Wisata Halal Bidik Potensi Kaum Milenial
A
A
A
JAKARTA - Kaum milenial memang menyedot perhatian banyak sektor untuk dijadikan lahan bisnis, tidak terkecuali industri wisata halal. Pasalnya, dari 121 juta wisatawan muslim dunia, sekitar 72 jutanya merupakan generasi milenial atau pun Generasi Z.
Apalagi potensi pendapatan dari bisnis wisata halal cukup besar mencapai USD200 miliar pada 2020. Dengan potensi yang menggiurkan tersebut, sudah seharusnya Indonesia sebagai negara muslim terbesar dengan destinasi wisata halal yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke harus ambil bagian. Bahkan, dengan pengelolaan dan pelayanan yang baik, sudah seharusnya Indonesia menjadi kiblat wisata halal dunia.
Berdasarkan laporan States of Global Islamic Economy (SGIE) 2016-2017, belanja komunitas muslim untuk wisata halal mencapai USD151 miliar atau setara 11,2% dari total pengeluaran masyarakat global pada 2015. Angka tersebut akan semakin meningkat dan diprediksi pengeluaran wisatawan muslim akan mencapai USD200 miliar pada 2020.
Tentu ini bukan angka sedikit. Salah satu penyokong pendapatan besar tersebut berasal dari wisatawan muda-mudi muslim atau biasa disebut milenial yang bisa mencapai nilai lebih dari USD100 miliar pada 2025. Karena secara keseluruhan segmen perjalanan muslim diperkirakan akan mencapai USD300 miliar pada tahun 2026.
Hal itu terangkum pada laporan terbaru Mastercard-HalalTrip Muslim Millenial Travel Report 2017 (MMTR2017) yang mengungkapkan pentingnya perkembangan generasi penerus dari wisatawan muslim terhadap sektor pariwisata di seluruh dunia. MMTR2017 merupakan laporan komprehensif pertama yang melakukan penelitian terhadap meningkatnya wisatawan muslim milenial di seluruh dunia.
CEO dari CrescentRating & HalalTrip Fazal Bahardeen mengemukakan, laporan MMTR2017 memberikan wawasan terkait dengan pasar wisatawan muslim milenial yang berkembang pesat dan memiliki pengaruh semakin besar serta peluang yang dihadirkan oleh tren global. "Tidak ada keraguan bahwa semua pihak di sektor pariwisata harus lebih memerhatikan pasar wisatawan muslim milenial ini yang bisa mendorong pengeluaran untuk tiket pesawat, hotel, dan wisata," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima KORAN SINDO.
Pertumbuhan dari segmen pasar muslim muda yang semakin makmur ini, kata Fazal, menunjukkan adanya potensi sangat besar bagi pasar internasional yang bergerak di bidang produk dan layanan ramah terhadap muslim. "Perjalanan wisata bagi generasi muslim muda kini berkembang dengan pesat seiring dengan adanya konsumen yang memiliki penghasilan lebih besar mencari pengalaman yang lebih eksotis dengan tujuan lebih jauh dibandingkan orang tua mereka," katanya.
CrescentRating memperkirakan bahwa lebih dari 30% wisatawan muslim pada 2016 merupakan kaum milenial dengan 30% lainnya merupakan Generasi Z, yakni kelompok demografis setelah kaum milenial. Dengan 121 juta pengunjung muslim internasional pada 2016, sebanyak lebih dari 72 juta wisatawan muslim merupakan generasi milenial ataupun Generasi Z.
Berdasarkan penelitian itu, Arab Saudi, Malaysia, dan Turki merupakan pasar perjalanan outbound terbesar bagi muslim milenial yang tergabung dalam Organization of Islamic Cooperation (OIC). Sementara Jerman, Rusia, dan India berada di posisi tiga teratas untuk pasar perjalanan oubound bagi muslim milenial di negaranegara non-OIC.
Menanggapi potensi wisata halal di Indonesia, pengamat pariwisata Jajang Gunawijaya menuturkan, pariwisata jenis ini memang tengah naik daun. Bahkan, bukan hanya di negara-negara muslim, tetapi negara lainnya yang menyasar pendapatan dari wisatawan muslim, seperti Thailand, Hong Kong, Jepang, dan Korea. "Negara-negara tersebut menyasar turis dari negara-negara yang penduduknya banyak muslim, seperti Indonesia, Malaysia, dan Timur Tengah. Sebenarnya kita sedikit tertinggal karena mereka sudah menggarap hal tersebut sejak lama," katanya.
Di Hong Kong dan Jepang misalnya, kata dia, sejumlah toilet yang berada dalam fasilitas publik telah tersedia alat shower untuk membasuh bagian intim seusai buang air dibandingkan dengan tempat-tempat lain yang hanya diberikan tisu. Hal ini tentu membuat nyaman turis muslim saat memenuhi panggilan alam tersebut. Selain itu, telah banyak tempat makan atau restoran mencantumkan label kandungan makanan di setiap menunya apakah terdapat bahan makanan haram atau tidak.
Di Indonesia sendiri, kata Jajang, penerapan wisata halal tentu makin mudah karena penduduknya mayoritas muslim. Daerah-daerah, seperti Lombok, Padang, Aceh, Jakarta, bahkan Bali, menjadi daerah-daerah berpotensi untuk wisata halal. Meski begitu, tidak hanya menyasar turis dari negara lain, wisatawan lokal juga musti diperhatikan karena masih menjadi pasar utama pariwisata di Tanah Air.
