Memberi Kepercayaan, Membangun Soliditas Tim
A
A
A
Booming pariwisata memunculkan peluang baru bagi perusahaan yang sebelumnya bergerak di bisnis inti nonpariwisata. Melalui Helicity, CEO Whitesky Aviation Denon Prawiraatmadja, mendorong transportasi helikopter untuk wisata yang terjangkau bagi masyarakat.
Bagi Denon, salah satu pencapaian besar adalah tatkala bisa membeli helikopter dengan struktur biaya yang bisa diserap pasar. Namun, di balik pencapaian itu juga ada kerja tim yang solid. Bahwa sukses yang dituai adalah buah kerja tim, bukan perorangan. Denon juga menekankan pentingnya attitude.
Mengapa? Berikut petikan wawancara KORAN SINDO dengan alumnus Universitas Trisakti itu:
Bisa diceritakan bisnis inti dari Whitesky Aviation?
Whitesky Aviation, sebagaimana operator charter lainnya, fokusnya lebih ke bisnis berbasis kontrak. Kode AOC 135 mengacu kepada penerbangan tidak berjadwal dan kapasitas tempat duduk di bawah 70 seat. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kami masih ada kontrak dengan perusahaan minyak, perkebunan, medical evacuation (medivac), terutama di Kalimantan dan Sulawesi.
Beberapa charter kami juga banyak yang ditujukan untuk kegiatan bisnis dari perusahaan Jepang, China, Korea Selatan, karena mereka ada pabrik di Cikampek, Bandung, dan lain-lain.
Seberapa banyak pemain di bisnis charter ini?
Pada 2011 pemainnya tidak terlalu banyak karena memang dibatasi jumlah operatornya. Sekarang yang terdaftar di asosiasi (Inaca) ada 18, di luar asosiasi ada 16.
Prospeknya bagaimana?
Indonesia negara penghasil kekayaan alam dan negaranya berbentuk kepulauan. Saya melihat prospeknya jauh lebih baik daripada negara yang relatif lebih kecil di Asia, atau yang daratan seperti Australia. Lagi pula, Indonesia masih belum cukup populer untuk penerbangan charter. Jadi, prospeknya masih sangat banyak. Saat ini umumnya charter di Indonesia melayani korporasi seperti pertambangan dan perkebunan.
Prospek lain di area mana?
Di Indonesia, penerbangan charter yang populer memang hanya untuk perusahaan, belum masuk ke area konsumen perseorangan atau ritel karena memang pasarnya belum siap. Tapi, dari sisi jenis layanannya cukup banyak.
Yang sudah dilayani baru kegiatan operasional untuk pertambangan, perkebunan, medivac. Adapun yang belum dilayani untuk pariwisata, kedaruratan atau emergency medical services (EMS), dan Helicity atau taksi udara. Inilah yang menjadi program kami untuk bisa mengisi potensi pendapatan.
Apa yang menyebabkan pasar belum siap?
Harga helikopter rata-rata hampir Rp50 miliar. Dengan armada senilai tersebut, saya melihat pasarnya belum siap untuk bisa menggunakan layanan ini. Itu 2-3 tahun lalu.
Tapi kemudian dengan kondisi produksi dan harga minyak yang turun, ditambah kebijakan pemerintah untuk tidak mengekspor mineral mentah, dampaknya penggunaan jasa charter menurun. Sehingga kami pelaku industrinya dituntut berpikir kreatif dengan menawarkan jasa ke selain korporasi.
Dari mana datangnya ide untuk melebarkan bisnis ke segmen ritel?
Melalui asosiasi internasional untuk charter, saya dipertemukan dengan beberapa pelaku bisnis di Brasil. Brasil adalah negara dengan helitaxi terbesar di dunia, jumlahnya mencapai 2.000 helikopter, di Indonesia belum sampai 200 unit. Saya lihat model bisnis dari sana, dan saya pikir itu potensial diterapkan di negara kita.
Apakah regulasinya mendukung?
Sekarang ini kami banyak dibantu oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Misalnya, dulu kami sulit menjangkau Soekarno-Hatta, tapi sekarang kami malah mendukung program multimoda dari pemerintah untuk bisa menyelenggarakan heliport terminal di bandara Cengkareng.
Dukungan pemerintah ini membuat kami antusias untuk menggairahkan industri aviasi. Bersama Kemenhub dan Airnav, kami juga akan segera merilis rute terbang malam, yang dulunya tidak pernah ada. Ini pemikiran yang konsepnya adalah memberikan pelayanan lebih baik ke publik.
Terkait tren pariwisata, bagaimana Whitesky Aviation menangkap peluang dari sektor ini?
