UE Berupaya Stop Produksi Biofuel dari Sawit pada 2021

Sabtu, 13 Januari 2018 - 07:24 WIB
UE Berupaya Stop Produksi...
UE Berupaya Stop Produksi Biofuel dari Sawit pada 2021
A A A
SEJUMLAH anggota Parlemen Eropa berupaya menghentikan penggunaan minyak kelapa sawit dalam bahan bakar transportasi pada 2021. Langkah ini telah mendapat dukungan dari sejumlah kelompok politik terbesar di Parlemen menjelang voting isu tersebut pekan depan.

Jika rencana itu disetujui Parlemen Eropa maka kebijakan tersebut dapat menjadi pukulan besar bagi Indonesia dan Malaysia sebagai pengekspor kelapa sawit terbesar di dunia. RI dan Malaysia pun berupaya keras menghalangi rencana tersebut untuk menjaga kelangsungan industri dalam negeri.

Seperti dilansir EURACTIV, anggota parlemen dari Partai Hijau Bas Erickhout meyakini Parlemen Eropa akan mengeluarkan pernyataan jelas mengenai penghentian penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar. “Semua kubu politik utama di Parlemen Eropa sedang menuju ke arah itu,” kata politisi dari Belanda itu pada Selasa (9/1/2018) lalu.

Kelompok politik lainnya juga mendukung langkah tersebut. “Kami bersedia menerima ketentuan apapun,” kata Lars Ole Locke, juru bicara Partai Rakyat Eropa, kelompok terbesar di Parlemen Eropa. Hal senada juga diungkapkan Partai Sosialis dan Demokrat.

Jika disetujui, larangan itu akan menjadi kemenangan besar bagi kelompok lingkungan yang selama ini mengingatkan bahaya bahan bakar dari minyak sawit. Dalam studi yang didanai Uni Eropa dan diterbitkan pada 2016, biosolar dari minyak kelapa sawit tiga kali lebih berpolusi dari solar tradisional.

Setahun kemudian, sejumlah anggota Parlemen Eropa mendesak Komisi Eropa menghapus penggunaan minyak sawit dalam produksi biofuel pada 2020. Mereka juga meminta dibuatnya skema sertifikasi tunggal untuk menjamin produk kelapa sawit yang masuk ke pasar Eropa diproduksi secara berkelanjutan dan aman digunakan.

Sejumlah negara, termasuk Prancis, mendukung proposal itu dan membatasi penggunaan minyak sawit dalam pembuatan biofuel.

Meski demikian, negara utama produsen kelapa sawit seperti Indonesia dan Malaysia tidak akan menerima kebijakan itu dan mengajukan gugatan hukum di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Pada April lalu, dua negara itu mengirimkan misi gabungan ke UE untuk mencegah penghentian penggunaan minyak sawit sebagai biofuel. RI dan Malaysia juga berupaya menepis berbagai kampanye negatif yang dilancarkan sejumlah kelompok yang antisawit.

Sekitar 85% kelapa sawit yang dijual di pasar internasional berasal dari Indonesia dan Malaysia. UE merupakan pembeli kedua terbesar setelah India.

Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Indonesia mengekspor 4,37 juta ton minyak sawit ke negara-negara UE pada 2016, dan Malaysia 2,06 juta ton.

“Kami akan melakukan apapun untuk meyakinkan Parlemen Eropa dan negara-negara Eropa agar tidak menerapkan aturan itu. Kami tidak ingin memikirkan jalan tengah. Kami akan mencoba bernegosiasi dengan kekuatan penuh,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Darmin Nasution, kepada awak media. Darmin Nasution menyebut langkah Eropa itu diskriminatif.

Senada dengan Darmin, Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia, Mah Siew Keong, mengatakan proposal tersebut tidak adil dan dapat mengancam banyak petani kecil yang mengandalkan kehidupan dengan kebun sawit.

Anggota Parlemen Eropa, Katerina Konecna, mencoba menenangkan Indonesia dan Malaysia. “Kantor saya dihubungi Kedutaan Besar (Kedubes) Indonesia hanya dua pekan sebelum pemungutan suara di pleno, tapi kami tentu menjelaskan posisi kami dan mayoritas anggota. Saya menunjukkan kepada mereka dengan pilihan kata yang tepat mengapa kekhawatiran mereka tidak dapat dibenarkan,” kata Konecna.

Anggota Parlemen dari Jerman, Susanne Melior, mengatakan resolusi tersebut tidak dimaksudkan untuk bersikap timpang terhadap Indonesia dan Malaysia atau hendak menyakiti petani kecil. UE akan tetap mengimpor minyak sawit, terutama untuk produksi pangan. Meski demikian, petani sawit diminta melindungi alam dan melestarikan hutan.

Rencana melarang minyak sawit untuk biofuel itu tidak akan mudah terlaksana di lapangan karena masih banyak penghalang. Diperlukan kesepakatan politik dari setiap negara anggota UE yang berjumlah 28. Selain itu juga perlu finalisasi penerapan kebijakan energi terbarukan hasil revisi. (Muh Shamil)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0789 seconds (0.1#10.140)