Generation Cleansing
A
A
A
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
BEBERAPA waktu lalu, tepatnya pada 27 September, saya diminta membahas buku Milenial Nusantara (Gramedia Pustaka Utama, 2017) karya teman lama saya, Hasanuddin Ali di Wisma Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Diskusi tersebut membahas tema yang lagi hot, yaitu perilaku dan budaya kerja generasi muda milenial. Dalam diskusi tersebut terungkap bahwa generasi milenial dan neomilenial (Generation-Z) memiliki karakteristik dan perilaku yang sama sekali berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, yaitu Generation-X dan Baby Boomers.
Dengan ada perkembangan teknologi digital yang begitu cepat mengikuti deret ukur, terdapat ”keterputusan” antara generasi ini dengan generasi-generasi sebelumnya. Saya menyebutnya: ”generation cut-off”.
”Pembersihan”
Di penghujung diskusi, ada seorang pejabat di Kementerian Pemuda dan Olahraga yang mengajukan pertanyaan yang sekaligus mengekspresikan kegundahannya selama ini: ”Pak Yuswo, kami yang tua-tua ini tak bisa mengikuti pola pikir dan kecepatan gerak anak-anak muda milenial, sementara kementerian ini harus menyusun kebijakan dan program-program untuk mereka. Apa saran Bapak?” Begitu kira-kira pertanyaan si pejabat.
Saran saya barangkali mengejutkan si pejabat karena sangat menohok dan ”tak kenal sopan-santun” karena membahayakan kedudukan yang bersangkutan. Begini jawaban saya: ”Solusi cepatnya adalah berhentikan seluruh unsur pimpinan dan pejabat dari Generation-X dan Baby Boomers, lalu ganti mereka semua dengan anak-anak muda dari generasi milenial.”
Tentu saja saran saya itu tak bakal diindahkan oleh si pejabat atau Pak Menteri Pemuda dan Olahraga. Tapi, saya tidak main-main dengan jawaban tersebut.
Sesungguhnya itulah tantangan terbesar yang dihadapi oleh organisasi baik korporasi maupun pemerintahan di seluruh dunia saat ini ketika mereka harus berhadapan dengan perubahan ekstrem yang kita kenal luas sebagai: disrupsi digital.
Kenapa banyak korporasi besar (incumbent) tidak memiliki kelincahan (agility) yang cukup sehingga ”mati kutu” menghadapi start-up (Go-Jek, Traveloka, Kitabisa.com) yang dirintis dan dijalankan oleh anak-anak muda milenial?
Kenapa para pemain besar bermindset lama tersebut ”gagal paham” menghadapi guncangan disrupsi digital? Jawabannya saya simpel, karena sebagian besar posisi-posisi kunci (CEO, direktur, kadiv, general manager ) di perusahaan-perusahaan tersebut masih dipegang oleh orang-orang dari Generation-X, bahkan Baby Boomers.
Padahal, disrupsi digital adalah ”mainan”-nya generasi milenial/neomilenial sehingga tak heran jika orang-orang dari Generation-X dan Baby Boomers ”ora nyandak pikirane ” dalam memahami fenomena disrupsi digital.
Karena itu, solusi cesplengnya adalah ”membersihkan” anggota manajemen dari Generation-X dan Baby Boomers karena kini mereka menjadi ”liability” bagi organisasi karena mindset mereka yang sudah tak relevan lagi dengan lingkungan bisnis baru yang disruptif. Don-Dont underestimate mind-set! Budaya perusahaan berpangkal dari mindset. Strategi bermula dari mindset.
Eksekusi dan aksi berawal dari mindset. Mindset lama itulah yang memicu kehancuran organisasi yang mereka pimpin. Saya menyebutnya ”generation cleansing”, yaitu pembersihan anggota manajemen perusahaan/pemerintahan yang berasal dari Generation-X dan Baby Boomers.
Masalah Orang, Bukan Model Bisnis
Pertanyaannya, kenapa harus melakukan cara ekstrem ”membilas” anggota manajemen dari Generation-X dan Baby Boomers dan menggantikannya dengan generasi milenial/ neomilenial)? Banyak analisis mengatakan, perusahaan incumbent tak mampu survive menghadapi disrupsi digital karena mereka tak mampu secara cepat menghasilkan model bisnis yang bisa mendisrupsi pasar dan industri. Namun, kalau kita telusuri lebih jauh, siapa yang menciptakan model bisnis disruptif dan mampu mengeksekusinya secara cepat?
