Inflasi, Kestabilan Rupiah dan Penopang Pertumbuhan Ekonomi
A
A
A
JAKARTA - Kestabilan nilai tukar rupiah masih menjadi dasar dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang sehat, berkesinambungan, seimbang dan inklusif. Bank Indonesia (BI) senantiasa menjaga kestabilan rupiah sesuai dengan fundamentalnya.
"Kita tidak ingin pembangunan yang kuat saat ini, tetapi esok bisa jatuh. Kita tidak ingin pembangunan yang membuat jarak antara yang kaya dan yang miskin semakin lebar jaraknya,” ujar Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (21/9/2017).
Lebih lanjut Ia menjelaskan mengenai fungsi dan tugas BI dalam menjaga nilai tukar dalam tiga pilar, yakni kebijakan moneter, pengaturan sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan. Dalam kebijakan moneter bauran kebijakan yang dilakukan dalam menjaga inflasi yang terus membaik dalam beberapa tahun terakhir.
“Kami mengharapkan Indonesia bisa masuk menjadi negara dengan inflasi rendah dan stabil,” ujarnya.
Bila dibandingkan dengan negara tetangga, inflasi Indonesia dalam enam tahun terakhir masih berada pada rata-rata 5,2%, lebih tinggi dengan Filipina di bawah 3%, maupun Malaysia dan Thailand di kisaran 2%.
Dia menambahkan tingginya rata-rata inflasi karena terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang menyebabkan inflasi tahunan pada 2013 dan 2014 menembus 8,3%. “Namun 2017 inflasi terjaga pada level 4% dan pada 2018 kita menargetkan inflasi pada kisaran 3,5%,” terang Agus.
Menurutnya Indonesia harus mewaspadai ancaman global terhadap ekonomi. Ancaman utama adalah pembalikan modal atau capital reversal akibat kenaikan The Fed Fund Rate setelah ekonomi Amerika Serikat mengalami pemulihan.
Selain itu, tutur Agus perlu juga diwaspadai bila The Fed mengurangi neraca (balance sheet) surat utang yang dapat mengakibatkan kenaikan nilai Dolar Amerika Serikat (USD). “Kita juga perlu mewaspadai penurunan kinerja perusahaan ritel, penurunan nilai tukar petani, penurunan pendapatan buruh. Kita harus mewaspadai ini dan perlu disikapi pada sisi fiskal,” ujarnya.
"Kita tidak ingin pembangunan yang kuat saat ini, tetapi esok bisa jatuh. Kita tidak ingin pembangunan yang membuat jarak antara yang kaya dan yang miskin semakin lebar jaraknya,” ujar Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (21/9/2017).
Lebih lanjut Ia menjelaskan mengenai fungsi dan tugas BI dalam menjaga nilai tukar dalam tiga pilar, yakni kebijakan moneter, pengaturan sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan. Dalam kebijakan moneter bauran kebijakan yang dilakukan dalam menjaga inflasi yang terus membaik dalam beberapa tahun terakhir.
“Kami mengharapkan Indonesia bisa masuk menjadi negara dengan inflasi rendah dan stabil,” ujarnya.
Bila dibandingkan dengan negara tetangga, inflasi Indonesia dalam enam tahun terakhir masih berada pada rata-rata 5,2%, lebih tinggi dengan Filipina di bawah 3%, maupun Malaysia dan Thailand di kisaran 2%.
Dia menambahkan tingginya rata-rata inflasi karena terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang menyebabkan inflasi tahunan pada 2013 dan 2014 menembus 8,3%. “Namun 2017 inflasi terjaga pada level 4% dan pada 2018 kita menargetkan inflasi pada kisaran 3,5%,” terang Agus.
Menurutnya Indonesia harus mewaspadai ancaman global terhadap ekonomi. Ancaman utama adalah pembalikan modal atau capital reversal akibat kenaikan The Fed Fund Rate setelah ekonomi Amerika Serikat mengalami pemulihan.
Selain itu, tutur Agus perlu juga diwaspadai bila The Fed mengurangi neraca (balance sheet) surat utang yang dapat mengakibatkan kenaikan nilai Dolar Amerika Serikat (USD). “Kita juga perlu mewaspadai penurunan kinerja perusahaan ritel, penurunan nilai tukar petani, penurunan pendapatan buruh. Kita harus mewaspadai ini dan perlu disikapi pada sisi fiskal,” ujarnya.
(akr)