Stimulus Pemerintah Kurangi Risiko Penyaluran Kredit
A
A
A
JAKARTA - Stimulus pemerintah untuk mendorong perekonomian Indonesia menjadi kunci untuk mengurangi resiko penyaluran kredit tahun ini. Jika siklus perekonomian membaik, maka penyaluran kredit diperkirakan akan tumbuh cukup tinggi di akhir tahun 2018.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menerangkan, untuk mendorong penyaluran kredit, perbankan perlu cermat dalam melihat peluang di tahun politik. "Kekhawatiran tahun politik juga membuat pengusaha bahkan perbankan ikut wait and see," kata Bhima di Jakarta, Selasa (23/1/2018).
Kondisi ini, lanjut dia, membuat debitur yang kualitasnya bagus masih menahan pengajuan kreditnya. Sementara debitur dengan kualitas yang rendah justru terdesak untuk mengajukan kredit ke perbankan.
Selain itu, Pilkada di 171 kota kabupaten juga diharapkan dorong pertumbuhan di sektor makanan minuman, bisnis perhotelan, restoran dan jasa konveksi serta periklanan. "Permintaan kredit di sektor tersebut akan naik," ujar Bhima.
Sedangkan untuk meningkatkan penetrasi di sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), perbankan perlu menggandeng Fintech. Menurutnya, ada sekitar 180 juta orang yang masuk kategori unbankable atau belum layak mendapat kredit perbankan.
"Sebetulnya tahun 2018 ini merupakan waktunya bank dan fintech saling kolaborasi. Jika bank bisa memaksimalkan potensi kredit, maka pertumbuhan kredit tahun 2018 diprediksi bisa mencapai 9,5% (yoy)," papar dia.
Di sisi lain, rendahnya pertumbuhan kredit pada akhir November 2017 dipengaruhi oleh masih mahalnya bunga perbankan, meskipun Bank Indonesia dalam satu tahun terakhir sudah turunkan suku bunga acuan sekitar 200 bps namun bunga kredit masih double digit. "Permasalahan struktural mahalnya bunga kredit tak bisa dipungkiri karena bisnis perbankan di Indonesia masih gemuk," cetus Bhima.
Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) perbankan juga masih di atas 80%, dengan Net Interest Margin (NIM) rata rata 5% lebih. Meskipun BI berulang kali turunkan suku bunga acuan tetap saja bank lebih konservatif.
Sementara itu, sejalan dengan upaya penguatan manajemen risiko kredit perbankan, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) berada pada level 2,89% (gross) atau 1,25% (net), lebih rendah dibandingkan Oktober 2017 yaitu sebesar 2,96% (gross) atau 1,29% (net).
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Filianingsih Hendarta mengungkapkan, transmisi pelonggaran kebijakan moneter melalui jalur suku bunga terus berlangsung, tercermin dari berlanjutnya penurunan suku bunga deposito dan suku bunga kredit, meski belum dalam besaran yang diharapkan.
"Namun transmisi melalui jalur kredit juga masih belum optimal, tercermin pada pertumbuhan kredit yang masih terbatas sejalan dengan permintaan kredit yang belum tinggi dan perilaku bank yang masih selektif dalam memberikan kredit baru," terang dia.
Pertumbuhan kredit November 2017 tercatat sebesar 7,5% (yoy), lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu sebesar 8,5% (yoy). Menurut Filianingsih, di tengah pertumbuhan kredit perbankan yang terbatas, pembiayaan ekonomi melalui pasar keuangan, seperti penerbitan saham, obligasi, dan medium term notes (MTN), terus tumbuh tinggi hingga mencapai 29,7% (yoy) pada November 2017.
Sementara itu, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada November 2017 tercatat 9,8% (yoy), menurun dibandingkan bulan sebelumnya 11,0% (yoy). Dengan perkembangan tersebut, untuk keseluruhan 2017, DPK dan kredit diperkirakan tumbuh masing-masing sekitar 9,0% (yoy) dan 8,0% (yoy). Sedangkan hingga akhir tahun 2018, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan DPK dan kredit masing-masing dalam kisaran 9,0-11,0% (yoy) dan 10,0-12,0% (yoy).