Jawabnya adalah: orang. Atau dalam konteks organisasi, para pemimpin (leader) di seluruh level organisasi. Jadi, masalah disrupsi digital adalah masalah orang, bukan sebatas masalah model bisnis!
Masalahnya adalah, karena perusahaan incumbent (yang lahir dan berjaya di era Generation- X dan Baby Boomers) tak cukup memiliki para leaders yang lincah (agile) mencipta dan mengeksekusi sebuah model bisnis disruptif.
Survei terbaru McKinsey Global Institute yang terbit bulan ini (”How to Create Agile Organization”, McKinsey Quarterly , Oktober, 2017) menyimpulkan, sebuah organisasi tak mampu survive di tengah disrupsi digital karena mereka tak memiliki cara kerja karyawan yang lincah: ”...companies have not yet fully implemented agile ways of working, eithercompany-wideorintheperformance units where they work.”
Berbicara mengenai ”agile ways of working”, kita bicara pola pikir (mindset), nilai-nilai (values) dan perilaku (behavior). Itu tak lain adalah budaya kerja (corporate culture). Nah, celakanya, budaya kerja itu tidak bisa diubah dalam semalam.
Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengubah dan membentuknya. Seperti saya bilang di depan, disrupsi digital adalah domainnya generasi milenial/neomilenial. By-default budaya kerja generasi milenial/neomilenial adalah budaya kerja yang ”fit” dengan lingkungan bisnis yang disruptif.
Lalu, bagaimana dengan generasi sebelumnya yaitu Generation-X, apalagi Baby Boomers? By-default, budaya kerja mereka adalah budaya kerja lama yang tidak fit lagi dengan lingkungan bisnis disruptif. Kalau tidak fit, lalu apa yang harus dilakukan? Ya, mau enggak mau mengubah dan membentuknya agar menjadi fit. Tapi, celakanya, seperti saya bilang di depan, membentuk budaya tidak bisa semalam, butuh waktu bertahun-tahun.
Ketika organisasi sedang sibuk mengubah dan membentuk budaya kerja para leaders dan karyawannya, disrupsi digital yang bergerak secara eksponensial sudah keburu meluluhlantakkan organisasi mereka. Itu sebabnya saya berargumentasi, cara tercepat dan teraman untuk lolos dari disrupsi adalah melakukan ”generation cleansing”. Sakit memang.
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
BEBERAPA waktu lalu, tepatnya pada 27 September, saya diminta membahas buku Milenial Nusantara (Gramedia Pustaka Utama, 2017) karya teman lama saya, Hasanuddin Ali di Wisma Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Diskusi tersebut membahas tema yang lagi hot, yaitu perilaku dan budaya kerja generasi muda milenial. Dalam diskusi tersebut terungkap bahwa generasi milenial dan neomilenial (Generation-Z) memiliki karakteristik dan perilaku yang sama sekali berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, yaitu Generation-X dan Baby Boomers.
Dengan ada perkembangan teknologi digital yang begitu cepat mengikuti deret ukur, terdapat ”keterputusan” antara generasi ini dengan generasi-generasi sebelumnya. Saya menyebutnya: ”generation cut-off”.
”Pembersihan”
Di penghujung diskusi, ada seorang pejabat di Kementerian Pemuda dan Olahraga yang mengajukan pertanyaan yang sekaligus mengekspresikan kegundahannya selama ini: ”Pak Yuswo, kami yang tua-tua ini tak bisa mengikuti pola pikir dan kecepatan gerak anak-anak muda milenial, sementara kementerian ini harus menyusun kebijakan dan program-program untuk mereka. Apa saran Bapak?” Begitu kira-kira pertanyaan si pejabat.
Saran saya barangkali mengejutkan si pejabat karena sangat menohok dan ”tak kenal sopan-santun” karena membahayakan kedudukan yang bersangkutan. Begini jawaban saya: ”Solusi cepatnya adalah berhentikan seluruh unsur pimpinan dan pejabat dari Generation-X dan Baby Boomers, lalu ganti mereka semua dengan anak-anak muda dari generasi milenial.”
Tentu saja saran saya itu tak bakal diindahkan oleh si pejabat atau Pak Menteri Pemuda dan Olahraga. Tapi, saya tidak main-main dengan jawaban tersebut.
Sesungguhnya itulah tantangan terbesar yang dihadapi oleh organisasi baik korporasi maupun pemerintahan di seluruh dunia saat ini ketika mereka harus berhadapan dengan perubahan ekstrem yang kita kenal luas sebagai: disrupsi digital.
