Izin Albothyl Baru Dibekukan, DPR Sayangkan Kinerja BPOM

Jum'at, 16 Februari 2018 - 21:15 WIB
Izin Albothyl Baru Dibekukan,...
Izin Albothyl Baru Dibekukan, DPR Sayangkan Kinerja BPOM
A A A
JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR Okky Asokawati menyayangkan kinerja Badan Pengawas, Obat dan Makanan (BPOM) atas ditemukannya produk Albothyl yang memiliki kandungan berbahaya bagi masyarakat. Padahal, produk ini sudah lama beredar secara luas.

(Baca Juga: BPOM Bekukan Izin Edar Obat Sariawan Albothyl, Ini Penyebabnya)

"Kenyataan bahwa produk Albothyl berbahaya, jelas-jelas merugikan konsumen. Dalam kasus ini, konsumen tidak mendapat perlindungan sebagaimana mestinya," kata dia dalam rilisnya, Jakarta, Jumat (16/2/2018).

Menurutnya, peristiwa tersebut menunjukkan lemahnya pengawasan BPOM baik pre-market maupun post market terhadap produk makanan, minuman dan obat-obatan. Seharusnya, setiap produk makanan, minuman dan obat-obatan sebelum dipasarkan harus dilakukan pengawasan pre market maupun post market.

Langkah tersebut penting untuk memastikan setiap produk makanan, minuman dan obat aman dikonsumsi masyarakat. "Kami menangkap kesan, jika produk impor tidak perlu perlu pengawasan pre market. Pandangan ini tentu tidak tepat, produk impor maupun produk lokal, harus tetap diawasi baik pre market maupun post market," tuturnya.

Sementara terkait kasus Albothyl ini, lanjut Okky, ada kesan BPOM menerapkan standard ganda. Jika menghadapi produsen pelanggar aturan dalam hal makanan, minuman dan obat-obatan dari kalangan kecil, BPOM bertindak tajam dan tegas.

Namun sebaliknya, jika BPOM menghadapi produsen yang melanggar aturan dari kalangan besar, kesan tumpul dan tidak bertaji cukup tampak diperlihatkan BPOM. Padahal, merujuk Pasal 196 UU Kesehatan disebutkan siapa saja yang memproduksi, mengedarkan sediaan farmasi atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan dan mutu diancam pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Okky menuturkan, BPOM dalam melakukan pengawasan terhadap produk makaman, minuman dan obat-obatan baik pre market dan post market sebenarnya tidak ada alasan disebabkan kurangnya anggaran. Karena, pagu anggaran untuk BPOM tahun ini sebesar Rp2,17 triliun. Angka ini naik dibanding 2017 sekitar Rp1,9 triliun.

"Meski harus kita sadari postur kelembagaan BPOM saat ini tidak memiliki kekuatan eksekutorial yang bisa memberikan sanksi bila menemukan kasus pelanggaran yang dilakukan produsen makanan, minuman dan obat-obatan. Setiap kasus pelanggaran harus tetap diselesaikan melalui jalur kepolisian atau kejaksaan (lembaga penegak hukum)," jelasnya.

Akibatnya, kata dia, proses terhadap pihak-pihak pelanggar membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Meski, saat ini di BPOM ada penambahan Deputi IV yang khusus bertugas menangani persoalan hukum terkait pengawasan terhadap makanan, minuman dan obat-obatan.
Karena kalau BPOM hanya mengurus soal izin termasuk membekukan izin tentu tidak ada efek jera.

DPR telah memasukkan RUU Pengawasan Obat dan Makanan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dalam rancangan tersebut, BPOM didesain sebagai lembaga yang dapat memberikan sanksi terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan.

"Upaya ini dimaksudkan agar BPOM dapat memiliki peran yang lebih, tidak hanya sekadar urusan administrasi izin semata," ujar Okky.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1024 seconds (0.1#10.140)