Dari sisi city transport, masyarakat di negara-negara seperti Brasil, AS, Kanada, Australia, Jepang, menggunakan helikopter pada kondisi yang menuntut kita bisa cepat untuk bepergian. Sisi lainnya adalah pariwisata, di mana dengan helikopter ini bisa membangun konektivitas yang mungkin secara komersial di luar jangkauan penerbangan maskapai komersial.
Inilah yang kami lakukan dengan Helicity, layanan transportasi helikopter dari kami yang membidik segmen wisatawan. Mulai 4 Desember 2017, kami menawarkan paket wisata menggunakan helikopter dengan rute Jakarta-Bandung. Tarif relatif terjangkau, berkisar Rp8-12 juta atau Rp2-3 juta per penumpang.
Bagaimana cara menekan tarif bisa seterjangkau itu?
Sekitar 3-4 tahun lalu orang masih beranggapan bahwa helikopter adalah transportasi mewah di sini, karena tarifnya masih sekitar Rp45 juta, dan minimum dua jam. Jadi, bisa sampai Rp90 juta sekali jalan. Lalu, saya berdiskusi dengan manufaktur, Bell dan Airbus, bagaimana caranya kita membuat suatu tracking scheme, bukan hanya dari cara pembelian, tapi juga biaya operasional agar bisa sangat terjangkau untuk masyarakat banyak.
Apa target terbesarnya?
Memenuhi konektivitas, karena saya melihat kalau dengan kondisi seperti ini penggunaan transportasi helikopter sangat bermanfaat, terutama untuk jarak yang "nanggung" dan macet seperti ke Bandung. Artinya, kalau kita naik maskapai komersial terlalu dekat, tapi naik mobil terlalu jauh.
Ada beberapa kota di sekitar wilayah Indonesia yang kondisinya seperti itu. Inilah target kami, bagaimana charter ini memenuhi kelengkapan transportasi yang ada. Jangan sampai nanti Kementerian Pariwisata terus mempromosikan suatu destinasi, tapi tidak ada petunjuk atau alternatif transportasinya.
Jadi, antara promosi dan kondisi di lapangan harus selaras, dan kami ingin berperan di situ. Helikopter ini juga punya keunikan, khususnya di Indonesia karena relatif baru dan punya daya tarik bagi masyarakat yang ingin mencoba terbang dengan helikopter.
Soal keamanannya bagaimana?
Penerbangan ini kan bisnis safety. Sekali kita gagal dalam safety, atau jelek safety record-nya, tentu kita di masyarakat juga akan hilang. Saya berpesan kepada sesama operator, walaupun kita berkompetisi, tapi safety harus dijaga.
Dari waktu ke waktu di negara ini kan berjuang agar kredibilitas safety negara ini bisa sampai ke level paling atas, dan sekarang standar keselamatan maskapai Indonesia meningkat jadi kategori 1 menurut Associate Administrator for Aviation Safety FAA. Ini harus dipertahankan.
Total pesawat sudah ada berapa?
Dalam waktu dekat akan datang dua unit sehingga armada Helicity kami ada empat, lainnya untuk contract-based. Jadi, total ada delapan armada. Dalam lima tahun ke depan, kami akan mendatangkan 30 helikopter.
Bagaimana pertumbuhan permintaan Helicity?
2014-2015 itu tahun keemasan tambang batubara. Lalu, 2015 batubara mulai susah, beberapa kontrak ngambang, sehingga kami harus mendiversifikasi usaha. Pada 2015 saya memikirkan konsepnya, mencari bentuk organisasinya, lalu 2016 saya mulai.
Kami membangun departemen call center, marketing, media, dan lain-lain. Sehingga, dalam melakukan diversifikasi bisnis ini saya punya tools yang benar untuk membangun bisnis. Pada 2015 awal tidak ada yang menelepon ke sini.
Lalu, 2016 awal kami coba mengubah struktur biaya, kasih diskon, negosiasi dengan manufaktur, konsultasi dengan lembaga pembiayaan di luar negeri, sampai akhirnya tarif Jakarta-Bandung bisa Rp24 juta.
Tapi sampai Februari 2016 belum ada juga yang mau terbang meskipun didiskon. Saya balik lagi ke manufaktur, dan tidak mudah meyakinkan mereka agar tarifnya bisa benar-benar rendah. Akhirnya, sebuah pencapaian besar, di mana kami bisa membeli helikopter dengan struktur biaya yang bisa diserap pasar. Mungkin sekarang yang menawarkan Rp8-12 juta untuk rute Jakarta-Bandung itu baru kami.
