DPR Minta Pemerintah Tinjau Ulang Kenaikan Tarif Tol
A
A
A
JAKARTA - DPR mengkritisi kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dalam Keputusan Menteri PUPR Nomor 973/KPTS/M/2017 terkait penyesuaian tarif tol dalam kota yang berlaku pada 8 Desember 2018. DPR mendesak pemerintah meninjau ulang kebijakan tersebut karena tol hari ini masih belum layak.
"Kenaikan tarif tol ini pasti menyusahkan rakyat, rakyat yang sudah susah dibuat makin susah lagi, seharusnya tol itu dibuat makin lama makin murah. Jadi, kalau ada kenaikan-kenaikan tol saya kira ini akan membebani masyarakat. Harusnya pemerintah meninjau ini," kata Wakil Ketua DPR koordinator Politik dan Keamanan (Korpolkam) Fadli Zon di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Menurutnya, jika kenaikan tarif ini digunakan untuk pembiayaan-pembiayaan infrastruktur selanjutnya, seharusnya sudah dipikirkan secara matang oleh pemerintah supaya tidak memberatkan masyarakat. Karena rakyat juga sudah membayar pajak kendaraan untuk infrastruktur itu.
"Apa gunanya sekarang, seharusnya tol ini menjadi fasilitas bagi masyarakat, dan juga jalan-jalan atau infrastruktur lain, bukan menjadi beban," kata dia.
Karena itu, Fadli menegaskan, kenaikan tarif tol dalam kota ini tidak layak karena kondisi tol yang masuh sering mengalami kemacetan, karena seharusnya tarif tol itu turun. Justru, di sejumlah negara lain, tarif tol dalam kurun waktu tertentu digratiskan karena merupakan kewajiban pemerintah untuk menyediakan infrastruktur bagi masyarakat.
"Pemerintah menyediakan jalan yang bebas hambatan, yang layak, baik dan cepat," imbuhnya.
Sementara itu, Anggota Komisi V DPR Moh Nizar Zahro menyayangkan, pemerintah merestui kenaikan tarif tol dalam kota mulai 8 Desember 2017. Apalagi klaim alasan kenaikan tersebut karena operator jalan tol, PT Jasa Marga (Persero) Tbk dianggap telah memenuhi standar pelayanan minimal (SPM) yang ditentukan.
"Klaim tersebut sangat ngawur dan tidak berdasar karena kalau melihat realitanya sangat mengecewakan, misalnya kemacetan di dalam tol yang semakin parah, sehingga operator tidak berhak meminta kenaikan tarif tol," kata Nizar di Gedung DPR.
Dia menerangkan, dasar hukum kenaikan tol sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 38/2004 tentang Jalan hanya bersifat alternatif, dengan jelas disebutkan kenaikan dapat terjadi dalam setiap dua tahun sekali.
"Artinya, tidak mutlak harus terjadi kenaikan, apalagi jika pelayanan yang diberikan kepada pengguna jalan makin buruk," tuturnya.
Karena itu, jika pemerintah memaksakan kenaikan tarif tol, maka hal tersebut tak ubahnya sebagai bentuk arogansi pemerintah terhadap rakyatnya. "Fraksi Gerindra meminta rencana kenaikan dibatalkan karena indeks kepuasan masyarakat rendah," kata Nizar.
"Kenaikan tarif tol ini pasti menyusahkan rakyat, rakyat yang sudah susah dibuat makin susah lagi, seharusnya tol itu dibuat makin lama makin murah. Jadi, kalau ada kenaikan-kenaikan tol saya kira ini akan membebani masyarakat. Harusnya pemerintah meninjau ini," kata Wakil Ketua DPR koordinator Politik dan Keamanan (Korpolkam) Fadli Zon di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Menurutnya, jika kenaikan tarif ini digunakan untuk pembiayaan-pembiayaan infrastruktur selanjutnya, seharusnya sudah dipikirkan secara matang oleh pemerintah supaya tidak memberatkan masyarakat. Karena rakyat juga sudah membayar pajak kendaraan untuk infrastruktur itu.
"Apa gunanya sekarang, seharusnya tol ini menjadi fasilitas bagi masyarakat, dan juga jalan-jalan atau infrastruktur lain, bukan menjadi beban," kata dia.
Karena itu, Fadli menegaskan, kenaikan tarif tol dalam kota ini tidak layak karena kondisi tol yang masuh sering mengalami kemacetan, karena seharusnya tarif tol itu turun. Justru, di sejumlah negara lain, tarif tol dalam kurun waktu tertentu digratiskan karena merupakan kewajiban pemerintah untuk menyediakan infrastruktur bagi masyarakat.
"Pemerintah menyediakan jalan yang bebas hambatan, yang layak, baik dan cepat," imbuhnya.
Sementara itu, Anggota Komisi V DPR Moh Nizar Zahro menyayangkan, pemerintah merestui kenaikan tarif tol dalam kota mulai 8 Desember 2017. Apalagi klaim alasan kenaikan tersebut karena operator jalan tol, PT Jasa Marga (Persero) Tbk dianggap telah memenuhi standar pelayanan minimal (SPM) yang ditentukan.
"Klaim tersebut sangat ngawur dan tidak berdasar karena kalau melihat realitanya sangat mengecewakan, misalnya kemacetan di dalam tol yang semakin parah, sehingga operator tidak berhak meminta kenaikan tarif tol," kata Nizar di Gedung DPR.
Dia menerangkan, dasar hukum kenaikan tol sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 38/2004 tentang Jalan hanya bersifat alternatif, dengan jelas disebutkan kenaikan dapat terjadi dalam setiap dua tahun sekali.
"Artinya, tidak mutlak harus terjadi kenaikan, apalagi jika pelayanan yang diberikan kepada pengguna jalan makin buruk," tuturnya.
Karena itu, jika pemerintah memaksakan kenaikan tarif tol, maka hal tersebut tak ubahnya sebagai bentuk arogansi pemerintah terhadap rakyatnya. "Fraksi Gerindra meminta rencana kenaikan dibatalkan karena indeks kepuasan masyarakat rendah," kata Nizar.
(izz)