Operator RTGC Harus Masuk Core Bisnis Pengusaha Terminal Petikemas
A
A
A
JAKARTA - Mengacu pada UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, Operator RTGC (crane lapangan petikemas) adalah termasuk ke dalam core business. Pekerjaan tersebut merupakan jenis pekerjaan yang terus menerus dan bila dihentikan, maka kegiatan proses produksi jasa akan berhenti dan berada di jalur inti aktivitas pelabuhan. Sehingga, jelas termasuk dalam core business Pelindo II.
Namun, dengan beralasan mengacu kepada Permenaker No 19/2012, asosiasi pengusaha terminal petikemas (APTPI) yang terdiri dari Jakarta International Container Terminal (JICT), TPK Koja dan beberapa perusahaan sejenis memutuskan bahwa Operator RTGC merupakan jenis pekerjan yang dapat dioutsourcingkan.
Dengan demikian, mereka secara sepihak membuat keputusan bahwa Operator RTGC bukan suatu pekerjaan yang bersifat terus menerus dan berada di jalur produksi inti. Artinya, keputusan ini dapat dikategorikan sebagai tindakan mengelabui dan penyelundupan hukum Indonesia. (APTPI sendiri, diduga terindikasi kuat berafiliasi kepada kepentingan Hutchison di Indonesia dalam mengelola pelabuhan)
Pelindo II seharusnya melakukan pelurusan aturan di internal termasuk di seluruh anak perusahaan, sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Namun, alih-alih mengevaluasi aturan yang tidak tepat tersebut, RJ Lino (Mantan Dirut Pekindo II) dan Albert Pang (warga negara Hong Kong, Mantan Dirut JICT), membuat kesepakatan yang tertuang dalam berita acara.
Isinya, "mengoutsourcingkan" 200 pekerja tetap Pelindo II menjadi operator RTGC. Dengan semua pembiayaan dibebankan kepada JICT. Akibatnya JICT harus mengeluarkan biaya sekitar 90 M per tahun.
"Pelindo II bukan Perusahaan Penyalur Jasa Tenaga Kerja (PPJP). Penempatan karyawan tetap Pelindo II sebagai pegawai outsourcing di JICT, bukan suatu keputusan yang benar secara hukum," ujar Anggota Komisi VI DPR RI Bidang Industri, Perdagangan dan BUMN Rieke Diah Pitaloka lewat keterangan resminya di Jakarta, Kamis (21/9/2017).
Ia menambahkan apalagi, sebetulnya di JICT sendiri ada karyawan terlatih yang saat ini mampu dan telah bekerja sebagai operator RTGC. Anehnya, terang dia Pelindo II bukan memperjuangkan status operator RTGC dari JICT sebagai karyawan tetap di anak perusahaannya tersebut, malah berkolaborasi dengan Hutchinson menggugat ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara.
Pihak Pelindo II dan Hutchison selaku pemegang saham menggugat 4 pekerja JICT dengan jabatan Duty Manager, PT Empco -anak perusahaan koperasi karyawan JICT- selaku vendor atau PPJP PT JICT dan Serikat Pekerja PT JICT, dengan tuntutan agar pihak JICT mengembalikan karyawan tetap Pelindo II kembali bekerja di JICT sebagai pekerja outsorcing operator RTGC. Lebih anehnya lagi Pelindo II dan Hutchinson menuntut para pihak yang mereka gugat tersebut membayar ganti rugi senilai Rp134 Miliar.
"Saya menilai tuntutan tersebut terindikasi mengada-ada. Selain itu, dalam sistem hukum Indonesia konflik hubungan industrial lebih diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial sesuai UU No. 2/2004, bukan di Pengadilan Negeri dengan delik per data," ungkap Riekie.
"Saya mendukung dan masih percaya para penegak hukum di PN Jakarta Pusat tetap memiliki rasa keadilan yang berpijak pada hukum dan kepentingan nasional. Saya percaya, hakim yang ditugaskan menangani perkara ini tidak akan "terbeli", dan tidak akan terjebak "jual beli perkara". Saya juga memohon dukungan Komisi Yudisial untuk ikut mengawasi perkara ini," sambungnya.
Lebih lanjut Rieke mengatakan, apabila hakim PN Jakarta Utara malah memutuskan mengabulkan tuntutan pihak Pelindo II dan Hutchinson selaku pemegang saham PT JICT, maka 168 operator RTGC di JICT dipastikan akan kehilangan pekerjaan dan para tergugat diwajibkan membayar ganti kerugian atas suatu tindakan yang sebenarnya bukan kesalahan para tergugat.