Jika Januari 2016 masih nol yang telepon, sekarang dalam sebulan bisa 60 telepon masuk. Jadi, dari 2015 ke 2016 tumbuhnya 100%; dari sekarang ke tahun lalu naiknya 200%. Saat ini kami punya 171 titik di Jakarta, dan 53 di Bandung.
Target peluncuran 4 Desember 2017, bisa berapa call?
Kalau sehari bisa lima call saja, berarti selama Desember bisa 150 flight.
Selama memimpin, apa tantangan bisnis yang Anda rasakan?
Tantangan dalam bisnis itu adalah antara mengambil risiko atau tidak. Di dunia penerbangan ini tantangannya adalah meyakinkan pemerintah bahwa yang kita lakukan ini akan memberikan banyak manfaat untuk Indonesia. Kalau semua ini kita jaga dan kelola dengan baik, saya rasa ini bisa menjadi diversifikasi usaha dari industri penerbangan itu sendiri.
Bicara kepemimpinan, Anda tipe pemimpin seperti apa?
Dalam membangun kegiatan usaha atau organisasi bisnis, yang utama adalah soliditas. Sebagai tim, kita harus bisa menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Saya selalu menekankan bahwa ini adalah kerja tim, bukan perorangan.
Dengan begitu, semua karyawan merasa menjadi bagian dari perusahaan ini. Tidak mungkin perusahaan ini sukses karena perorangan, pasti karena kerja tim. Itu yang menjadi fondasi organisasi ini. Jadi, tugas saya adalah menanamkan soal soliditas dari tim ini.
Cara membangun soliditas?
Saya yakin orang-orang yang dipilih dalam perusahaan ini punya kecakapan, skill dan loyalitas. Cara membangun soliditas itu adalah memberikan kepercayaan secara utuh dan memberikan panduan yang sesuai visimisi perusahaan. Artinya, kepercayaan ini kita berikan tapi koridornya cukup jelas.
Anda terlibat dalam mencari talenta bagi perusahaan?
Tentu. Bahkan, untuk office boy (OB) pun saya pilih sendiri. Sebab, menurut saya, skill itu kita bisa asah, tapi attitude terkadang sudah mendarah daging.
Perlu ditekankan bahwa kita dalam hubungan sosial ini harus punya attitude yang bisa diterima lingkungan. Sehebat apapun skill bisa tertutupi oleh attitude yang jelek. Di perusahaan ini saya juga mendorong tim untuk mengasah kemampuan berkomunikasi.
Bagi Denon, salah satu pencapaian besar adalah tatkala bisa membeli helikopter dengan struktur biaya yang bisa diserap pasar. Namun, di balik pencapaian itu juga ada kerja tim yang solid. Bahwa sukses yang dituai adalah buah kerja tim, bukan perorangan. Denon juga menekankan pentingnya attitude.
Mengapa? Berikut petikan wawancara KORAN SINDO dengan alumnus Universitas Trisakti itu:
Bisa diceritakan bisnis inti dari Whitesky Aviation?
Whitesky Aviation, sebagaimana operator charter lainnya, fokusnya lebih ke bisnis berbasis kontrak. Kode AOC 135 mengacu kepada penerbangan tidak berjadwal dan kapasitas tempat duduk di bawah 70 seat. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kami masih ada kontrak dengan perusahaan minyak, perkebunan, medical evacuation (medivac), terutama di Kalimantan dan Sulawesi.
Beberapa charter kami juga banyak yang ditujukan untuk kegiatan bisnis dari perusahaan Jepang, China, Korea Selatan, karena mereka ada pabrik di Cikampek, Bandung, dan lain-lain.
Seberapa banyak pemain di bisnis charter ini?
Pada 2011 pemainnya tidak terlalu banyak karena memang dibatasi jumlah operatornya. Sekarang yang terdaftar di asosiasi (Inaca) ada 18, di luar asosiasi ada 16.
Prospeknya bagaimana?
Indonesia negara penghasil kekayaan alam dan negaranya berbentuk kepulauan. Saya melihat prospeknya jauh lebih baik daripada negara yang relatif lebih kecil di Asia, atau yang daratan seperti Australia. Lagi pula, Indonesia masih belum cukup populer untuk penerbangan charter. Jadi, prospeknya masih sangat banyak. Saat ini umumnya charter di Indonesia melayani korporasi seperti pertambangan dan perkebunan.
Prospek lain di area mana?
Di Indonesia, penerbangan charter yang populer memang hanya untuk perusahaan, belum masuk ke area konsumen perseorangan atau ritel karena memang pasarnya belum siap. Tapi, dari sisi jenis layanannya cukup banyak.
