Tak Laporkan Rekening, Bank Didenda

Kamis, 15 Februari 2018 - 07:56 WIB
Tak Laporkan Rekening,...
Tak Laporkan Rekening, Bank Didenda
A A A
JAKARTA - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meminta kepada perbankan dan lembaga jasa keuangan lain untuk melaporkan data nasabah domestik dengan saldo rekening ‎Rp1 miliar paling lambat 30 April 2018.

Namun sebelum itu, seluruh lembaga keuangan di Tanah Air termasuk asuransi wajib mendaftarkan diri ke Ditjen Pajak paling lambat akhir Februari 2018. Pendaftaran dan penyerahan data nasabah tersebut merupakan bagian dari implementasi pelaksanaan automatic exchange of information (AEoI) atau pertukaran informasi keuangan secara otomatis untuk kepentingan pajak .

Berdasarkan catatan Ditjen Pajak, saat ini terdapat sekitar 500.000 rekening di Indonesia yang memiliki saldo di atas Rp1 miliar. Untuk itu, perbankan diminta melaporkan data-data nasbah tersebut dan selanjutnya Ditjen Pajak akan mengecek data para pemilik rekening itu.

Pelaksanaan pendaftaran pajak lembaga keuangan tersebut diatur dalam UU No 9/2017 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 70/PMK.03/2017 beserta perubahannya yang selanjutnya diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-04/PJ/2018 tentang tata cara pendaftaran bagi lembaga keuangan dan penyampaian laporan berisi informasi keuangan secara otomatis.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu Hestu Yoga Saksama mengatakan, jika masih ada lembaga keuangan yang tak melaporkan data nasabahnya, maka lembaga tersebut terancam sanksi pidana selama satu tahun dan denda Rp1 miliar.

"Berlaku kalau menyerahkan data rekening per April, di situ ada ketentuan sanksinya bisa pidana setahun dan denda Rp1 miliar," ujar Hestu saat sosialisasi pelaporan lembaga keuangan untuk kepentingan pajak di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, kemarin.

Dia menambahkan, selain perbankan, selanjutnya Ditjen Pajak juga akan menyasar manajer investasi di bursa serta koperasi untuk mendaftar.

“Namun, ini baru tahap pendaftaran, nanti pelaporannya per April," ujar Hestu.

Pada tahap awal, sosialisasi mengenai aturan baru itu mengundang 300 perwakilan dari regulator sektor keuangan termasuk Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Selain itu hadir pula pelaku industri keuangan seperti Bursa Efek Indonesia (BEI), Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Perhimpunan Bank-Bank Internasional Indonesia, Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) serta Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia.

Seperti diketahui, Pemerintah melalui Ditjen Pajak terus berupaya meningkatkan penerimaan negara melalui pajak. Berbagai upaya dilakukan termasuk menerapkan aturan keterbukaan informasi perbankan.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan mencapai Rp1.618,1 triliun. Jumlah tersebut terdiri atas penerimaan bea cukai Rp194,1 triliun dan penerimaan pajak yang meliputi PPh (migas dan non migas), PPnBM & PPN, PBB, dan pajaklainnya senilai Rp1.424 triliun.

Target penerimaan pajak tahun ini meningkat dibanding tahun sebelumnya yang mencapai Rp1.283,6 triliun, di mana realisasinya hanya mencapai Rp1.147,5 triliun.

Dalam aturan pendaftaran nasabah tersebut, Ditjen Pajak meminta agar lembaga keuangan menyampaikan identitas nasabah meliputi nomor rekening, identitas lembaga keuangan pelapor, saldo rekening, dan penghasilan terkait dengan rekening keuangan.

Menurut Hestu, laporan keuangan tersebut disampaikan dalam format dokumen elektronik dan dilakukan melalui pengamanan enkripsi dengan aplikasi khusus yang disediakan oleh Ditjen Pajak.

"Ini sistemnya e-form yang diunggah dahulu. Kalau sudah siap baru kemudian di-submit. Kemudian laporan akan disampaikan paling lambat akhir April tahun kalender berikutnya atau per 1 Agustus tahun kalender berikutnya khusus untuk laporan oleh lembaga jasa keuangan dalam rangka pelaksanaan perjanjian internasional," ujarnya.

Hestu juga menjamin keamanan aplikasi tersebut mengikuti standar global dan telah teruji. Dia memastikan pihaknya akan bekerja terus mengawasi sistem informasi (IT) data yang tersimpan aman.

"Kami pastikan keamanannya sebab, file diskripsi dan sudah teruji aman. Selanjutnya kami akan mengawal data itu di ruangan yang akan ada di ruangan anti peluru. Analoginya seperti CPU yang ada di kantor pajak dan itu termonitor oleh siapapun," ujarnya.

