Konsep Holding Migas Dinilai Indef Tak Jelas
A
A
A
JAKARTA - Rencana pemerintah membentuk induk usaha (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Minyak dan Gas Bumi (Migas) kembali menuai pro-kontra. Direktur Eksekutif Institute For Development of Economic and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati, mengatakan, belum terdapat konsepsi yang jelas terkait pelaksanaan holdingisasi BUMN yang direncanakan pemerintah, dalam hal ini Kementerian BUMN.
Adapun tiga poin yang dikritisi INDEF berkenan dengan mekanisme pembentukkan struktur holding dan landasan hukum; pembagian sektor dalam pelaksanaan bisnis; hingga upaya pengawasan terhadap tata kelola anak usaha dan entitas BUMN pasca holdingisasi.
“Publik harus dapat kejelasan mengenai critical point ini. Apalagi kita tahu BUMN merupakan perpanjangan tangan negara dalam mengelola sektor-sektor strategis,” ungkap Enny kepada wartawan di Jakarta, Rabu (6/12/2017).
Seperti diketahui, usai menggabungkan beberapa perusahaan pelat merah di sektor pertambangan, Pemerintah telah memulai langkah baru dalam pembentukkan induk usaha (holding) di sektor minyak dan gas bumi (migas) yang ditargetkan rampung sebelum Maret 2018.
Ini ditandai dengan keberadaan surat Menteri BUMN, Rini Soemarno yang meminta jajaran Direksi PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk segera menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) dalam rangka menghapus status persero demi memuluskan penempatan PGN dalam struktur holding BUMN Migas di bawah PT Pertamina (Persero) selaku induk usaha migas.
Enny menegaskan, dibutuhkan kajian yang komprehensif dalam merealisasikan holding BUMN Migas. Selain memiliki fungsi bisnis seperti umumnya, katanya Pertamina juga harus memiliki fungsi agent of development dalam rangka mendukung perekonomian Indonesia.
“Tapi tidak lantas anak usaha Pertamina dibolehkan untuk melakukan monopoli dan berbisnis di luar core-nya, seperti yang dikeluhkan swasta. Kita harus benar-benar menjadi ini sebagai upaya reformasi dalam rangka pembenahan Pertamina dan skema bisnisnya,” imbuhnya.
Oleh karenanya, ia pun meminta pemerintah transparan dan mengedepankan kepentingan nasional, ketimbang mendahulukan kepentingan golongan atau kelompok dalam pelaksanaan holding BUMN migas. “Kita tidak mau karena holding ini kedepannya ada anggapan BUMN seperti Pertamina bakal memonopoli banyak sektor tapi padahal hanya menjadi sapi perah,” tutup Enny.
Adapun tiga poin yang dikritisi INDEF berkenan dengan mekanisme pembentukkan struktur holding dan landasan hukum; pembagian sektor dalam pelaksanaan bisnis; hingga upaya pengawasan terhadap tata kelola anak usaha dan entitas BUMN pasca holdingisasi.
“Publik harus dapat kejelasan mengenai critical point ini. Apalagi kita tahu BUMN merupakan perpanjangan tangan negara dalam mengelola sektor-sektor strategis,” ungkap Enny kepada wartawan di Jakarta, Rabu (6/12/2017).
Seperti diketahui, usai menggabungkan beberapa perusahaan pelat merah di sektor pertambangan, Pemerintah telah memulai langkah baru dalam pembentukkan induk usaha (holding) di sektor minyak dan gas bumi (migas) yang ditargetkan rampung sebelum Maret 2018.
Ini ditandai dengan keberadaan surat Menteri BUMN, Rini Soemarno yang meminta jajaran Direksi PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk segera menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) dalam rangka menghapus status persero demi memuluskan penempatan PGN dalam struktur holding BUMN Migas di bawah PT Pertamina (Persero) selaku induk usaha migas.
Enny menegaskan, dibutuhkan kajian yang komprehensif dalam merealisasikan holding BUMN Migas. Selain memiliki fungsi bisnis seperti umumnya, katanya Pertamina juga harus memiliki fungsi agent of development dalam rangka mendukung perekonomian Indonesia.
“Tapi tidak lantas anak usaha Pertamina dibolehkan untuk melakukan monopoli dan berbisnis di luar core-nya, seperti yang dikeluhkan swasta. Kita harus benar-benar menjadi ini sebagai upaya reformasi dalam rangka pembenahan Pertamina dan skema bisnisnya,” imbuhnya.
Oleh karenanya, ia pun meminta pemerintah transparan dan mengedepankan kepentingan nasional, ketimbang mendahulukan kepentingan golongan atau kelompok dalam pelaksanaan holding BUMN migas. “Kita tidak mau karena holding ini kedepannya ada anggapan BUMN seperti Pertamina bakal memonopoli banyak sektor tapi padahal hanya menjadi sapi perah,” tutup Enny.
(akr)