Holding BUMN Pertambangan Dinilai Lemahkan Pengawasan DPR
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI Hendrawan Supratikno angkat bicara terkait wacana pemerintah membentuk Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertambangan. Ia menilai bahwa kebijakan Menteri BUMN Rini Soemarno tersebut berpotensi melemahkan pengawasan DPR.
"Soal holding yang menggunakan dasar PP 72 Tahun 2016 tetap dikritisi oleh teman-teman komisi VI, dan kami sebagai fraksi terus mencermati karena ada potensi pengawasan DPR bisa ternihilisasi (dihilangkan)," kata Hendrawan kepada wartawan di Jakarta, Senin (20/11/2017).
Bahkan, Ia juga menegaskan bahwa upaya kebijakan melakukan holding bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. "Ini juga soal kosistensi UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN, kita menyadari di satu pihak badan usaha milik negara di tengah globalisasi dan persaingan luar biasa saat ini membutukan fleksibilitas yang sangat tinggi," imbuh dia.
Akan tetapi, lanjut dia, jangan sampai fleksibilitas itu mengurangi kapasitas Parlemen dalam melakukan kontrol terhadap sumber daya yang dimiliki BUMN. Sebab, bagaimana perusahaan pelat merah merupakan instrumen penting yang harus dimiliki pemerintah. "Kehadiran negara di tengah-tengah rakyat dapat dirasakan apabila BUMN berkiprah dengan benar," tuturnya.
Di sisi lain Hendrawan juga mengantisipasi adanya kemungkinan akan terjadinya penguasaan asing terhadap BUMN yang statusnya dijadikan anak usaha, seperti Antam, Bukit Asam dan Timah.
"Itu konsekuensi dari holdingisasi. Ya paling tdak kita sadar, dan karena sadar akan itu makanya kita antisipasi dengan baik. Contohnya, misalkan Singapura Airlines yang mengakuisisi Lion Group. Itu kan langsung industri penerbangan kita sudah dikuasai asing, karena jelas Garuda pangsa pasarnya sudah kalah dibandingkan Lion group," tutup dia.
"Soal holding yang menggunakan dasar PP 72 Tahun 2016 tetap dikritisi oleh teman-teman komisi VI, dan kami sebagai fraksi terus mencermati karena ada potensi pengawasan DPR bisa ternihilisasi (dihilangkan)," kata Hendrawan kepada wartawan di Jakarta, Senin (20/11/2017).
Bahkan, Ia juga menegaskan bahwa upaya kebijakan melakukan holding bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. "Ini juga soal kosistensi UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN, kita menyadari di satu pihak badan usaha milik negara di tengah globalisasi dan persaingan luar biasa saat ini membutukan fleksibilitas yang sangat tinggi," imbuh dia.
Akan tetapi, lanjut dia, jangan sampai fleksibilitas itu mengurangi kapasitas Parlemen dalam melakukan kontrol terhadap sumber daya yang dimiliki BUMN. Sebab, bagaimana perusahaan pelat merah merupakan instrumen penting yang harus dimiliki pemerintah. "Kehadiran negara di tengah-tengah rakyat dapat dirasakan apabila BUMN berkiprah dengan benar," tuturnya.
Di sisi lain Hendrawan juga mengantisipasi adanya kemungkinan akan terjadinya penguasaan asing terhadap BUMN yang statusnya dijadikan anak usaha, seperti Antam, Bukit Asam dan Timah.
"Itu konsekuensi dari holdingisasi. Ya paling tdak kita sadar, dan karena sadar akan itu makanya kita antisipasi dengan baik. Contohnya, misalkan Singapura Airlines yang mengakuisisi Lion Group. Itu kan langsung industri penerbangan kita sudah dikuasai asing, karena jelas Garuda pangsa pasarnya sudah kalah dibandingkan Lion group," tutup dia.
(akr)