Dia menambahkan, pemberian akses informasi keuangan terhadap Ditjen Pajak membuktikan komitmen Indonesia yang sejalan dengan semangat global dalam rangka memerangi pelarian pajak yang dilakukan berbagai perusahaan multinasional dan individu super-kaya. Di sisi lain keterbukaan akses informasi keuangan tersebut, juga akan meningkatkan basis Ditjen Pajak dalam menggali potensi pajak yang sebenarnya serta mendeteksi praktik kecurangan pajak.

"Kecurangan pajak seperti pelarian dan penghindaran pajak menggerus kemampuan pemerintah untuk mendanai program pembangunan dan belanja sosial yang berakibat pada semakin tingginya tingkat kesenjangan dan ketidakadilan sosial. Karenanya kami mengajak seluruh masyarakat untuk melaporkan penghasilan dan membayar pajak dengan jujur dan benar," pungkas dia.

Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo mengatakan, tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan mengenai pendaftaran lembaga keuangan untuk kepentingan perpajakan.

Menurutnya, yang paling penting ke depan adalah bagaimana Ditjen Pajak bisa menganalisis potensi nasabah dari lembaga keuangan tertentu. Selain itu, Ditjen Pajak juga akan mendapatkan basis data yang menyeluruh.

"Saya kira tidak ada isi penting mengenai pendaftarannya. Kalau ada lembaga yang tidak ingin mendaftar, kan ada asosiasi yang bisa mengkoordinasikan. Misalnya ada Perbanas, asosiasi emiten, asuransi dan sebagainya," ujar Yustinus kepada KORAN SINDO di Jakarta, kemarin.

Dia optimistis para pelaku lembaga keuangan sudah memiliki informasi yang cukup. Dia mengimbau agar lembaga keuangan menaatinya sampai batas akhir pelaporan pada April mendatang. “Karena pelaporan itu sifatnya wajib dan sudah ada sanksi sebagaimana diatur," ujarnya.

Yustinus berharap, dengan pelaporan tersebut bisa memberikan hasil yang maksimal bagi Direktorat Jenderal Pajak dan lembaga keuangan. Di sisi lain, harus ada akuntabilitas mengenai perlindungan data sehingga tidak ada penyalahgunaan data. “Kalau ini berjalan tentu ada kepercayaan dari masyarakat wajib pajak," ucapnya.

Dia menambahkan, akses data nasabah perbankan oleh Direktorat Pajak akan memberikan manfaat yang besar dalam jangka menengah. Jika berjalan lancar, dia memprediksi bisa menaikkan rasio pajak hingga 2% dalam jangka dua hingga tiga tahun mendatang.

"Kalau kita berkaca dari tax amnesty kemarin potensinya sangat besar. Namun kalau jangka pendek belum bisa, sebaliknya dalam jangka menengah dua atau tiga tahun mendatang bisa menaikkan rasio pajak hingga 2% dari program ini," ucapnya.

Perbankan Siap Lapor
Kalangan perbankan sebelumnya menyatakan siap melaporkan data keuangan, termasuk penghasilan terkait dengan rekening nasabah, kepada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan pada tahun ini.

Direktur Strategi Bisnis dan Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Haru Koesmahargyo mengatakan, perseroan akan melaporkan data nasabah domestik sebelum akhir April 2018, sesuai dengan tenggat waktu yang ditentukan Ditjen Pajak.

Menurut Haru, kewajiban pelaporan data nasabah tersebut tidak akan menggangu penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) bank dengan laba terbesar di Indonesia itu. Pasalnya, kewajiban pelaporan itu harus diikuti oleh seluruh lembaga keuangan sehingga kecil kemungkinan nasabah akan memindahkan dananya ke lembaga keuangan lain.

"Untuk kewajiban pelaporan nasabah domestik, BRI juga sudah siap melaporkan sebelum batas waktu," ujar Haru.

Sementara itu, PT Bank OCBC NISP Tbk juga sedang memproses pendaftaran ke Ditjen Pajak. Senada dengan BRI, OCBC NISP yakin pelaporan data nasabah tidak akan mengganggu pertumbuhan DPK pada tahun ini. "Keterbukaan ini sudah norma baru yang semua pihak harus menerima dan membiasakan diri. Hal ini bukan hanya di Indonesia, melainkan norma baru di dunia," kata Presiden Direktur OCBC NISP Parwati Surjaudaja. (Ichsan Amin/Ant)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1157 seconds (0.1#10.140)