DEN Minta Insentif Fiskal untuk Pencampuran BBM dan Etanol
A
A
A
JAKARTA - Dewan Energi Nasional (DEN) mengharapkan adanya insentif fiskal dari Kementerian Keuangan (Kemeneku) untuk mendukung program pencampuran bahan bakar minyak (BBM) dengan bioetanol.
(Baca Juga: Pemda Harus Rampungkan Penyusunan RUED hingga Akhir 2017)
Sekretaris Jenderal DEN Saleh Abdulrrahman mengatakan, salah satu kendala belum tercampurnya etanol dengan bensin karena harga yang tinggi. Dia menyebut harga etanol lebih mahal sekitar Rp1.000 sampai Rp2.000 dibanding Pertamax 92.
"Jadi harga bio etanol lebih tinggi daripada harga jual Pertamax sekarang. Jadi kalau misalnya Pertamina jual bio pertamax dia harus nambahin cost," katanya di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (12/10/2017).
Selain itu, sambung dia, perlu kajian teknis dan dukungan dari berbagai pihak yang terkait dengan pelaksanaan pencampuran bensin dengan minyak tebu tersebut.
"Untuk implementasi E2 (campuran ethanol 2%) dan seterusnya itu perlu ada kajian integrasi tidak hanya pemerintah, tapi ada Hiswana (Himpunan Wiraswata Minyak dan gas), Gaikindo, sehingga dari sisi engine selesai," imbuh dia.
Anggota DEN Syamsir Abduh menambahkan, insentif tersebut bisa berupa pembebasan bea keluar dan memberi kategori khusus etanol untuk campuran bahan bakar. Pasalnya, saat ini bioetanol sebagai bahan pembuatan minuman beralkohol, sehingga dikenakan cukai yang cukup tinggi.
"Perlunya mempertimbangkan pengaturan cukai. supaya tidak terjadi kontradiktif, dipertimbangkan betul untuk fuel grade pengaturaan cukuainya ditinjau ulang. Menteri Keuangan sebagai anggota DEN diharapkan untuk mempertimbangkan insentif jika etanol yang 5% diterapkan, terutama terkait bea masuk," ujarnya.
(Baca Juga: Pemda Harus Rampungkan Penyusunan RUED hingga Akhir 2017)
Sekretaris Jenderal DEN Saleh Abdulrrahman mengatakan, salah satu kendala belum tercampurnya etanol dengan bensin karena harga yang tinggi. Dia menyebut harga etanol lebih mahal sekitar Rp1.000 sampai Rp2.000 dibanding Pertamax 92.
"Jadi harga bio etanol lebih tinggi daripada harga jual Pertamax sekarang. Jadi kalau misalnya Pertamina jual bio pertamax dia harus nambahin cost," katanya di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (12/10/2017).
Selain itu, sambung dia, perlu kajian teknis dan dukungan dari berbagai pihak yang terkait dengan pelaksanaan pencampuran bensin dengan minyak tebu tersebut.
"Untuk implementasi E2 (campuran ethanol 2%) dan seterusnya itu perlu ada kajian integrasi tidak hanya pemerintah, tapi ada Hiswana (Himpunan Wiraswata Minyak dan gas), Gaikindo, sehingga dari sisi engine selesai," imbuh dia.
Anggota DEN Syamsir Abduh menambahkan, insentif tersebut bisa berupa pembebasan bea keluar dan memberi kategori khusus etanol untuk campuran bahan bakar. Pasalnya, saat ini bioetanol sebagai bahan pembuatan minuman beralkohol, sehingga dikenakan cukai yang cukup tinggi.
"Perlunya mempertimbangkan pengaturan cukai. supaya tidak terjadi kontradiktif, dipertimbangkan betul untuk fuel grade pengaturaan cukuainya ditinjau ulang. Menteri Keuangan sebagai anggota DEN diharapkan untuk mempertimbangkan insentif jika etanol yang 5% diterapkan, terutama terkait bea masuk," ujarnya.
(izz)