Izin Albothyl Dibekukan, DPR Duga Masih Banyak Obat Tak Layak Edar
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay menduga masih banyak lagi obat, makanan, kosmetik, dan produk lain di pasaran yang tidak layak beredar. Hal ini dikatakan Saleh menanggapi pembekuan izin edar obat sariawan Albothyl oleh Badan Pengawas, Obat dan Makanan (BPOM).
(Baca Juga: BPOM Bekukan Izin Edar Obat Sariawan Albothyl, Ini Penyebabnya)
"Saya mengapresiasi langkah BPOM dalam melakukan upaya perlindungan terhadap masyarakat dalam bidang peredaran obat, makanan dan kosmetik," ujar Saleh dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Jakarta, Jumat (16/2/2018).
Dia menilai, langkah BPOM itu sangat baik karena dilakukan secara pro-aktif dengan melakukan uji klinis dengan metode farmakovigilans. Maka, dia berharap dengan pengawasan seperti itu, produk-produk yang beredar di masyarakat adalah produk-produk yang aman dan sehat untuk dikonsumsi.
"Kemarin ada obat yang katanya mengandung bahan baku babi. Sekarang ada obat dan kosmetik yang diduga berbahaya bagi kesehatan. Bisa jadi masih banyak lagi obat, makanan, kosmetik, dan produk lain di luar sana yang tidak layak beredar," ujarnya.
Dalam konteks itu, politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini meminta BPOM untuk semakin meningkatkan kinerjanya. Apalagi, pekan lalu BPOM baru saja menambah satu kedeputian baru yaitu deputi penindakan.
Melalui deputi itu, BPOM dapat menindak dan juga membina produsen agar menjaga mutu dan kualitas produksinya. "Mungkin ini salah satu cara BPOM menunjukkan kinerjanya dengan deputi barunya. Semoga tidak hanya di awal ini saja dan dapat berlanjut untuk seterusnya," ujar legislator asal daerah pemilihan Sumatera Utara II ini.
Dalam konteks pembekuan izin edar Albothyl, menurutnya, tetap diperlukan transparansi. BPOM perlu melakukan uji klinis yang terbuka dan transparan yang dapat dilihat semua orang, terutama mereka yang bergerak di bidang ini.
Dengan begitu, ujar Saleh, tingkat keberbahayaan bahan yang ada dalam albothyl itu dapat diketahui secara baik dan terbuka untuk diketahui masyarakat.
"Ini diperlukan sebagai bentuk perlindungan dan jaminan bagi produsen obat di Indonesia. Kalau mereka salah, memang harus diberi sanksi dan hukuman. Namun, jika mereka tidak salah, mereka juga berhak mendapat perlindungan. Jadi, kita fair dalam melihat kasus seperti ini," tutur dia.
(Baca Juga: BPOM Bekukan Izin Edar Obat Sariawan Albothyl, Ini Penyebabnya)
"Saya mengapresiasi langkah BPOM dalam melakukan upaya perlindungan terhadap masyarakat dalam bidang peredaran obat, makanan dan kosmetik," ujar Saleh dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Jakarta, Jumat (16/2/2018).
Dia menilai, langkah BPOM itu sangat baik karena dilakukan secara pro-aktif dengan melakukan uji klinis dengan metode farmakovigilans. Maka, dia berharap dengan pengawasan seperti itu, produk-produk yang beredar di masyarakat adalah produk-produk yang aman dan sehat untuk dikonsumsi.
"Kemarin ada obat yang katanya mengandung bahan baku babi. Sekarang ada obat dan kosmetik yang diduga berbahaya bagi kesehatan. Bisa jadi masih banyak lagi obat, makanan, kosmetik, dan produk lain di luar sana yang tidak layak beredar," ujarnya.
Dalam konteks itu, politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini meminta BPOM untuk semakin meningkatkan kinerjanya. Apalagi, pekan lalu BPOM baru saja menambah satu kedeputian baru yaitu deputi penindakan.
Melalui deputi itu, BPOM dapat menindak dan juga membina produsen agar menjaga mutu dan kualitas produksinya. "Mungkin ini salah satu cara BPOM menunjukkan kinerjanya dengan deputi barunya. Semoga tidak hanya di awal ini saja dan dapat berlanjut untuk seterusnya," ujar legislator asal daerah pemilihan Sumatera Utara II ini.
Dalam konteks pembekuan izin edar Albothyl, menurutnya, tetap diperlukan transparansi. BPOM perlu melakukan uji klinis yang terbuka dan transparan yang dapat dilihat semua orang, terutama mereka yang bergerak di bidang ini.
Dengan begitu, ujar Saleh, tingkat keberbahayaan bahan yang ada dalam albothyl itu dapat diketahui secara baik dan terbuka untuk diketahui masyarakat.
"Ini diperlukan sebagai bentuk perlindungan dan jaminan bagi produsen obat di Indonesia. Kalau mereka salah, memang harus diberi sanksi dan hukuman. Namun, jika mereka tidak salah, mereka juga berhak mendapat perlindungan. Jadi, kita fair dalam melihat kasus seperti ini," tutur dia.
(izz)