Perekonomian Indonesia Terjebak di Pertumbuhan Ekonomi 5%

Sabtu, 13 Januari 2018 - 06:39 WIB
Perekonomian Indonesia...
Perekonomian Indonesia Terjebak di Pertumbuhan Ekonomi 5%
A A A
MANADO - Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetiantonono mengatakan perekonomian Indonesia seperti "terjebak" di pertumbuhan ekonomi 5%. Hal ini, kata dia, disebabkan dua hal.

Pertama, adanya kelesuan ekonomi sebagai dampak dari ketidakpastian. Kedua adanya agresivitas pajak yang menyebabkan konsumen cenderung mengerem konsumsi.

"Namun ini tidak berarti Indonesia mengalami new normal. Berbeda dengan China yang terus melambat, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bisa meningkat ke level 6%-7% di kemudian hari. Karena sekarang giat membangun infrastruktur yang dampak positifnya akan dirasakan kelak, tidak sekarang," jelas Tony dalam Seminar Nasional Indonesian Economic Outlook 2018 yang digelar Bank SulutGo bersama Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Manado di Sintesa Peninsula Hotel, Jumat (12/1/2018).

Tony menyarankan, Presiden Joko Widodo harus terus fokus di jalur pembangunan infrastruktur untuk menaikkan daya saing, atau menurunkan ICOR (incremental capital output ratio). Belanja infrastuktur Rp400 triliun dari anggaran total Rp2.200 triliun pada 2018, kata dia, merupakan hal yang impresif.

"Implikasinya, prospek industri semen tetap cerah karena pemerintah terus fokus membangun infrastruktur," ujarnya. Meski demikian, idealnya, belanja infrastruktur per tahun mencapai 5% terhadap PDB, dalam kasus Indonesia berarti Rp650 triliun.

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Utara, Soekowardojo menyatakan di tengah upaya memacu pertumbuhan ekonomi, terdapat sejumlah risiko yang perlu diantisipasi. Risiko tersebut baik bersumber dari eksternal maupun domestik.

Risiko eksternal terkait rencana pengetatan kebijakan moneter di negara ekonomi maju, risiko kenaikan harga minyak di tahun ini hasil dari dampak kesepakatan dari negara-negara penghasil minyak untuk memangkas produksi ekspor, serta risiko geopolitik.

Sedangkan dari sisi domestik, risiko berasal dari belum kuatnya konsumsi rumah tangga dan intermediasi perbankan. "Khusus regional Sulut, risiko bersumber dari permasalahan di infrastruktur, seperti pembebasan lahan dan potensi defisitnya pasokan listrik seiring dengan naiknya kebutuhan daya masyarakat," terangnya.

Risiko lainnya, kata dia, yaitu potensi terganggunya manajemen dan administrasi pemerintah daerah sebagai dampak pemilihan kepala daerah tingkat kabupaten dan kota.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7400 seconds (0.1#10.140)