Yang sudah dilayani baru kegiatan operasional untuk pertambangan, perkebunan, medivac. Adapun yang belum dilayani untuk pariwisata, kedaruratan atau emergency medical services (EMS), dan Helicity atau taksi udara. Inilah yang menjadi program kami untuk bisa mengisi potensi pendapatan.
Apa yang menyebabkan pasar belum siap?
Harga helikopter rata-rata hampir Rp50 miliar. Dengan armada senilai tersebut, saya melihat pasarnya belum siap untuk bisa menggunakan layanan ini. Itu 2-3 tahun lalu.
Tapi kemudian dengan kondisi produksi dan harga minyak yang turun, ditambah kebijakan pemerintah untuk tidak mengekspor mineral mentah, dampaknya penggunaan jasa charter menurun. Sehingga kami pelaku industrinya dituntut berpikir kreatif dengan menawarkan jasa ke selain korporasi.
Dari mana datangnya ide untuk melebarkan bisnis ke segmen ritel?
Melalui asosiasi internasional untuk charter, saya dipertemukan dengan beberapa pelaku bisnis di Brasil. Brasil adalah negara dengan helitaxi terbesar di dunia, jumlahnya mencapai 2.000 helikopter, di Indonesia belum sampai 200 unit. Saya lihat model bisnis dari sana, dan saya pikir itu potensial diterapkan di negara kita.
Apakah regulasinya mendukung?
Sekarang ini kami banyak dibantu oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Misalnya, dulu kami sulit menjangkau Soekarno-Hatta, tapi sekarang kami malah mendukung program multimoda dari pemerintah untuk bisa menyelenggarakan heliport terminal di bandara Cengkareng.
Dukungan pemerintah ini membuat kami antusias untuk menggairahkan industri aviasi. Bersama Kemenhub dan Airnav, kami juga akan segera merilis rute terbang malam, yang dulunya tidak pernah ada. Ini pemikiran yang konsepnya adalah memberikan pelayanan lebih baik ke publik.
Terkait tren pariwisata, bagaimana Whitesky Aviation menangkap peluang dari sektor ini?
Dari sisi city transport, masyarakat di negara-negara seperti Brasil, AS, Kanada, Australia, Jepang, menggunakan helikopter pada kondisi yang menuntut kita bisa cepat untuk bepergian. Sisi lainnya adalah pariwisata, di mana dengan helikopter ini bisa membangun konektivitas yang mungkin secara komersial di luar jangkauan penerbangan maskapai komersial.
Inilah yang kami lakukan dengan Helicity, layanan transportasi helikopter dari kami yang membidik segmen wisatawan. Mulai 4 Desember 2017, kami menawarkan paket wisata menggunakan helikopter dengan rute Jakarta-Bandung. Tarif relatif terjangkau, berkisar Rp8-12 juta atau Rp2-3 juta per penumpang.
Bagaimana cara menekan tarif bisa seterjangkau itu?
Sekitar 3-4 tahun lalu orang masih beranggapan bahwa helikopter adalah transportasi mewah di sini, karena tarifnya masih sekitar Rp45 juta, dan minimum dua jam. Jadi, bisa sampai Rp90 juta sekali jalan. Lalu, saya berdiskusi dengan manufaktur, Bell dan Airbus, bagaimana caranya kita membuat suatu tracking scheme, bukan hanya dari cara pembelian, tapi juga biaya operasional agar bisa sangat terjangkau untuk masyarakat banyak.
Apa target terbesarnya?
Memenuhi konektivitas, karena saya melihat kalau dengan kondisi seperti ini penggunaan transportasi helikopter sangat bermanfaat, terutama untuk jarak yang "nanggung" dan macet seperti ke Bandung. Artinya, kalau kita naik maskapai komersial terlalu dekat, tapi naik mobil terlalu jauh.
Ada beberapa kota di sekitar wilayah Indonesia yang kondisinya seperti itu. Inilah target kami, bagaimana charter ini memenuhi kelengkapan transportasi yang ada. Jangan sampai nanti Kementerian Pariwisata terus mempromosikan suatu destinasi, tapi tidak ada petunjuk atau alternatif transportasinya.
Jadi, antara promosi dan kondisi di lapangan harus selaras, dan kami ingin berperan di situ. Helikopter ini juga punya keunikan, khususnya di Indonesia karena relatif baru dan punya daya tarik bagi masyarakat yang ingin mencoba terbang dengan helikopter.
Soal keamanannya bagaimana?
