Percepatan Rumah MBR Terbentur Kebijakan Daerah
A
A
A
SURABAYA - Pengawasan pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) harus bisa diawasi dengan ketat. Sebab, banyak daerah yang belum bisa menerapkan kebijakan pemerintah pusat terkait percepatan pembangunan rumah MBR. Salah satunya dalam penerapan nilai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Apersi Jatim Soepratno menuturkan, pemerintah daerah sebenarnya memegang peranan penting untuk kelancaran program 1 juta rumah yang terus digeber oleh pemerintah pusat. Namun, beberapa kebijakan dari pemerintah pusat tak segera dijalankan untuk mempercepat pembangunan rumah MBR.
“Banyak pengembang yang akhirnya tak jadi membangun rumah MBR karena kebijakan di daerah. Harusnya ada pengawas dari pusat untuk memastikan penerapan kebijakan rumah murah bagi MBR,” ujar Soepratno, Selasa (19/9).
Ia melanjutkan, pendapatan daerah memang berkurang ketika BPHTB yang sebelumnya daerah dapat 5% turun menjadi 2,5%. Makanya sampai sekarang belum banyak pemerintah daerah yang menjalankan kebijakan tersebut. Makanya banyak kebijakan harus tertahan di daerah karena dianggap tak sejalan dengan konsep yang diusung oleh Pemda setempat.
“Memang perlu adanya monitoring yang dilakukan secara khusus, ini tentu akan membantu progress pembangunan rumah MBR. Langkah ini yang sebenarnya kami tunggu dari pemerintah untuk bisa memantau langsung kondisi di lapangan,” ucapnya.
Pada awal tahun, katanya, pihaknya sempat optimis untuk bisa membangun rumah MBR sesuai target. Pemerintah pun mulai bisa mengendalikan inflasi yang berdampak pada percepatan pembangunan rumah MBR. Makanya kemudahan di lapangan bisa diperoleh. Seperti pengajuan kredit kepemilikan rumah (KPR) sampai keringanan dalam pembayaran down payment (DP).
“Kami sempat optimis untuk merealisasi pembangunan 12.000 rumah bagi MBR yang tersebar di beberapa kabupaten/kota di Jatim sepanjang 2017 ini. Jumlah target realisasi tahun ini lebih banyak dari tahun sebelumnya yang mencapai 9.000 unit,” ungkapnya.
Sekretaris Jenderal DPP Real Estate Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida menuturkan, adanya Peraturan Pemerintah (PP) 64/2016 dan Permendagri Nomor 55/2017 tentang Pelaksanaan Perizinan dan Non-Perizinan Pembangunan Perumahan Bagi MBR di daerah dirasakan adanya bertentangan dengan peraturan pemerintah daerah.
Sampai saat ini, hanya Kota Jakarta saja yang telah menerapkan aturan PP 64 tentang MBR. Padahal, meskipun biaya BPHTB turun, tetapi sebenarnya dapat menggerakkan perekonomian, serta meningkatkan pendapatan daerah menjadi lebih tinggi.
“Kami akan menggandeng Kejaksaan Agung (Kejagung) agar pemerintah daerah mau menerapkan aturan PP tersebut yang diperuntukkan pembangunan perumahan bagi MBR ini,” jelasnya.
Ia menambahkan, ketika pemerintah pusat dan daerah bisa selaras, maka pelaksanaan di lapangan bisa dipercepat. Target pembangunan rumah MBR pun bisa dilaksanakan dengan tempo yang relatis singkat. “Kami percaya ada perubahan untuk mempercepat pembangunan rumah MBR,” katanya.
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Apersi Jatim Soepratno menuturkan, pemerintah daerah sebenarnya memegang peranan penting untuk kelancaran program 1 juta rumah yang terus digeber oleh pemerintah pusat. Namun, beberapa kebijakan dari pemerintah pusat tak segera dijalankan untuk mempercepat pembangunan rumah MBR.
“Banyak pengembang yang akhirnya tak jadi membangun rumah MBR karena kebijakan di daerah. Harusnya ada pengawas dari pusat untuk memastikan penerapan kebijakan rumah murah bagi MBR,” ujar Soepratno, Selasa (19/9).
Ia melanjutkan, pendapatan daerah memang berkurang ketika BPHTB yang sebelumnya daerah dapat 5% turun menjadi 2,5%. Makanya sampai sekarang belum banyak pemerintah daerah yang menjalankan kebijakan tersebut. Makanya banyak kebijakan harus tertahan di daerah karena dianggap tak sejalan dengan konsep yang diusung oleh Pemda setempat.
“Memang perlu adanya monitoring yang dilakukan secara khusus, ini tentu akan membantu progress pembangunan rumah MBR. Langkah ini yang sebenarnya kami tunggu dari pemerintah untuk bisa memantau langsung kondisi di lapangan,” ucapnya.
Pada awal tahun, katanya, pihaknya sempat optimis untuk bisa membangun rumah MBR sesuai target. Pemerintah pun mulai bisa mengendalikan inflasi yang berdampak pada percepatan pembangunan rumah MBR. Makanya kemudahan di lapangan bisa diperoleh. Seperti pengajuan kredit kepemilikan rumah (KPR) sampai keringanan dalam pembayaran down payment (DP).
“Kami sempat optimis untuk merealisasi pembangunan 12.000 rumah bagi MBR yang tersebar di beberapa kabupaten/kota di Jatim sepanjang 2017 ini. Jumlah target realisasi tahun ini lebih banyak dari tahun sebelumnya yang mencapai 9.000 unit,” ungkapnya.
Sekretaris Jenderal DPP Real Estate Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida menuturkan, adanya Peraturan Pemerintah (PP) 64/2016 dan Permendagri Nomor 55/2017 tentang Pelaksanaan Perizinan dan Non-Perizinan Pembangunan Perumahan Bagi MBR di daerah dirasakan adanya bertentangan dengan peraturan pemerintah daerah.
Sampai saat ini, hanya Kota Jakarta saja yang telah menerapkan aturan PP 64 tentang MBR. Padahal, meskipun biaya BPHTB turun, tetapi sebenarnya dapat menggerakkan perekonomian, serta meningkatkan pendapatan daerah menjadi lebih tinggi.
“Kami akan menggandeng Kejaksaan Agung (Kejagung) agar pemerintah daerah mau menerapkan aturan PP tersebut yang diperuntukkan pembangunan perumahan bagi MBR ini,” jelasnya.
Ia menambahkan, ketika pemerintah pusat dan daerah bisa selaras, maka pelaksanaan di lapangan bisa dipercepat. Target pembangunan rumah MBR pun bisa dilaksanakan dengan tempo yang relatis singkat. “Kami percaya ada perubahan untuk mempercepat pembangunan rumah MBR,” katanya.
(akr)