Kenapa banyak korporasi besar (incumbent) tidak memiliki kelincahan (agility) yang cukup sehingga ”mati kutu” menghadapi start-up (Go-Jek, Traveloka, Kitabisa.com) yang dirintis dan dijalankan oleh anak-anak muda milenial?
Kenapa para pemain besar bermindset lama tersebut ”gagal paham” menghadapi guncangan disrupsi digital? Jawabannya saya simpel, karena sebagian besar posisi-posisi kunci (CEO, direktur, kadiv, general manager ) di perusahaan-perusahaan tersebut masih dipegang oleh orang-orang dari Generation-X, bahkan Baby Boomers.
Padahal, disrupsi digital adalah ”mainan”-nya generasi milenial/neomilenial sehingga tak heran jika orang-orang dari Generation-X dan Baby Boomers ”ora nyandak pikirane ” dalam memahami fenomena disrupsi digital.
Karena itu, solusi cesplengnya adalah ”membersihkan” anggota manajemen dari Generation-X dan Baby Boomers karena kini mereka menjadi ”liability” bagi organisasi karena mindset mereka yang sudah tak relevan lagi dengan lingkungan bisnis baru yang disruptif. Don-Dont underestimate mind-set! Budaya perusahaan berpangkal dari mindset. Strategi bermula dari mindset.
Eksekusi dan aksi berawal dari mindset. Mindset lama itulah yang memicu kehancuran organisasi yang mereka pimpin. Saya menyebutnya ”generation cleansing”, yaitu pembersihan anggota manajemen perusahaan/pemerintahan yang berasal dari Generation-X dan Baby Boomers.
Masalah Orang, Bukan Model Bisnis
Pertanyaannya, kenapa harus melakukan cara ekstrem ”membilas” anggota manajemen dari Generation-X dan Baby Boomers dan menggantikannya dengan generasi milenial/ neomilenial)? Banyak analisis mengatakan, perusahaan incumbent tak mampu survive menghadapi disrupsi digital karena mereka tak mampu secara cepat menghasilkan model bisnis yang bisa mendisrupsi pasar dan industri. Namun, kalau kita telusuri lebih jauh, siapa yang menciptakan model bisnis disruptif dan mampu mengeksekusinya secara cepat?
Jawabnya adalah: orang. Atau dalam konteks organisasi, para pemimpin (leader) di seluruh level organisasi. Jadi, masalah disrupsi digital adalah masalah orang, bukan sebatas masalah model bisnis!
Masalahnya adalah, karena perusahaan incumbent (yang lahir dan berjaya di era Generation- X dan Baby Boomers) tak cukup memiliki para leaders yang lincah (agile) mencipta dan mengeksekusi sebuah model bisnis disruptif.
Survei terbaru McKinsey Global Institute yang terbit bulan ini (”How to Create Agile Organization”, McKinsey Quarterly , Oktober, 2017) menyimpulkan, sebuah organisasi tak mampu survive di tengah disrupsi digital karena mereka tak memiliki cara kerja karyawan yang lincah: ”...companies have not yet fully implemented agile ways of working, eithercompany-wideorintheperformance units where they work.”
Berbicara mengenai ”agile ways of working”, kita bicara pola pikir (mindset), nilai-nilai (values) dan perilaku (behavior). Itu tak lain adalah budaya kerja (corporate culture). Nah, celakanya, budaya kerja itu tidak bisa diubah dalam semalam.
Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengubah dan membentuknya. Seperti saya bilang di depan, disrupsi digital adalah domainnya generasi milenial/neomilenial. By-default budaya kerja generasi milenial/neomilenial adalah budaya kerja yang ”fit” dengan lingkungan bisnis yang disruptif.
Lalu, bagaimana dengan generasi sebelumnya yaitu Generation-X, apalagi Baby Boomers? By-default, budaya kerja mereka adalah budaya kerja lama yang tidak fit lagi dengan lingkungan bisnis disruptif. Kalau tidak fit, lalu apa yang harus dilakukan? Ya, mau enggak mau mengubah dan membentuknya agar menjadi fit. Tapi, celakanya, seperti saya bilang di depan, membentuk budaya tidak bisa semalam, butuh waktu bertahun-tahun.
Ketika organisasi sedang sibuk mengubah dan membentuk budaya kerja para leaders dan karyawannya, disrupsi digital yang bergerak secara eksponensial sudah keburu meluluhlantakkan organisasi mereka. Itu sebabnya saya berargumentasi, cara tercepat dan teraman untuk lolos dari disrupsi adalah melakukan ”generation cleansing”. Sakit memang.
(dmd)