Dukungan Industri ke Vokasi Mendesak Dilaksanakan
A
A
A
JAKARTA - Usulan insentif pajak (tax allowance) sekitar 200-300% bagi industri yang mendukung pengembangan pendidikan vokasi dan melakukan inovasi berupa penelitian mendapat respons positif. Integrasi ini diharapkan akan menciptakan link and match.
Usulan insentif pajak ini dinilai sangat penting dan menentukan karena dalam pengembangan pendidikan vokasi, sebab jika tidak ada industri yang berperan maka akan sulit menciptakan lulusan akademi vokasi dan sekolah menengah kejuruan (SMK) yang siap kerja sesuai kebutuhan industri. "Sekarang memang harus ada langkah konkret untuk mendukung pendidikan vokasi secara substansial. Salah satu caranya dengan insentif ini," kata Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri, Rabu (24/1/2017).
Dengan adanya campur tangan industri ini maka memungkinkan jurusan dan program studi di SMK ataupun akademi vokasi disesuaikan dengan skill yang dibutuhkan industri (link and match). Selain itu, kata dia, proses pembelajaran yang lebih banyak ke praktik daripada teori pun semakin maksimal. Perbandingannya sekitar 70% praktik dan 30% teori.
Mantan guru SMK ini menjelaskan bahwa apa yang dilakukan pemerintah Jerman dalam mengelola pendidikan vokasi bisa dicontoh pemerintah Indonesia. Pendidikan vokasi di negara-negara Eropa Barat tersebut memiliki empat prinsip. Pertama, kerja sama pemerintah dan industri. Keduanya bertanggung jawab menyusun kerangka pendidikan kejuruan dan pelatihan. Kedua, penerapan standar nasional sehingga kualitas pendidikan sekolah kejuruan terjamin. Ketiga, kualifikasi tenaga pendidikan yang harus menguasai konsep peda gogik kejuruan. Keempat, ketersediaan institusi penelitian.
"Dalam mengadopsi pendidikan vokasi di Jerman tersebut, tentu perlu ada penyesuaian. Untuk itu, kita perlu berbenah dan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, misalnya dengan Kadin. Di Indonesia masih ada jarak antara dunia industri dan pendidikan. Kadin dapat menjadi jembatan ideal bagi terhubungnya dunia industri dan pendidikan, sehingga kegiatan 70% di perusahaan dan 30% di kelas dalam pendidikan vokasi dapat terpenuhi dengan baik," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Wakil Ketua Komisi X DPR Ferdiansyah juga mengapresiasi usulan insentif pajak yang disampaikan Kementerian Per industrian kepada Kementerian Keuangan. Dia mengatakan, dengan adanya Inpres No 9/2016 tentang Revitalisasi SMK, seharusnya mampu menjadi senjata untuk memuluskan usulan tersebut sebab arahan presiden itu akan mampu dikonkretkan.
Politikus Golongan Karya ini mengatakan sudah sejak lama Komisi X mendorong adanya link and match antara industri dan sekolah SMK. Sebagai contoh, industri pertekstilan bisa mendirikan SMK dengan kurikulum yang disesuaikan kebutuhan sehingga lulusan sekolah itu bisa langsung diserap oleh pasar kerja. Oleh karena itu, dia mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti) untuk segera merespons cepat usulan tersebut.
"Sekarang itu SMK masih dipandang hanya menciptakan pengangguran. Maka Kemendikbud dan Kemenristek-Dikti harus cepat merespons hal ini. Jangan lama-lama lagi," katanya.
Dia mengatakan Komisi X akan mengundang secara khusus pemerintah mengenai peta jalan Inpres Pendidikan Vokasi dalam masa sidang selanjutnya. Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri menjelaskan bahwa pemerintah akan mendorong perguruan tinggi untuk lebih berorientasi kepada pendidikan vokasi. Dengan begitu, lulusan perguruan tinggi memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
Menurutnya, untuk menjawab tantangan pasar kerja yang dinamis maka perguruan tinggi tidak hanya mengajarkan mahasiswa dengan keterampilanlama. Sebaliknya, jurusan dan kejuruan yang dimiliki perguruan tinggi harus relevan dengan dunia kerja, baik dari unsur dosen, kurikulum, laboratorium, maupun semua peralatannya.
"Sekarang dunia bergerak cepat. Perkembangan teknologi menghadirkan berbagai jenis pekerjaan baru. Oleh karena itu, kurikulum yang diajarkan di kampus harus sesuai dengan perubahan zaman dan kebutuhan industri," ujarnya.
Hanif menambahkan, dalam tiga tahun terakhir, angka pengangguran di Indonesia terus mengalami penurunan. Namun begitu, persentase pengangguran dengan tingkat pendidikan tinggi justru naik. Hal ini disebabkan oleh missmatch atau ketidaksesuaian output sumber daya manusia (lulusan perguruan tinggi) dengan kebutuhan dunia usaha dan industri. Angka perbandingan missmatch terbilang tinggi. Dalam ukuran 10 orang lulusan perguruan tinggi hanya 3-4 orang saja yang match.
Selain missmatch, lulusan perguruan tinggi juga dihadapkan pada persoalan under qualification, yakni lulusan perguruan tinggi masih berada di bawah standar kompetensi. Dia berharap perguruan tinggi lainnya menyesuaikan kurikulumnya dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. "Jadi kompetensi yang didapat sesuai dengan gelar yang dimiliki," kata Menaker.