Hal itu menurutnya dapat menjadi preseden yang tidak baik dalam penegakkan hukum di Indonesia yang seolah tergerus pragmatisme dan tunduk pada kepentingan kapital. "Sekali lagi, saya memohon dukungan semua pihak untuk ikut mengawal dan mendukung ditegakkannya hukum yang berkeadilan, sesuai hukum Indonesia yang berorientasi pada kepentingan nasional Republik Indonesia," tegasnya.
Namun, dengan beralasan mengacu kepada Permenaker No 19/2012, asosiasi pengusaha terminal petikemas (APTPI) yang terdiri dari Jakarta International Container Terminal (JICT), TPK Koja dan beberapa perusahaan sejenis memutuskan bahwa Operator RTGC merupakan jenis pekerjan yang dapat dioutsourcingkan.
Dengan demikian, mereka secara sepihak membuat keputusan bahwa Operator RTGC bukan suatu pekerjaan yang bersifat terus menerus dan berada di jalur produksi inti. Artinya, keputusan ini dapat dikategorikan sebagai tindakan mengelabui dan penyelundupan hukum Indonesia. (APTPI sendiri, diduga terindikasi kuat berafiliasi kepada kepentingan Hutchison di Indonesia dalam mengelola pelabuhan)
Pelindo II seharusnya melakukan pelurusan aturan di internal termasuk di seluruh anak perusahaan, sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Namun, alih-alih mengevaluasi aturan yang tidak tepat tersebut, RJ Lino (Mantan Dirut Pekindo II) dan Albert Pang (warga negara Hong Kong, Mantan Dirut JICT), membuat kesepakatan yang tertuang dalam berita acara.
Isinya, "mengoutsourcingkan" 200 pekerja tetap Pelindo II menjadi operator RTGC. Dengan semua pembiayaan dibebankan kepada JICT. Akibatnya JICT harus mengeluarkan biaya sekitar 90 M per tahun.
"Pelindo II bukan Perusahaan Penyalur Jasa Tenaga Kerja (PPJP). Penempatan karyawan tetap Pelindo II sebagai pegawai outsourcing di JICT, bukan suatu keputusan yang benar secara hukum," ujar Anggota Komisi VI DPR RI Bidang Industri, Perdagangan dan BUMN Rieke Diah Pitaloka lewat keterangan resminya di Jakarta, Kamis (21/9/2017).
Ia menambahkan apalagi, sebetulnya di JICT sendiri ada karyawan terlatih yang saat ini mampu dan telah bekerja sebagai operator RTGC. Anehnya, terang dia Pelindo II bukan memperjuangkan status operator RTGC dari JICT sebagai karyawan tetap di anak perusahaannya tersebut, malah berkolaborasi dengan Hutchinson menggugat ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara.
Pihak Pelindo II dan Hutchison selaku pemegang saham menggugat 4 pekerja JICT dengan jabatan Duty Manager, PT Empco -anak perusahaan koperasi karyawan JICT- selaku vendor atau PPJP PT JICT dan Serikat Pekerja PT JICT, dengan tuntutan agar pihak JICT mengembalikan karyawan tetap Pelindo II kembali bekerja di JICT sebagai pekerja outsorcing operator RTGC. Lebih anehnya lagi Pelindo II dan Hutchinson menuntut para pihak yang mereka gugat tersebut membayar ganti rugi senilai Rp134 Miliar.
"Saya menilai tuntutan tersebut terindikasi mengada-ada. Selain itu, dalam sistem hukum Indonesia konflik hubungan industrial lebih diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial sesuai UU No. 2/2004, bukan di Pengadilan Negeri dengan delik per data," ungkap Riekie.
"Saya mendukung dan masih percaya para penegak hukum di PN Jakarta Pusat tetap memiliki rasa keadilan yang berpijak pada hukum dan kepentingan nasional. Saya percaya, hakim yang ditugaskan menangani perkara ini tidak akan "terbeli", dan tidak akan terjebak "jual beli perkara". Saya juga memohon dukungan Komisi Yudisial untuk ikut mengawasi perkara ini," sambungnya.
Lebih lanjut Rieke mengatakan, apabila hakim PN Jakarta Utara malah memutuskan mengabulkan tuntutan pihak Pelindo II dan Hutchinson selaku pemegang saham PT JICT, maka 168 operator RTGC di JICT dipastikan akan kehilangan pekerjaan dan para tergugat diwajibkan membayar ganti kerugian atas suatu tindakan yang sebenarnya bukan kesalahan para tergugat.
Hal itu menurutnya dapat menjadi preseden yang tidak baik dalam penegakkan hukum di Indonesia yang seolah tergerus pragmatisme dan tunduk pada kepentingan kapital. "Sekali lagi, saya memohon dukungan semua pihak untuk ikut mengawal dan mendukung ditegakkannya hukum yang berkeadilan, sesuai hukum Indonesia yang berorientasi pada kepentingan nasional Republik Indonesia," tegasnya.
(akr)