"Perlu promosi yang lebih gencar soal wisata halal ke seluruh dunia, terutama turis muslim dari negara Timur Tengah. Tapi jangan lupakan wisatawan lokal yang masih jadi pasar utama," ujarnya.
Apalagi potensi pendapatan dari bisnis wisata halal cukup besar mencapai USD200 miliar pada 2020. Dengan potensi yang menggiurkan tersebut, sudah seharusnya Indonesia sebagai negara muslim terbesar dengan destinasi wisata halal yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke harus ambil bagian. Bahkan, dengan pengelolaan dan pelayanan yang baik, sudah seharusnya Indonesia menjadi kiblat wisata halal dunia.
Berdasarkan laporan States of Global Islamic Economy (SGIE) 2016-2017, belanja komunitas muslim untuk wisata halal mencapai USD151 miliar atau setara 11,2% dari total pengeluaran masyarakat global pada 2015. Angka tersebut akan semakin meningkat dan diprediksi pengeluaran wisatawan muslim akan mencapai USD200 miliar pada 2020.
Tentu ini bukan angka sedikit. Salah satu penyokong pendapatan besar tersebut berasal dari wisatawan muda-mudi muslim atau biasa disebut milenial yang bisa mencapai nilai lebih dari USD100 miliar pada 2025. Karena secara keseluruhan segmen perjalanan muslim diperkirakan akan mencapai USD300 miliar pada tahun 2026.
Hal itu terangkum pada laporan terbaru Mastercard-HalalTrip Muslim Millenial Travel Report 2017 (MMTR2017) yang mengungkapkan pentingnya perkembangan generasi penerus dari wisatawan muslim terhadap sektor pariwisata di seluruh dunia. MMTR2017 merupakan laporan komprehensif pertama yang melakukan penelitian terhadap meningkatnya wisatawan muslim milenial di seluruh dunia.
CEO dari CrescentRating & HalalTrip Fazal Bahardeen mengemukakan, laporan MMTR2017 memberikan wawasan terkait dengan pasar wisatawan muslim milenial yang berkembang pesat dan memiliki pengaruh semakin besar serta peluang yang dihadirkan oleh tren global. "Tidak ada keraguan bahwa semua pihak di sektor pariwisata harus lebih memerhatikan pasar wisatawan muslim milenial ini yang bisa mendorong pengeluaran untuk tiket pesawat, hotel, dan wisata," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima KORAN SINDO.
Pertumbuhan dari segmen pasar muslim muda yang semakin makmur ini, kata Fazal, menunjukkan adanya potensi sangat besar bagi pasar internasional yang bergerak di bidang produk dan layanan ramah terhadap muslim. "Perjalanan wisata bagi generasi muslim muda kini berkembang dengan pesat seiring dengan adanya konsumen yang memiliki penghasilan lebih besar mencari pengalaman yang lebih eksotis dengan tujuan lebih jauh dibandingkan orang tua mereka," katanya.
CrescentRating memperkirakan bahwa lebih dari 30% wisatawan muslim pada 2016 merupakan kaum milenial dengan 30% lainnya merupakan Generasi Z, yakni kelompok demografis setelah kaum milenial. Dengan 121 juta pengunjung muslim internasional pada 2016, sebanyak lebih dari 72 juta wisatawan muslim merupakan generasi milenial ataupun Generasi Z.
Berdasarkan penelitian itu, Arab Saudi, Malaysia, dan Turki merupakan pasar perjalanan outbound terbesar bagi muslim milenial yang tergabung dalam Organization of Islamic Cooperation (OIC). Sementara Jerman, Rusia, dan India berada di posisi tiga teratas untuk pasar perjalanan oubound bagi muslim milenial di negaranegara non-OIC.
Menanggapi potensi wisata halal di Indonesia, pengamat pariwisata Jajang Gunawijaya menuturkan, pariwisata jenis ini memang tengah naik daun. Bahkan, bukan hanya di negara-negara muslim, tetapi negara lainnya yang menyasar pendapatan dari wisatawan muslim, seperti Thailand, Hong Kong, Jepang, dan Korea. "Negara-negara tersebut menyasar turis dari negara-negara yang penduduknya banyak muslim, seperti Indonesia, Malaysia, dan Timur Tengah. Sebenarnya kita sedikit tertinggal karena mereka sudah menggarap hal tersebut sejak lama," katanya.
Di Hong Kong dan Jepang misalnya, kata dia, sejumlah toilet yang berada dalam fasilitas publik telah tersedia alat shower untuk membasuh bagian intim seusai buang air dibandingkan dengan tempat-tempat lain yang hanya diberikan tisu. Hal ini tentu membuat nyaman turis muslim saat memenuhi panggilan alam tersebut. Selain itu, telah banyak tempat makan atau restoran mencantumkan label kandungan makanan di setiap menunya apakah terdapat bahan makanan haram atau tidak.
Di Indonesia sendiri, kata Jajang, penerapan wisata halal tentu makin mudah karena penduduknya mayoritas muslim. Daerah-daerah, seperti Lombok, Padang, Aceh, Jakarta, bahkan Bali, menjadi daerah-daerah berpotensi untuk wisata halal. Meski begitu, tidak hanya menyasar turis dari negara lain, wisatawan lokal juga musti diperhatikan karena masih menjadi pasar utama pariwisata di Tanah Air.
"Perlu promosi yang lebih gencar soal wisata halal ke seluruh dunia, terutama turis muslim dari negara Timur Tengah. Tapi jangan lupakan wisatawan lokal yang masih jadi pasar utama," ujarnya.
(amm)