMSCFD dan petrokimia 295 MMSCFD (Million Standard Cubic Feet per Day).
"Sementara menurut Kementerian ESDM, produksi gas sampai 4 September 2017 itu sekitar 7.756 MMSCFD. Lalu mengapa harus impor?" ujarnya dalam acara Forum Diskusi Forwin di Cisarua, Bogor, Kamis (7/9/2017).
Agus menilai, pemerintah seharusnya fokus membedah dan memperbaiki marjin harga gas yang tinggi ketika sampai ke tangan pelanggan. Sebab, pelanggan memperoleh gas banyak melalui perusahaan perantara alias trader yang mengambil marjin tinggi.
"Trader gas ini sangat banyak dan punya power sangat besar sehingga sulit ditertibkan. Mudah-mudahan revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi melalui pipa bisa cepat selesai, sehingga harga bisa diturunkan," imbuh dia.
Menurutnya, setelah revisi peraturan tersebut diterbitkan, Menteri ESDM Ignasius Jonan tidak akan mengizinkan para trader mendapatkan perpanjangan kontrak pasokan gas. Kecuali trader tersebut membangun penampungan dan jaringan pipa gas ke konsumen.
"Menko Luhut juga seharusnya sudah tahu, kalau Indonesia sudah punya kontrak impor gas sebanyak 1,5 MTPA dengan perusahaan Amerika Serikat Corpus Christi mulai 2019 sampai 2041. Lalu ada pembahasan perjanjian jual beli dengan perusahaan Afrika Mozambique LNG sebanyak 1 MTPA mulai 2022 sampai 2041. Kalau masih impor juga dari Singapura, lantas gas dari kontrak ini siapa yang mau membeli?," terangnya.
Oleh karena itu, Agus menganggap opsi impor gas demi mengejar harga murah bagi pelanggan industri tidak dilakukan pemerintah. Pemerintah sebaiknya mengoptimalkan pasokan gas yang sudah ada sambil terus membangun infrastruktur transmisi dan distribusi gas sembari menertibkan para trader yang menguntungkan diri sendiri.
"Jangan sampai kebijakan impor gas justru merusak industri migas hulu dan hilir di Indonesia," tutur dia.
Senada dengannya, Divisi Head of Corporate Communication PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) Dessy Anggia menyatakan, untuk menekan harga gas di dalam negeri, pemerintah bisa melakukan rasionalisasi biaya distribusi gas dari hulu sampai ke pelanggan yang disalurkan melalui pipa gas.
"Masalah penjualan bertingkat, sampai marjin itu harus dibenahi. Kalau Indonesia terus bergantung pada penyediaan gas bumi dari impor, maka akan berdampak negatif bagi ketahanan energi nasional. Sementara masih ada surplus LNG domestik yang belum memiliki pembeli. Karena itu saya menilai impor gas saat ini belum tepat dilakukan," tandasnya.
Agus menyebut pada 2017 ini, kebutuhan industri akan gas bumi mencapai 2.280 MMSCFD. Gas tersebut sebagian besar diserap industri pupuk sebesar 791,22 MMSCFD dan petrokimia 295 MMSCFD (Million Standard Cubic Feet per Day).
"Sementara menurut Kementerian ESDM, produksi gas sampai 4 September 2017 itu sekitar 7.756 MMSCFD. Lalu mengapa harus impor?" ujarnya dalam acara Forum Diskusi Forwin di Cisarua, Bogor, Kamis (7/9/2017).
Agus menilai, pemerintah seharusnya fokus membedah dan memperbaiki marjin harga gas yang tinggi ketika sampai ke tangan pelanggan. Sebab, pelanggan memperoleh gas banyak melalui perusahaan perantara alias trader yang mengambil marjin tinggi.
"Trader gas ini sangat banyak dan punya power sangat besar sehingga sulit ditertibkan. Mudah-mudahan revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi melalui pipa bisa cepat selesai, sehingga harga bisa diturunkan," imbuh dia.
Menurutnya, setelah revisi peraturan tersebut diterbitkan, Menteri ESDM Ignasius Jonan tidak akan mengizinkan para trader mendapatkan perpanjangan kontrak pasokan gas. Kecuali trader tersebut membangun penampungan dan jaringan pipa gas ke konsumen.
"Menko Luhut juga seharusnya sudah tahu, kalau Indonesia sudah punya kontrak impor gas sebanyak 1,5 MTPA dengan perusahaan Amerika Serikat Corpus Christi mulai 2019 sampai 2041. Lalu ada pembahasan perjanjian jual beli dengan perusahaan Afrika Mozambique LNG sebanyak 1 MTPA mulai 2022 sampai 2041. Kalau masih impor juga dari Singapura, lantas gas dari kontrak ini siapa yang mau membeli?," terangnya.
Oleh karena itu, Agus menganggap opsi impor gas demi mengejar harga murah bagi pelanggan industri tidak dilakukan pemerintah. Pemerintah sebaiknya mengoptimalkan pasokan gas yang sudah ada sambil terus membangun infrastruktur transmisi dan distribusi gas sembari menertibkan para trader yang menguntungkan diri sendiri.
"Jangan sampai kebijakan impor gas justru merusak industri migas hulu dan hilir di Indonesia," tutur dia.
Senada dengannya, Divisi Head of Corporate Communication PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) Dessy Anggia menyatakan, untuk menekan harga gas di dalam negeri, pemerintah bisa melakukan rasionalisasi biaya distribusi gas dari hulu sampai ke pelanggan yang disalurkan melalui pipa gas.
"Masalah penjualan bertingkat, sampai marjin itu harus dibenahi. Kalau Indonesia terus bergantung pada penyediaan gas bumi dari impor, maka akan berdampak negatif bagi ketahanan energi nasional. Sementara masih ada surplus LNG domestik yang belum memiliki pembeli. Karena itu saya menilai impor gas saat ini belum tepat dilakukan," tandasnya.
(ven)