Pemerintah Kaji Pengaruh E-Commerce Terhadap Pasar Tenaga Kerja
A
A
A
JAKARTA - Era perdagangan melalui internet atau e-commerce tidak bisa lagi dihindarkan. Sektor ini bahkan disebut-sebut menjadi penyebab bergugurannya ritel konvensional yang kalah bersaing.
Kondisi tersebut mendapat perhatian dari pemerintah. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kini sedang mengkaji dampak digitalisasi ekonomi tersebut terhadap sektor ketenagakerjaan.
"Kami sedang mengkaji dampak digitalisasi perekonomian terhadap penciptaan kesempatan kerja. Ini merupakan antisipasi ketika kita masih punya isu pengangguran di 5,5%," ujar Kepala Bappenas/Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro di Jakarta kemarin.
Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah toko ritel di Jakarta terpaksa harus menutup bisnisnya karena sejumlah alasan. Di antaranya akibat lesunya penjualan dan maraknya tren belanja online. Akibatnya, para pengelola toko ritel terpaksa harus mengurangi karyawannya.
Menurut Bambang, ke depan tantangan yang dihadapi mulai berat mengingat di satu sisi generasi muda butuh pekerjaan, namun di satu sisi ada era digitalisasi. Dia memprediksi, era e-commerce yang masif tersebut tidak hanya berpengaruh pada sektor ritel tapi juga industri keuangan termasuk perbankan.
“Maka akan ada pengangguran yang berat, ditambah lagi ada bonus demografi,” ujar Bambang.
Pekan lalu, BPS merilis, ekonomi Indonesia menurut pengeluaran pada kuartal III/2017 tumbuh mencapai 5,06% secara tahunan (year-on-year/yoy) dan menciptakan tambahan kesempatan kerja sebanyak 2,61 juta.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) ditargetkan mencapai 4-5% dan penciptaan kesempatan kerja sebesar 10 juta orang. Pada 2015, realisasi TPT mencapai 6,18%, lalu pada 2016 sebesar 5,61%, dan pada Maret 2017 mencapai 5,5%.
Sedangkan realisasi penciptaan kesempatan kerja, berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Per Agustus 2017, pada 2015 sebanyak 0,19 juta orang, lalu naik menjadi 3,59 juta orang pada 2016, dan 2,61 juta orang pada 2017.
Pada Agustus 2017 lalu, jumlah angkatan kerja mencapai 128,06 juta orang, meningkat 2,09% dibandingkan tahun sebelumnya 125,44 juta orang. Sementara itu, jumlah pekerja per Agustus 2017 mencapai 121,02 juta orang, tumbuh 2,2% dibandingkan tahun sebelumnya 118,41 juta orang.
"Pertumbuhan kesempatan kerja, lebih baik dibandingkan pertumbuhan angkatan kerja. Dengan demikian, meskipun jumlah pengangguran bertambah sekitar 10.000 orang, TPT turun menjadi 5,5% dari 2016 yang sebesar 5,61%," ujar Bambang.
Daya Beli Melambat
Di bagian lain, Bambang memastikan bahwa konsumsi rumah tangga tetap tumbuh meski mengalami perlambatan. Menurutnya, pengeluaran masyarakat kelas atas masih meningkat.
Bambang melanjutkan, ada indikasi perubahan perilaku konsumen dari yang tadinya banyak membeli barang-barang dasar beralih ke jasa. Ini terlihat dari konsumsi kesehatan dan pendidikan tumbuh kuat sebesar 5,38%.
Selain itu, pertumbuhan konsumsi restoran dan hotel serta transportasi dan komunikasi juga tumbuh kuat masing-masing sebesar 5,86% dan 5,52%, lebih tinggi dari keseluruhan konsumsi rumah tangga. "Ketiga sektor inilah pergeseran yang paling tinggi. Ini berarti meningkatnya kelas menengah di Indonesia," ungkapnya.
Di samping itu, ujar Bambang, masyarakat belakangan ini lebih memilih belanja ke tempat yang lebih mudah di akses, seperti minimarket ketimbang hipermarket.
“Kedua, belanja online terutama untuk barang-barang tahan lama," jelasnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada kuartal III/2017 daya beli masyarakat Indonesia mengalami perlambatan. Hal ini diperlihatkan dari tingkat konsumsi rumah tangga pada periode Juli-September 2017 yang hanya tumbuh 4,93%, lebih rendah dibandingkan sebelumnya yang mencapai 4,95%.
Pengamat ekonomi Institute For Develompent of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, konsumsi rumah tangga masih menunjukan adanya penurunan daya beli. Menurut dia, pergeseran pola konsumsi masyarakat ke online belum terlalu berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.
"Saya melihatnya konsumsi turun karena memang pendapatan masyarakat kelas menengah ke bawah seperti buruh, petani, maupun bangunan, memang upah riilnya terus mengalami penurunan. Artinya kenaikannya tergerus oleh inflasi yang rendah," ungkapnya.
Bhima melanjutkan, berdasarkan data BPS, jumlah rekening masyarakat kelas atas naik signifikan. Hal ini menandakan bahwa bukan terjadi pergeseran pola konsumsi melainkan masyarakat kelas atas yang memang menahan konsumsi.