Usulan insentif pajak ini dinilai sangat penting dan menentukan karena dalam pengembangan pendidikan vokasi, sebab jika tidak ada industri yang berperan maka akan sulit menciptakan lulusan akademi vokasi dan sekolah menengah kejuruan (SMK) yang siap kerja sesuai kebutuhan industri. "Sekarang memang harus ada langkah konkret untuk mendukung pendidikan vokasi secara substansial. Salah satu caranya dengan insentif ini," kata Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri, Rabu (24/1/2017).
Dengan adanya campur tangan industri ini maka memungkinkan jurusan dan program studi di SMK ataupun akademi vokasi disesuaikan dengan skill yang dibutuhkan industri (link and match). Selain itu, kata dia, proses pembelajaran yang lebih banyak ke praktik daripada teori pun semakin maksimal. Perbandingannya sekitar 70% praktik dan 30% teori.
Mantan guru SMK ini menjelaskan bahwa apa yang dilakukan pemerintah Jerman dalam mengelola pendidikan vokasi bisa dicontoh pemerintah Indonesia. Pendidikan vokasi di negara-negara Eropa Barat tersebut memiliki empat prinsip. Pertama, kerja sama pemerintah dan industri. Keduanya bertanggung jawab menyusun kerangka pendidikan kejuruan dan pelatihan. Kedua, penerapan standar nasional sehingga kualitas pendidikan sekolah kejuruan terjamin. Ketiga, kualifikasi tenaga pendidikan yang harus menguasai konsep peda gogik kejuruan. Keempat, ketersediaan institusi penelitian.
"Dalam mengadopsi pendidikan vokasi di Jerman tersebut, tentu perlu ada penyesuaian. Untuk itu, kita perlu berbenah dan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, misalnya dengan Kadin. Di Indonesia masih ada jarak antara dunia industri dan pendidikan. Kadin dapat menjadi jembatan ideal bagi terhubungnya dunia industri dan pendidikan, sehingga kegiatan 70% di perusahaan dan 30% di kelas dalam pendidikan vokasi dapat terpenuhi dengan baik," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Wakil Ketua Komisi X DPR Ferdiansyah juga mengapresiasi usulan insentif pajak yang disampaikan Kementerian Per industrian kepada Kementerian Keuangan. Dia mengatakan, dengan adanya Inpres No 9/2016 tentang Revitalisasi SMK, seharusnya mampu menjadi senjata untuk memuluskan usulan tersebut sebab arahan presiden itu akan mampu dikonkretkan.
Politikus Golongan Karya ini mengatakan sudah sejak lama Komisi X mendorong adanya link and match antara industri dan sekolah SMK. Sebagai contoh, industri pertekstilan bisa mendirikan SMK dengan kurikulum yang disesuaikan kebutuhan sehingga lulusan sekolah itu bisa langsung diserap oleh pasar kerja. Oleh karena itu, dia mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti) untuk segera merespons cepat usulan tersebut.
"Sekarang itu SMK masih dipandang hanya menciptakan pengangguran. Maka Kemendikbud dan Kemenristek-Dikti harus cepat merespons hal ini. Jangan lama-lama lagi," katanya.
Dia mengatakan Komisi X akan mengundang secara khusus pemerintah mengenai peta jalan Inpres Pendidikan Vokasi dalam masa sidang selanjutnya. Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri menjelaskan bahwa pemerintah akan mendorong perguruan tinggi untuk lebih berorientasi kepada pendidikan vokasi. Dengan begitu, lulusan perguruan tinggi memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
Menurutnya, untuk menjawab tantangan pasar kerja yang dinamis maka perguruan tinggi tidak hanya mengajarkan mahasiswa dengan keterampilanlama. Sebaliknya, jurusan dan kejuruan yang dimiliki perguruan tinggi harus relevan dengan dunia kerja, baik dari unsur dosen, kurikulum, laboratorium, maupun semua peralatannya.
"Sekarang dunia bergerak cepat. Perkembangan teknologi menghadirkan berbagai jenis pekerjaan baru. Oleh karena itu, kurikulum yang diajarkan di kampus harus sesuai dengan perubahan zaman dan kebutuhan industri," ujarnya.
Hanif menambahkan, dalam tiga tahun terakhir, angka pengangguran di Indonesia terus mengalami penurunan. Namun begitu, persentase pengangguran dengan tingkat pendidikan tinggi justru naik. Hal ini disebabkan oleh missmatch atau ketidaksesuaian output sumber daya manusia (lulusan perguruan tinggi) dengan kebutuhan dunia usaha dan industri. Angka perbandingan missmatch terbilang tinggi. Dalam ukuran 10 orang lulusan perguruan tinggi hanya 3-4 orang saja yang match.
Selain missmatch, lulusan perguruan tinggi juga dihadapkan pada persoalan under qualification, yakni lulusan perguruan tinggi masih berada di bawah standar kompetensi. Dia berharap perguruan tinggi lainnya menyesuaikan kurikulumnya dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. "Jadi kompetensi yang didapat sesuai dengan gelar yang dimiliki," kata Menaker.
(amm)