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menerangkan, untuk mendorong penyaluran kredit, perbankan perlu cermat dalam melihat peluang di tahun politik. "Kekhawatiran tahun politik juga membuat pengusaha bahkan perbankan ikut wait and see," kata Bhima di Jakarta, Selasa (23/1/2018).
Kondisi ini, lanjut dia, membuat debitur yang kualitasnya bagus masih menahan pengajuan kreditnya. Sementara debitur dengan kualitas yang rendah justru terdesak untuk mengajukan kredit ke perbankan.
Selain itu, Pilkada di 171 kota kabupaten juga diharapkan dorong pertumbuhan di sektor makanan minuman, bisnis perhotelan, restoran dan jasa konveksi serta periklanan. "Permintaan kredit di sektor tersebut akan naik," ujar Bhima.
Sedangkan untuk meningkatkan penetrasi di sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), perbankan perlu menggandeng Fintech. Menurutnya, ada sekitar 180 juta orang yang masuk kategori unbankable atau belum layak mendapat kredit perbankan.
"Sebetulnya tahun 2018 ini merupakan waktunya bank dan fintech saling kolaborasi. Jika bank bisa memaksimalkan potensi kredit, maka pertumbuhan kredit tahun 2018 diprediksi bisa mencapai 9,5% (yoy)," papar dia.
Di sisi lain, rendahnya pertumbuhan kredit pada akhir November 2017 dipengaruhi oleh masih mahalnya bunga perbankan, meskipun Bank Indonesia dalam satu tahun terakhir sudah turunkan suku bunga acuan sekitar 200 bps namun bunga kredit masih double digit. "Permasalahan struktural mahalnya bunga kredit tak bisa dipungkiri karena bisnis perbankan di Indonesia masih gemuk," cetus Bhima.
Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) perbankan juga masih di atas 80%, dengan Net Interest Margin (NIM) rata rata 5% lebih. Meskipun BI berulang kali turunkan suku bunga acuan tetap saja bank lebih konservatif.
Sementara itu, sejalan dengan upaya penguatan manajemen risiko kredit perbankan, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) berada pada level 2,89% (gross) atau 1,25% (net), lebih rendah dibandingkan Oktober 2017 yaitu sebesar 2,96% (gross) atau 1,29% (net).
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Filianingsih Hendarta mengungkapkan, transmisi pelonggaran kebijakan moneter melalui jalur suku bunga terus berlangsung, tercermin dari berlanjutnya penurunan suku bunga deposito dan suku bunga kredit, meski belum dalam besaran yang diharapkan.
"Namun transmisi melalui jalur kredit juga masih belum optimal, tercermin pada pertumbuhan kredit yang masih terbatas sejalan dengan permintaan kredit yang belum tinggi dan perilaku bank yang masih selektif dalam memberikan kredit baru," terang dia.
Pertumbuhan kredit November 2017 tercatat sebesar 7,5% (yoy), lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu sebesar 8,5% (yoy). Menurut Filianingsih, di tengah pertumbuhan kredit perbankan yang terbatas, pembiayaan ekonomi melalui pasar keuangan, seperti penerbitan saham, obligasi, dan medium term notes (MTN), terus tumbuh tinggi hingga mencapai 29,7% (yoy) pada November 2017.
Sementara itu, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada November 2017 tercatat 9,8% (yoy), menurun dibandingkan bulan sebelumnya 11,0% (yoy). Dengan perkembangan tersebut, untuk keseluruhan 2017, DPK dan kredit diperkirakan tumbuh masing-masing sekitar 9,0% (yoy) dan 8,0% (yoy). Sedangkan hingga akhir tahun 2018, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan DPK dan kredit masing-masing dalam kisaran 9,0-11,0% (yoy) dan 10,0-12,0% (yoy).
(akr)