"Ekspektasi ke depan dari masyarakat kelas atas ini mengkhawatirkan prospek ekonomi kurang bagus secara domestik. Selain itu, mereka juga khawatir harga minyak naik terus sehingga berjaga-jaga tidak mau belanja karena kemungkinan besar akan ada penyesuaian BBM dan listrik. Dan itu sudah terjadi. Itu sebabnya mereka menahan uangnya untuk tidak belanja," tuturnya. (Oktiani Endarwati/Ant)
Kondisi tersebut mendapat perhatian dari pemerintah. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kini sedang mengkaji dampak digitalisasi ekonomi tersebut terhadap sektor ketenagakerjaan.
"Kami sedang mengkaji dampak digitalisasi perekonomian terhadap penciptaan kesempatan kerja. Ini merupakan antisipasi ketika kita masih punya isu pengangguran di 5,5%," ujar Kepala Bappenas/Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro di Jakarta kemarin.
Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah toko ritel di Jakarta terpaksa harus menutup bisnisnya karena sejumlah alasan. Di antaranya akibat lesunya penjualan dan maraknya tren belanja online. Akibatnya, para pengelola toko ritel terpaksa harus mengurangi karyawannya.
Menurut Bambang, ke depan tantangan yang dihadapi mulai berat mengingat di satu sisi generasi muda butuh pekerjaan, namun di satu sisi ada era digitalisasi. Dia memprediksi, era e-commerce yang masif tersebut tidak hanya berpengaruh pada sektor ritel tapi juga industri keuangan termasuk perbankan.
“Maka akan ada pengangguran yang berat, ditambah lagi ada bonus demografi,” ujar Bambang.
Pekan lalu, BPS merilis, ekonomi Indonesia menurut pengeluaran pada kuartal III/2017 tumbuh mencapai 5,06% secara tahunan (year-on-year/yoy) dan menciptakan tambahan kesempatan kerja sebanyak 2,61 juta.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) ditargetkan mencapai 4-5% dan penciptaan kesempatan kerja sebesar 10 juta orang. Pada 2015, realisasi TPT mencapai 6,18%, lalu pada 2016 sebesar 5,61%, dan pada Maret 2017 mencapai 5,5%.
Sedangkan realisasi penciptaan kesempatan kerja, berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Per Agustus 2017, pada 2015 sebanyak 0,19 juta orang, lalu naik menjadi 3,59 juta orang pada 2016, dan 2,61 juta orang pada 2017.
Pada Agustus 2017 lalu, jumlah angkatan kerja mencapai 128,06 juta orang, meningkat 2,09% dibandingkan tahun sebelumnya 125,44 juta orang. Sementara itu, jumlah pekerja per Agustus 2017 mencapai 121,02 juta orang, tumbuh 2,2% dibandingkan tahun sebelumnya 118,41 juta orang.
"Pertumbuhan kesempatan kerja, lebih baik dibandingkan pertumbuhan angkatan kerja. Dengan demikian, meskipun jumlah pengangguran bertambah sekitar 10.000 orang, TPT turun menjadi 5,5% dari 2016 yang sebesar 5,61%," ujar Bambang.
Daya Beli Melambat
Di bagian lain, Bambang memastikan bahwa konsumsi rumah tangga tetap tumbuh meski mengalami perlambatan. Menurutnya, pengeluaran masyarakat kelas atas masih meningkat.
Bambang melanjutkan, ada indikasi perubahan perilaku konsumen dari yang tadinya banyak membeli barang-barang dasar beralih ke jasa. Ini terlihat dari konsumsi kesehatan dan pendidikan tumbuh kuat sebesar 5,38%.
Selain itu, pertumbuhan konsumsi restoran dan hotel serta transportasi dan komunikasi juga tumbuh kuat masing-masing sebesar 5,86% dan 5,52%, lebih tinggi dari keseluruhan konsumsi rumah tangga. "Ketiga sektor inilah pergeseran yang paling tinggi. Ini berarti meningkatnya kelas menengah di Indonesia," ungkapnya.
Di samping itu, ujar Bambang, masyarakat belakangan ini lebih memilih belanja ke tempat yang lebih mudah di akses, seperti minimarket ketimbang hipermarket.
“Kedua, belanja online terutama untuk barang-barang tahan lama," jelasnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada kuartal III/2017 daya beli masyarakat Indonesia mengalami perlambatan. Hal ini diperlihatkan dari tingkat konsumsi rumah tangga pada periode Juli-September 2017 yang hanya tumbuh 4,93%, lebih rendah dibandingkan sebelumnya yang mencapai 4,95%.
Pengamat ekonomi Institute For Develompent of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, konsumsi rumah tangga masih menunjukan adanya penurunan daya beli. Menurut dia, pergeseran pola konsumsi masyarakat ke online belum terlalu berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.
"Saya melihatnya konsumsi turun karena memang pendapatan masyarakat kelas menengah ke bawah seperti buruh, petani, maupun bangunan, memang upah riilnya terus mengalami penurunan. Artinya kenaikannya tergerus oleh inflasi yang rendah," ungkapnya.
Bhima melanjutkan, berdasarkan data BPS, jumlah rekening masyarakat kelas atas naik signifikan. Hal ini menandakan bahwa bukan terjadi pergeseran pola konsumsi melainkan masyarakat kelas atas yang memang menahan konsumsi.
"Ekspektasi ke depan dari masyarakat kelas atas ini mengkhawatirkan prospek ekonomi kurang bagus secara domestik. Selain itu, mereka juga khawatir harga minyak naik terus sehingga berjaga-jaga tidak mau belanja karena kemungkinan besar akan ada penyesuaian BBM dan listrik. Dan itu sudah terjadi. Itu sebabnya mereka menahan uangnya untuk tidak belanja," tuturnya. (Oktiani Endarwati/Ant)
(nfl)