Asosiasi Driver Online Ingin Perusahaan Angkutan Aplikasi Diatur
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah mengatur keberadaan angkutan online melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek (PM 108).
PM 108 ini menggantikan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 tentang tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek (PM 26). Namun keberadaan peraturan tersebut dianggap belum cukup oleh mereka yang terlibat dalam angkutan online.
Asosiasi Driver Online (ADO) misalnya, mereka menginginkan agar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) segera mendukung PM 108 dengan mengeluarkan aturan untuk perusahaan aplikasi. Alasannya, walaupun pemerintah sudah mengeluarkan aturan tersebut, di lapangan masih banyak sekali aturan yang dilanggar oleh perusahaan aplikasi.
“Saat ini masih banyak perusahaan yang belum menerapkan aturan tarif batas bawah. Yang terjadi perusahaan tetap menetapkan tarif murah secara jor-joran. Dengan berkedok promosi. Selain itu, masih ada juga perusahaan aplikasi yang terus saja merekrut driver. Padahal seharusnya hal ini tidak lagi dilakukan,” ungkap Ketua Asosiasi Driver Online Christiansen lewat keterangan resmi di Jakarta, Kamis (2/11).
Untuk itu, kata dia, dalam waktu dekat pihaknya akan melakukan jemput bola dengan mendatangi langsung Menkominfo, Menaker, Komisi V DPR, dan Presiden. "Soalnya percuma walau Kemenhub sudah mengeluarkan aturan. Kalau Kominfo belum juga mengeluarkan aturan terhadap perusahaan aplikasi," papar Christiansen.
Padahal Ia menambahkan seharusnya begitu PM 108 diberlakukan, Kominfo sebagai instansi yang memayungi perusahaan aplikasi jasa transportasi tersebut sewajarnya sudah siap dengan aturan yang mencakup pengawasan berikut sanksi-sanksinya. Hal lainnya, sambung Christiansen, masih belum ada perlindungan terhadap pengemudi online, baik saat bekerja maupun terhadap sanksi yang diberikan perusahaan aplikasi yang sepihak.
Pengamat transportasi dari UGM, Lilik Wachid Budi Susilo berpendapat, perlu edukasi bagi driver bagaimana menjalankan bisnis ini. Karena hampir seluruh driver online tidak memahami risiko yang dibebankan kepada mereka.
Pada perusahaan taksi resmi yang menjadi tanggung jawab perusahaan, misalnya biaya investasi beli kendaraan, KIR, service, onderdil, biaya penyusutan, cicilan mobil, kebersihan, dan juga kebutuhan anggaran untuk membeli kendaraan lagi pada saat unit sudah berusia 5 tahun.
“Paling utama keselamatan. Driver akan berusaha memaksimalkan utilitas yang dia punyai. Akhirnya jam kerja akan berlebihan dan itu berbahaya untuk keselamatannya dan penumpang,” katanya mengingatkan.
Pengamat transportasi, Djoko Setiawarno juga menegaskan agar Kominfo segera menerapkan aturan untuk perusahaan aplikasi supaya benturan di lapangan dapat dieliminir. "Saya dengar di sebuah perusahaan aplikasi, driver dapat bonus setelah membawa penumpang yang kesekian. Tapi giliran yang terakhir, dia kesulitan mendapat penumpang. Kalau kayak gini, kan yang kasihan driver," ucapnya.
Dia juga mengatakan, publik jangan mudah tergiur tawaran untuk menjadi atau ikut bergabung pada usaha taksi online. Ketimbang nanti rugi hingga yang didapat bukan untung yang diperoleh.
“Konsumen senang dapat angkutan murah, namun bagaimana pengemudi yang tidak memiliki uang cukup untuk menutup angsuran mobil tiap bulan. Karena sering dapat tarif promo yang sebenarnya merugikan pengemudi,” pungkasnya.
PM 108 ini menggantikan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 tentang tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek (PM 26). Namun keberadaan peraturan tersebut dianggap belum cukup oleh mereka yang terlibat dalam angkutan online.
Asosiasi Driver Online (ADO) misalnya, mereka menginginkan agar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) segera mendukung PM 108 dengan mengeluarkan aturan untuk perusahaan aplikasi. Alasannya, walaupun pemerintah sudah mengeluarkan aturan tersebut, di lapangan masih banyak sekali aturan yang dilanggar oleh perusahaan aplikasi.
“Saat ini masih banyak perusahaan yang belum menerapkan aturan tarif batas bawah. Yang terjadi perusahaan tetap menetapkan tarif murah secara jor-joran. Dengan berkedok promosi. Selain itu, masih ada juga perusahaan aplikasi yang terus saja merekrut driver. Padahal seharusnya hal ini tidak lagi dilakukan,” ungkap Ketua Asosiasi Driver Online Christiansen lewat keterangan resmi di Jakarta, Kamis (2/11).
Untuk itu, kata dia, dalam waktu dekat pihaknya akan melakukan jemput bola dengan mendatangi langsung Menkominfo, Menaker, Komisi V DPR, dan Presiden. "Soalnya percuma walau Kemenhub sudah mengeluarkan aturan. Kalau Kominfo belum juga mengeluarkan aturan terhadap perusahaan aplikasi," papar Christiansen.
Padahal Ia menambahkan seharusnya begitu PM 108 diberlakukan, Kominfo sebagai instansi yang memayungi perusahaan aplikasi jasa transportasi tersebut sewajarnya sudah siap dengan aturan yang mencakup pengawasan berikut sanksi-sanksinya. Hal lainnya, sambung Christiansen, masih belum ada perlindungan terhadap pengemudi online, baik saat bekerja maupun terhadap sanksi yang diberikan perusahaan aplikasi yang sepihak.
Pengamat transportasi dari UGM, Lilik Wachid Budi Susilo berpendapat, perlu edukasi bagi driver bagaimana menjalankan bisnis ini. Karena hampir seluruh driver online tidak memahami risiko yang dibebankan kepada mereka.
Pada perusahaan taksi resmi yang menjadi tanggung jawab perusahaan, misalnya biaya investasi beli kendaraan, KIR, service, onderdil, biaya penyusutan, cicilan mobil, kebersihan, dan juga kebutuhan anggaran untuk membeli kendaraan lagi pada saat unit sudah berusia 5 tahun.
“Paling utama keselamatan. Driver akan berusaha memaksimalkan utilitas yang dia punyai. Akhirnya jam kerja akan berlebihan dan itu berbahaya untuk keselamatannya dan penumpang,” katanya mengingatkan.
Pengamat transportasi, Djoko Setiawarno juga menegaskan agar Kominfo segera menerapkan aturan untuk perusahaan aplikasi supaya benturan di lapangan dapat dieliminir. "Saya dengar di sebuah perusahaan aplikasi, driver dapat bonus setelah membawa penumpang yang kesekian. Tapi giliran yang terakhir, dia kesulitan mendapat penumpang. Kalau kayak gini, kan yang kasihan driver," ucapnya.
Dia juga mengatakan, publik jangan mudah tergiur tawaran untuk menjadi atau ikut bergabung pada usaha taksi online. Ketimbang nanti rugi hingga yang didapat bukan untung yang diperoleh.
“Konsumen senang dapat angkutan murah, namun bagaimana pengemudi yang tidak memiliki uang cukup untuk menutup angsuran mobil tiap bulan. Karena sering dapat tarif promo yang sebenarnya merugikan pengemudi,” pungkasnya.
(akr)