Penerbangan ini kan bisnis safety. Sekali kita gagal dalam safety, atau jelek safety record-nya, tentu kita di masyarakat juga akan hilang. Saya berpesan kepada sesama operator, walaupun kita berkompetisi, tapi safety harus dijaga.
Dari waktu ke waktu di negara ini kan berjuang agar kredibilitas safety negara ini bisa sampai ke level paling atas, dan sekarang standar keselamatan maskapai Indonesia meningkat jadi kategori 1 menurut Associate Administrator for Aviation Safety FAA. Ini harus dipertahankan.
Total pesawat sudah ada berapa?
Dalam waktu dekat akan datang dua unit sehingga armada Helicity kami ada empat, lainnya untuk contract-based. Jadi, total ada delapan armada. Dalam lima tahun ke depan, kami akan mendatangkan 30 helikopter.
Bagaimana pertumbuhan permintaan Helicity?
2014-2015 itu tahun keemasan tambang batubara. Lalu, 2015 batubara mulai susah, beberapa kontrak ngambang, sehingga kami harus mendiversifikasi usaha. Pada 2015 saya memikirkan konsepnya, mencari bentuk organisasinya, lalu 2016 saya mulai.
Kami membangun departemen call center, marketing, media, dan lain-lain. Sehingga, dalam melakukan diversifikasi bisnis ini saya punya tools yang benar untuk membangun bisnis. Pada 2015 awal tidak ada yang menelepon ke sini.
Lalu, 2016 awal kami coba mengubah struktur biaya, kasih diskon, negosiasi dengan manufaktur, konsultasi dengan lembaga pembiayaan di luar negeri, sampai akhirnya tarif Jakarta-Bandung bisa Rp24 juta.
Tapi sampai Februari 2016 belum ada juga yang mau terbang meskipun didiskon. Saya balik lagi ke manufaktur, dan tidak mudah meyakinkan mereka agar tarifnya bisa benar-benar rendah. Akhirnya, sebuah pencapaian besar, di mana kami bisa membeli helikopter dengan struktur biaya yang bisa diserap pasar. Mungkin sekarang yang menawarkan Rp8-12 juta untuk rute Jakarta-Bandung itu baru kami.
Jika Januari 2016 masih nol yang telepon, sekarang dalam sebulan bisa 60 telepon masuk. Jadi, dari 2015 ke 2016 tumbuhnya 100%; dari sekarang ke tahun lalu naiknya 200%. Saat ini kami punya 171 titik di Jakarta, dan 53 di Bandung.
Target peluncuran 4 Desember 2017, bisa berapa call?
Kalau sehari bisa lima call saja, berarti selama Desember bisa 150 flight.
Selama memimpin, apa tantangan bisnis yang Anda rasakan?
Tantangan dalam bisnis itu adalah antara mengambil risiko atau tidak. Di dunia penerbangan ini tantangannya adalah meyakinkan pemerintah bahwa yang kita lakukan ini akan memberikan banyak manfaat untuk Indonesia. Kalau semua ini kita jaga dan kelola dengan baik, saya rasa ini bisa menjadi diversifikasi usaha dari industri penerbangan itu sendiri.
Bicara kepemimpinan, Anda tipe pemimpin seperti apa?
Dalam membangun kegiatan usaha atau organisasi bisnis, yang utama adalah soliditas. Sebagai tim, kita harus bisa menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Saya selalu menekankan bahwa ini adalah kerja tim, bukan perorangan.
Dengan begitu, semua karyawan merasa menjadi bagian dari perusahaan ini. Tidak mungkin perusahaan ini sukses karena perorangan, pasti karena kerja tim. Itu yang menjadi fondasi organisasi ini. Jadi, tugas saya adalah menanamkan soal soliditas dari tim ini.
Cara membangun soliditas?
Saya yakin orang-orang yang dipilih dalam perusahaan ini punya kecakapan, skill dan loyalitas. Cara membangun soliditas itu adalah memberikan kepercayaan secara utuh dan memberikan panduan yang sesuai visimisi perusahaan. Artinya, kepercayaan ini kita berikan tapi koridornya cukup jelas.
Anda terlibat dalam mencari talenta bagi perusahaan?
Tentu. Bahkan, untuk office boy (OB) pun saya pilih sendiri. Sebab, menurut saya, skill itu kita bisa asah, tapi attitude terkadang sudah mendarah daging.
Perlu ditekankan bahwa kita dalam hubungan sosial ini harus punya attitude yang bisa diterima lingkungan. Sehebat apapun skill bisa tertutupi oleh attitude yang jelek. Di perusahaan ini saya juga mendorong tim untuk mengasah kemampuan berkomunikasi.
(amm)