Kondisi Perbankan Tak Akan Terguncang Seperti Krisis 1998
A
A
A
JAKARTA - Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam menilai, kecukupan modal dan berlimpahnya likuiditas di industri perbankan Indonesia menunjukkan dua hal.
"Pertama, hal ini berarti industri perbankan kita memiliki ketahanan yang kuat. Kita bisa meyakini industri perbankan kita tidak akan mudah terguncang oleh krisis seperti yang terjadi pada 1997/1998," kata Piter saat dihubungi di Jakarta, Senin (12/2/2018).
Menurutnya, ini sudah dibuktikan bagaimana industri perbankan Indonesia tidak goyah meski diterpa krisis keuangan global pada 2008 dan rangkaian guncangan financial setelahnya.
Namun demikian, selain mengindikasikan ketahanan, rasio modal dan likuiditas yang tinggi tersebut juga menyiratkan industri perbankan Indonesia belum secara optimal menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi.
"Rasio modal yang jauh di atas batas minimum yang ditetapkan oleh basel. Demikian juga denga rasio likuiditas yang begitu tinggi, mengindikasikan penyaluran kredit perbankan yang tidak maksimal," tuturnya.
Lebih lanjut Piter menuturkan, rendahnya penyaluran kredit pada 2017 menandakan juga rendahnya investasi sekaligus menyiratkan terbatasnya kontribusi perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Meski demikian, kondisi rasio kredit bermasalah terus menunjukkan perbaikan setelah mengalami puncaknya pada 2015-2016. Upaya restrukturisasi kredit oleh perbankan diikuti perbaikan harga komoditas secara simultas mempercepat perbaikan kondisi kredit bermasalah.
"Tahun ini harga komoditas masih menunjukkan tren kenaikan dan karena itu, kita bisa berharap kondisi kredit bermasalah di industri perbankan akan lebih baik lagi," terang dia.
Piter mengatakan, semakin membaiknya rasio NPL, sementara rasio modal likuiditas begitu tinggi seharusnya bisa dimanfaatkan perbankan untuk meningkatkan penyaluran kredit tahun ini.
"Target pertumbuhan kredit 10%-12% selama 2018 sesungguhnya terlalu kecil apabila kita mengharapkan pertumbuhan ekonomi 5,4%," cetusnya.
Perbankan harus dipacu untuk lebih berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. "Jangan dibiarkan perbankan terus menjadi makhluk malas menikmati keuntungan berlimpah sementara rakyat dan pemerintah berupaya keras mengerjakan PR yang sudah terlalu lama tidak dikerjakan yaitu membangun berbagai infrastruktur yang sangat kita butuhkan," jelasnya.
"Pertama, hal ini berarti industri perbankan kita memiliki ketahanan yang kuat. Kita bisa meyakini industri perbankan kita tidak akan mudah terguncang oleh krisis seperti yang terjadi pada 1997/1998," kata Piter saat dihubungi di Jakarta, Senin (12/2/2018).
Menurutnya, ini sudah dibuktikan bagaimana industri perbankan Indonesia tidak goyah meski diterpa krisis keuangan global pada 2008 dan rangkaian guncangan financial setelahnya.
Namun demikian, selain mengindikasikan ketahanan, rasio modal dan likuiditas yang tinggi tersebut juga menyiratkan industri perbankan Indonesia belum secara optimal menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi.
"Rasio modal yang jauh di atas batas minimum yang ditetapkan oleh basel. Demikian juga denga rasio likuiditas yang begitu tinggi, mengindikasikan penyaluran kredit perbankan yang tidak maksimal," tuturnya.
Lebih lanjut Piter menuturkan, rendahnya penyaluran kredit pada 2017 menandakan juga rendahnya investasi sekaligus menyiratkan terbatasnya kontribusi perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Meski demikian, kondisi rasio kredit bermasalah terus menunjukkan perbaikan setelah mengalami puncaknya pada 2015-2016. Upaya restrukturisasi kredit oleh perbankan diikuti perbaikan harga komoditas secara simultas mempercepat perbaikan kondisi kredit bermasalah.
"Tahun ini harga komoditas masih menunjukkan tren kenaikan dan karena itu, kita bisa berharap kondisi kredit bermasalah di industri perbankan akan lebih baik lagi," terang dia.
Piter mengatakan, semakin membaiknya rasio NPL, sementara rasio modal likuiditas begitu tinggi seharusnya bisa dimanfaatkan perbankan untuk meningkatkan penyaluran kredit tahun ini.
"Target pertumbuhan kredit 10%-12% selama 2018 sesungguhnya terlalu kecil apabila kita mengharapkan pertumbuhan ekonomi 5,4%," cetusnya.
Perbankan harus dipacu untuk lebih berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. "Jangan dibiarkan perbankan terus menjadi makhluk malas menikmati keuntungan berlimpah sementara rakyat dan pemerintah berupaya keras mengerjakan PR yang sudah terlalu lama tidak dikerjakan yaitu membangun berbagai infrastruktur yang sangat kita butuhkan," jelasnya.
(izz)